Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Al Anang

Membangun Keadilan Ekonomi dari Bawah: Skema Qardhul Hasan sebagai Nafas Baru UMKM

Ekonomi Syariah | 2025-07-26 11:14:55
Sumber: shutterstock

Di tengah gelombang krisis keuangan dan stagnasi pembangunan di banyak negara berkembang, pertanyaan mendasarnya tetap sama, bagaimana menghadirkan sistem ekonomi yang adil, terutama bagi pelaku usaha mikro? Di negeri-negeri Muslim yang sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup pada sektor informal, pembiayaan berbasis riba justru menambah luka. Namun riset terbaru dari Afghanistan memberi pelajaran penting bahwa keuangan Islam bisa menjadi solusi jika dirancang dengan pendekatan yang inklusif dan berkeadilan. Skema Integrated Qardhul Hasan and Equity-Based Microenterprise Development (IQEMD) adalah contoh konkret bagaimana gagasan Islam tentang pinjaman tanpa bunga dapat dirumuskan ulang menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi.

Afghanistan, negara yang selama bertahun-tahun dilanda konflik, menyimpan ironi yang mencolok. Meskipun 98,5% sektor usahanya digerakkan oleh pelaku UMKM, kontribusi terhadap PDB hanya 17,5%. Angka itu jauh di bawah standar negara-negara tetangga seperti Pakistan (40%) atau Bangladesh (dengan sumbangan lapangan kerja hingga 82%). Di balik angka-angka itu tersembunyi satu masalah utama: sistem pembiayaan yang timpang dan tidak ramah terhadap pelaku usaha mikro.

Mayoritas pelaku usaha tidak memiliki jaminan, tidak paham cara membuat rencana bisnis, dan tentu tidak bisa menanggung beban bunga pinjaman sebesar 20–40% per tahun. Mereka yang mencoba mengakses dana dari lembaga keuangan mikro, bank, atau bahkan lembaga swadaya masyarakat, seringkali pulang dengan tangan hampa—jika bukan dengan beban cicilan yang memberatkan.

Model IQEMD yang dikembangkan oleh dua akademisi—Naqibullah Haqbin dari Kandahar University dan Mohamed Asmy dari International Islamic University Malaysia—berupaya menjawab kesenjangan ini. Mereka menawarkan solusi dua tahap; pertama, pinjaman Qardhul Hasan tanpa bunga dan tanpa agunan bagi pelaku usaha yang baru mulai (EPMEs); kedua, pembiayaan berbasis kemitraan (equity-based) seperti Musharakah Mutanaqisah untuk usaha yang sudah mulai stabil (EVMEs). Model ini tidak hanya bersifat teknis, tapi juga memuat dimensi moral dan sosial yang kuat: membantu tanpa menindas, memodali tanpa memonopoli.

Hasil survei terhadap 466 pelaku usaha mikro di Kandahar menunjukkan bahwa model ini bukan sekadar idealisme kosong. Sebagian besar responden memiliki sikap positif terhadap skema IQEMD, dan mereka juga merasa mendapat dorongan moral dari lingkungan sosial—keluarga, kolega, tokoh agama—untuk mengadopsi skema pembiayaan syariah ini. Dalam pendekatan Theory of Reasoned Action yang digunakan oleh penelitian ini, sikap dan norma sosial terbukti secara statistik mendorong niat pelaku usaha untuk menggunakan IQEMD. Artinya, sistem ini tidak hanya sesuai nilai, tapi juga rasional secara perilaku.

IQEMD pada dasarnya mengusulkan satu ekosistem baru: dana sosial umat (baik zakat, wakaf, CSR) dikonsolidasikan dalam satu lembaga keuangan Islam (IsMFI) untuk disalurkan kepada pelaku usaha kecil. Bukan sekadar menyalurkan dana, lembaga ini juga menjadi mitra usaha yang ikut membesarkan pelaku ekonomi dari akar rumput.

Apa pelajaran dari Afghanistan ini bagi Indonesia? Bahwa ekonomi Islam tidak cukup hanya menjadi jargon spiritual atau simbol keuangan. Ia harus hadir sebagai sistem sosial yang konkret. Indonesia, dengan jumlah UMKM yang mencapai 64 juta dan basis ekonomi syariah yang berkembang pesat, bisa menjadi lahan subur untuk penerapan IQEMD versi lokal. Bahkan, jika digarap dengan pendekatan lintas kelembagaan—menggabungkan BAZNAS, BWI, bank syariah, dan koperasi pesantren—model ini bisa menjadi gerakan besar pemberdayaan ekonomi umat.

Yang dibutuhkan bukan hanya kebijakan, tapi keberanian untuk berpihak. Keberpihakan pada yang kecil, yang tak punya akses ke modal, tapi punya semangat hidup yang besar. Dan di sinilah IQEMD menjadi lebih dari sekadar model keuangan. Ia adalah manifestasi keadilan sosial dalam kerangka Islam yang sesungguhnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image