Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Iffa Rafila

Telaah atas Dua Tuntunan setelah Shalat: Perintah Zikir dan Aktivitas Dunia dalam QS. An-Nisa 103 dan QS. Al-Jumuah 10

Agama | 2025-07-23 22:31:08

 

  • Oleh : Mazamirus Shufa, Iffa Rafila, Muhammad Ayup.
  • ABSTRAK
  • Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat ajaran yang menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, baik spiritual maupun sosial. Namun, dalam praktiknya, terdapat sejumlah ayat yang tampak menunjukkan ketegangan makna, seperti perintah berzikir setelah shalat dalam QS. An-Nisa: 103 dan perintah untuk bertebaran di muka bumi setelah shalat Jumat dalam QS. Al-Jumu‘ah: 10. Sekilas, kedua ayat ini terkesan menghadirkan dua orientasi berbeda: kontemplasi spiritual dan keterlibatan aktif dalam kehidupan duniawi.
  • Fenomena yang berkembang di Indonesia menunjukkan adanya keragaman dalam praktik zikir setelah shalat. Nahdlatul Ulama (NU) cenderung menekankan zikir berjamaah secara kolektif dan rutin, sedangkan Muhammadiyah lebih menganjurkan zikir secara individual dan tidak terlalu menekankan ritual pasca-shalat secara berjamaah. Perbedaan ini mencerminkan variasi penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an yang berkaitan dengan keseimbangan antara ibadah dan aktivitas dunia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji secara mendalam kandungan QS. An-Nisa: 103 dan QS. Al-Jumu‘ah: 10 guna memperoleh pemahaman yang utuh dan selaras mengenai perintah zikir dan aktivitas dunia setelah shalat, dengan menggunakan metode tafsir tematik dan pendekatan historis-kontekstual.
  • Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak terdapat kontradiksi esensial antara kedua ayat tersebut. Sebaliknya, keduanya saling melengkapi dalam menggambarkan keterpaduan antara ibadah dan kerja, antara dimensi ukhrawi dan tanggung jawab duniawi. Zikir dan aktivitas ekonomi setelah shalat dipahami bukan sebagai dua kutub yang bertentangan, tetapi sebagai dua bentuk ketaatan kepada Allah yang dapat dijalankan secara seimbang dan kontekstual.
  • Kata Kunci: Zikir, Shalat, QS. An-Nisa: 103, QS. Al-Jumu‘ah: 10, Tafsir Tematik, NU, Muhammadiyah, Aktivitas Dunia.
  • PENDAHULUAN
  • Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam diyakini memiliki kesempurnaan mutlak dalam lafaz maupun maknanya. Salah satu ayat yang menegaskan keutuhan dan kebenaran Al-Qur’an adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa [4]: 82:
  • أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا
  • “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu berasal dari selain Allah, pastilah mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”
  • Ayat ini menjadi bukti bahwa kontradiksi hakiki dalam Al-Qur’an tidak mungkin terjadi, karena ia adalah wahyu yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian, dalam realitas pemahaman dan praksis keagamaan umat Islam, terdapat sejumlah ayat yang secara kasat mata tampak bertentangan dan memunculkan perbedaan dalam penafsiran maupun pengamalan. Salah satunya adalah persoalan aktivitas yang dilakukan setelah shalat, khususnya antara perintah untuk berzikir dan perintah untuk segera bertebaran di muka bumi.
  • Perbedaan ini terlihat nyata dalam dua ayat, yakni QS. An-Nisa [4]: 103 yang memerintahkan kaum Muslimin untuk mengingat Allah (berzikir) setelah menunaikan shalat dalam berbagai keadaan, dan QS. Al-Jumu‘ah [62]: 10 yang menganjurkan mereka untuk "bertebaran di muka bumi" dan mencari karunia Allah setelah selesai melaksanakan shalat Jumat. Kedua ayat ini, bila tidak dibaca secara kontekstual dan menyeluruh, dapat menimbulkan kesan kontradiktif antara anjuran untuk tetap dalam suasana ibadah melalui zikir dan perintah untuk segera kembali kepada aktivitas duniawi. Padahal, keduanya mencerminkan harmoni antara dimensi spiritual dan sosial dalam ajaran Islam.
  • Fenomena ini tercermin pula dalam praktik keseharian umat Islam di Indonesia. Banyak masjid yang berafiliasi dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) melakukan zikir berjamaah secara rutin setelah shalat fardhu, sebagai bentuk penghayatan spiritual. Di sisi lain, masjid-masjid yang berada di bawah naungan Muhammadiyah cenderung tidak mengadakan zikir berjamaah setelah shalat. Sebagian besar jamaahnya langsung berdiri meninggalkan tempat shalat, dan zikir dilakukan secara pribadi atau tidak dilakukan secara formal di masjid. Perbedaan ini bukan hanya mencerminkan kecenderungan fikih dan ideologi keagamaan yang berbeda, tetapi juga menunjukkan adanya keragaman cara dalam memahami dan mengaktualisasikan teks-teks Al-Qur’an.
  • Dengan latar belakang tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji dan menyinkronkan dua ayat yang tampak bertentangan tersebut melalui pendekatan tafsir tematik dan analisis kontekstual. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa perintah zikir dan perintah bertebaran di muka bumi tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam kerangka ajaran Islam yang menyeluruh, yang menyeimbangkan antara dimensi spiritual dan sosial.
