Melihat Wajah Buruk Demokrasi dari Fenomena Sound Horeg
Politik | 2025-07-24 14:55:34
Kepala desa di karangploso, Malang, Jawa Timur viral di sosial media berkat surat edaran yang meminta warga untuk mengungsi. Warga yang sakit, lansia, dan bayi untuk menjauh dari sepanjang jalan yang digunakan untuk karnaval acara desa sebagai langkah antisipasi agar warga tidak terganggu. Berdalih tradisi, 11 sound horeg ikut serta dalam karnaval tersebut.
Argumentasi bagi masyarakat yang pro dengan keberadaan sound horeg mengungkapkan, sound horeg sebagai ekspresi budaya lokal, berdampak positif bagi UMKM, membuka lapangan pekerjaan bagi warga lokal. Pendapat publik dari forum diskusi menyebutkan bahwa bagi masyarakat lokal lebih 50% orang suka dan setuju dengan keberadaan sound horeg, yang tentu warga yang tidak suka dan merasa terganggu masih lebih sedikit dibandingkan yang suka.
Sound horeg memberikan dampak yang serius bagi kesehatan. Ambang batas toleransi kebisingan lingkungan pemukiman adalah 55 dB di malam hari dan 50 dB pada siang hari Permen LH No. 48/1996, sedangkan suara sound horeg mencapai 95-120 dB. Paparan suara >85 dB mengakibatkan kerusakan permanen pada pendengaran, strees kronis, hingga hipertensi.
Dampak negatif dari sisi sosial, menimbulkan konflik antara yang pro dengan yang kontra terhadap fenomena ini. Fenomena sound horeg ini membawa polemik di tengah rakyat lokal. Lembaga Advokasi Sosial Rakyat Jatim (LASR) mencatat 37 kasus konflik disebabkan sound horeg ini.
Fenomena sound horeg ini memberi gambaran bahwa suara terbanyak tidak selamanya memberikan kemaslahatan. Ketika suara terbanyak jatuh kepada pilihan buruk, maka konsekuensi demokrasi membawa kepada kondisi buruk itu sendiri. Demokrasi memberikan kekuasaan bagi suara mayoritas meskipun ini bertentangan dengan kebenaran, bahkan keliru secara moral atau ilmiah. Fatwa MUI yang mengharamkan sound horeg dinilai sebagai bentuk kemunduran oleh pengusahanya.
Tidak ada alasan lain selain dimenangkannya suara mayoritas dari penduduk desa yang menginginkan diadakannya sound horeg. Karena dari aspek kesehatan, ketenangan publik, kerusakan fasilitas publik, semua tergadai akibat sound horeg ini. Ini menunjukan kualitas masyarakat yang tidak bijak dalam menentukan pilihan hiburan yang tidak merugikan. Oleh karena itu, pengambilan suara mayoritas hanya akan membawa maslahat ketika rakyat memiliki pemahaman yang baik.
Fenomena ini memberikan gambaran ungkapan “Perbedaan yang terjadi di kalangan ulama memberikan rahmat sedangkan perbedaan yang terjadi diantara orang-orang yang tidak mengetahui menimbulkan bencana”. Pengambilan suara mayoritas tidak akan membawa bencana di kalangan orang yang kurang pengetahuannya, jika antara kedua pilihan tidak membawa kepada kerusakan. Atau dua pilihan tersebut, sama-sama membawa kepada yang mubah, bukan yang haram.
Selain dampak kerusakan yang dihasilkan dari konsep demokrasi, sumber hukum tidak bisa sama sekali diambil dari suara manusia dengan segudang keterbatasannya. Sumber hukum hanya bisa kita tarik dari wahyu. Dalam konsep demokrasi juga tidak mengenal adanya kebenaran mutlak, karena tergantung dari suara terbanyak, sedangkan dalam Islam, kebenaran itu mutlak, tidak akan berubah karena faktor yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Konsep kebebasan ala demokrasi juga tidak kalah anehnya. Kebebasan berekspresi bagi penikmat dan pengusaha sound horeg, mencederai kebebasan mendapatkan lingkungan yang tenang bagi yang tidak setuju dengan sound horeg. Karena dalam islam, kebebasan tentu diatur dalam syariat islam. Kebebasan yang terikat dengan hukum Allah tentunya tidak akan mencederai kebebasan milik orang lain. Sebagai dzat yang menciptakan manusia dan yang lebih mengetahui keadilan bagi semua hambanya tidak akan mungkin membuat aturan yang merugikan satu dan menguntungkan yang lainnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
