Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kana Nilna Jannatin Alfafa

Penyakit Gen Z: Curhat Sama AI, Karena Manusia Susah Dipercaya?

Gaya Hidup | 2025-07-24 08:57:02
Ilustrasi terlalu sering fokus dengan HP. (Sumber: pexels.com/ Mikhail Nilov)

"Aku benci sama diriku sendiri."

"Aku capek, tapi gak tau harus cerita ke siapa."

Lalu tanpa pikir panjang kalimat itu diketik, bukan ke teman, bukan ke diary, tapi ke AI.

Di tengah kemajuan teknologi, kita hidup di zaman di mana AI bisa menjadi sahabat, asisten, bahkan terapis pribadi. Dulu orang sering nulis diary. Sekarang? AI jadi tempat curhat paling aman. Nggak ngegas, nggak bocorin rahasia, dan jawabannya? Kadang lebih masuk akal dari manusia.

Bagi Gen Z, terutama yang akrab dengan kecemasan, overthinking, dan masalah kepercayaan seperti trust issues, ngobrol sama AI itu semacam ruang aman. Bukan karena mereka nggak mau cerita ke manusia tapi karena, terkadang manusia terlalu sulit untuk memahami dirinya.

Kenapa Bisa Gitu? Ini Dia Stereotip Gen Z-nya:

1. Trust Issues Everywhere

Nggak semua orang bisa dipercaya. Cerita ke teman, takut digibahin. Cerita ke media sosial? Banjir Judgement. Jadi curhat ke AI aja deh. Paling mentok dijawabnya, “Saya mengerti perasaanmu.”

2. Capek Sama Tanggapan Manusia

Pernah cerita dan malah dibalas begini?

"Ya ampun, kamu sih jadi orang baperan."

"Coba deh kamu lebih bersyukur."
"Itu mah belum mendekatiin sama hidup aku."
Jadinya? Banyak yang akhirnya mikir: "AI emang nggak punya hati, tapi setidaknya dia nggak bikin hati aku tambah sakit."

3. AI Nggak Hilang, Ngak Judes

Tengah malam, waktu rawan overthinking. Mau chat temen, nggak enak. Mau nulis di Twitter, takut ke-expose. Akhirnya: buka chatbot, ngetik isi hati. Dan AI akan menjawabmu jam berapa pun, sepanjang apa pun.

Apakah Ini Salah? Belum tentu. Tapi Perlu Ditanya Lagi

Kenapa kita lebih jujur ke mesin dibandingkan ke sesama manusia?

Kenapa kita lebih nyaman berbicara pada sistem buatan daripada pelukan yang nyata?

Kenapa kata “didengar” sekarang nggak selalu berarti “dipahami oleh manusia”?

Awalnya mungkin cuma coba-coba. Tapi kalau sudah cerita ke AI soal semuanya, tentang kegagalan, harapan, bahkan rasa cinta, dan nggak ada satu pun manusia yang tahu, mungkin sudah waktunya kita bertanya: “Aku lagi butuh solusi, atau cuma pengen ditemenin?”

AI bisa bantu kita untuk berpikir logis. Tapi untuk merasa utuh, kita tetap butuh relasi.

Karena jujur saja, AI nggak bisa peluk kamu sambil bilang 'aku ada di sini'.

Jangan Sampai AI Jadi Satu-satunya yang Kamu Percaya

Ngak salah kok kalau sesekali cerita ke AI. Tapi kalau AI jadi satu-satunya yang tahu semua isi hatimu, itu tanda bahaya.

Bukan karena AI-nya jahat, tapi karena mungkin kita sudah terlalu sering merasa dikhianati oleh manusia, sampai lupa bagaimana rasanya dipeluk, didengar, dan dipahami secara nyata.

Jadi, kalau hari ini pengen curhat boleh, ke AI dulu. Tapi besok, cobalah mulai percaya lagi sama manusia—pelan-pelan saja, tapi nyata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image