Kesejahteraan Perawat Masih Jauh Panggang dari Api
Info Terkini | 2025-07-28 06:58:58
Di balik kemajuan layanan kesehatan di Indonesia, masih tersimpan realitas menyedihkan yang dialami oleh sebagian tenaga kesehatan, khususnya perawat non-ASN di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Mereka yang bekerja dengan sistem kontrak sering kali menerima upah yang jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) atau Upah Minimum Provinsi (UMP). Tak jarang ditemukan perawat yang hanya menerima upah dibawah UMK/UMP, kita bisa sebut kasus demonstrasi nakes non ASN di kantor Bupati Manggarai NTT (2024) yang menuntut gaji setara UMK yang selama ini dupah Rp 400 — Rp 600 ribu per bulan, lalu demonstrasi perawat Polewali Mandar, Sulawesi Barat (2018) yang diberi upah Rp 150 ribu per bulan diunit-unit layanan Puskesmas dan rumah sakit, ada lagi demonstrasi perawat di Bandar Lampung (2017) yang berstatus tenaga kerja sukarela (TKS) yang diupah hanya Rp 200–300 ribu per bulan, selanjutnya demonstrasi perawat Rumah Sakit Fakinah Banda Aceh (2014) menuntut pembayaran sisa gaji tahun 2013, yang selama ini dibayar dibawah UMP, serta banyak daerah lainnya di Indonesia dengan kasus serupa.
Secara hukum, yang pertama berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada Pasal 12 poin c menyebutkan, “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap: kesejahteraan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan”. Serta hak menerima gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak, seperti tercantum dalam Pasal 273 ayat (1) poin c, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Yang kedua berdasarkan Undang- Undang Ketenagakerjaan, praktik pengupahan di bawah UMK tersebut adalah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa:
- Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil (Pasal 88D)
- Setiap Pekerja berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1)
- Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 2)
- Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diantaranya Upah minimum (Pasal 88 ayat 3)
- Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari Upah minimum (Pasal 88E)
Apabila isi perjanjian kerja bertentangan dengan ketentuan upah minimum, maka klausul tersebut batal demi hukum, dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, meskipun terdapat ‘kesepakatan’ antara perawat dan pemberi kerja (misalnya puskesmas atau rumah sakit) atas upah rendah, perjanjian tersebut cacat hukum karena melanggar norma hukum yang lebih tinggi.
Dalam hukum perdata, khususnya Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu perjanjian kerja meliputi:
1. Kesepakatan para pihak,
2. Kecakapan untuk membuat perikatan,
3. Objek tertentu,
4. Sebab yang halal
Jika perjanjian kerja dilakukan dalam kondisi ketimpangan kekuasaan atau ancaman halus seperti “jika tidak setuju, silakan resign”, maka unsur kesepakatan menjadi cacat, karena tidak terjadi perikatan secara bebas dan setara. Ini merupakan bentuk abuse of power dan ‘eksploitasi terselubung’ yang menyalahi asas “itikad baik dan kesetaraan para pihak” sebagaimana prinsip dasar hukum perjanjian.
Bagaimana dengan status perawat honorer yang tidak secara eksplisit masuk dalam perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan? Dari segi pemberian pelayanan kepada pasien faktanya, mereka:
- Melakukan pekerjaan profesional yang sama seperti ASN atau karyawan tetap,
- Bekerja di bawah komando struktural,
- Memikul tanggung jawab layanan publik kepada masyarakat
Dalam berbagai Putusan Mahkamah Agung, hubungan kerja secara de facto tetap menciptakan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja, termasuk hak atas upah layak. Regulasi teknis lainnya juga menegaskan bahwa honorarium tenaga non-ASN harus disesuaikan minimal dengan UMK/UMP sebagai standar etika dan keadilan kerja.
Lebih dalam, praktik pengupahan di bawah standar juga melanggar konstitusi negara. Dua pasal utama dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi rujukan penting:
- Pasal 27 ayat (2): “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
- Pasal 28D ayat (2):“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” (Perubahan Kedua)
Dengan demikian, upah yang tidak manusiawi adalah bentuk pengingkaran terhadap mandat konstitusi. Ketika negara, melalui puskesmas, rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, membiarkan praktik semacam ini berlangsung, maka negara telah ‘gagal’ menjamin keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Fenomena ini tidak boleh dibiarkan. Beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh tenaga kesehatan, organisasi profesi serta pihak yang memiliki kepedulian antara lain melaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat, mengajukan pengaduan ke Ombudsman Republik Indonesia dan terus mengadvokasi perlunya regulasi baru atau revisi peraturan yang ada demi kejelasan dan perlindungan terhadap profesi tenaga kesehatan non-ASN.
Kesehatan masyarakat tidak akan tercapai tanpa kesejahteraan tenaga kesehatan. Sudah saatnya negara menghargai kontribusi nyata perawat dalam sistem kesehatan nasional dengan standar pengupahan yang adil dan manusiawi. Sebagaimana, pernyataan Prof. Satjipto Rahardjo filosofi hukum adalah “hukum untuk manusia” memiliki konteks yang sama dengan aliran utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of people.” Jangan ada lagi tenaga profesional yang dihargai jauh di bawah nilai kerja dan martabatnya. Sebuah regulasi khusus yang tegas dan eksplisit diperlukan demi menjamin kesejahteraan perawat. Inilah salah satu jalan untuk mewujudkan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