  • PEMBAHASAN
  • A. Prinsip Konsistensi Wahyu: Telaah terhadap QS. An-Nisa [4]: 82
  • Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia. Salah satu prinsip utama dalam memahami Al-Qur’an adalah keyakinan bahwa tidak ada pertentangan dalam isi dan ajarannya. Hal ini ditegaskan secara eksplisit dalam QS. An-Nisa [4]: 82:
  • أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَٰفًا كَثِيرًا
  • “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”
  • Ayat ini menjadi fondasi teologis penting bahwa setiap ayat dalam Al-Qur’an, meskipun berbeda konteks atau tema, tidak saling bertentangan secara hakiki. Bila ditemukan ayat-ayat yang terkesan kontradiktif secara lahiriah, maka persoalannya bukan pada teks, melainkan pada cara pembaca dalam memahaminya.
  • Imam al-Qurṭubī menjelaskan bahwa ayat ini menjadi hujjah bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an bersifat koheren secara internal, dan bahwa keraguan atas koherensi itu hanya timbul dari kurangnya tadabbur atau perenungan terhadap makna ayat-ayat tersebut. Sementara itu, al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr menekankan bahwa tidak adanya pertentangan dalam Al-Qur’an adalah dalil rasional atas keilahian sumbernya, sebab kontradiksi adalah ciri dari karya manusia yang terbatas.
  • Oleh karena itu, setiap kesan kontradiksi antara ayat—misalnya antara perintah untuk berzikir pasca-shalat (QS. An-Nisa: 103) dengan perintah untuk segera bertebaran di bumi setelah shalat Jumat (QS. Al-Jumu‘ah: 10)—harus disikapi secara metodologis, bukan ideologis. Kesadaran bahwa tidak ada pertentangan dalam wahyu mengarahkan para mufassir untuk mencari makna terdalam dan relasi tematik yang harmonis antar-ayat, bukan mempersepsikannya sebagai pertentangan tegas.
  • Kesadaran ini menjadi landasan ilmiah dan etis dalam setiap pendekatan tafsir. Maka, perbedaan dalam praktik keagamaan seperti zikir berjamaah pasca-shalat yang umum dilakukan di kalangan NU, dan praktik langsung beranjak setelah shalat seperti yang terjadi di kalangan Muhammadiyah, seharusnya dipahami bukan sebagai akibat pertentangan teks, tetapi sebagai hasil dari ijtihad atas teks yang multi-dimensi namun tetap koheren.
  • B. Harmonisasi Ajaran Setelah Shalat: Antara Zikir dan Aktivitas Sosial dalam Al-Qur’an
  • Salah satu kekuatan metodologis dalam kajian tafsir adalah kemampuannya mengurai ayat-ayat yang sekilas tampak kontradiktif menjadi struktur pemahaman yang harmonis. Dua ayat yang sering kali dijadikan perdebatan dalam praktik pasca-shalat adalah QS. An-Nisa: 103 yang menekankan pentingnya zikir setelah shalat, dan QS. Al-Jumu‘ah: 10 yang menganjurkan umat Islam untuk segera kembali ke aktivitas dunia setelah shalat Jumat. Perbedaan penekanan dalam kedua ayat ini sering kali menimbulkan perbedaan praksis di kalangan umat Islam, seperti antara praktik zikir berjamaah yang umum dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan praktik langsung meninggalkan tempat shalat seperti yang dilakukan oleh sebagian warga Muhammadiyah.
  • Namun jika dikaji secara mendalam dan dikembalikan kepada prinsip dasar dalam QS. An-Nisa: 82—bahwa tidak mungkin terdapat pertentangan dalam Al-Qur’an, maka semestinya kedua ayat ini dipahami secara sinergis, bukan antagonis. Kedua ayat tersebut sebenarnya mengarahkan umat Islam kepada keseimbangan antara kesalehan spiritual (zikir) dan kesalehan sosial (aktivitas duniawi) sebagai satu kesatuan utuh dari pengamalan Islam.
  • 1. QS. An-Nisa: 103 – Zikir sebagai Kelanjutan Spiritual Setelah Shalat.
  • Allah berfirman:
  • فَإِذَا قَضَيْتُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا ٱطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ ۚ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا“Apabila kamu telah menyelesaikan shalat, maka ingatlah Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 103)
  • Ayat ini diturunkan dalam konteks shalat khauf (shalat dalam keadaan perang), namun para mufasir klasik maupun kontemporer sepakat bahwa kandungannya bersifat umum dan relevan dalam kondisi apa pun. Imam al-Ṭabarī menjelaskan bahwa zikir yang dimaksud dalam ayat ini tidak terbatas pada bentuk verbal (lisan), tetapi juga mencakup zikir hati, doa, tasbih, tahmid, dan takbir yang dilakukan sesudah shalat sebagai bentuk kesadaran ketuhanan yang berkelanjutan.
  • Lebih lanjut, Imam al-Qurṭubī menafsirkan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk senantiasa mengingat Allah, khususnya setelah shalat, dengan berbagai cara dan posisi fisik. Ia menegaskan bahwa zikir adalah bagian dari penyempurna shalat, dan bahwa umat Islam dianjurkan untuk tidak langsung berpaling dari dimensi spiritual setelah menunaikan ibadah fardhu.
  • Dalam konteks ini, zikir berjamaah setelah shalat menjadi wujud nyata dari pelaksanaan QS. An-Nisa: 103. Ia tidak hanya menjadi aktivitas individual, tetapi juga membentuk ruang kolektif yang memperkuat kekhusyukan dan kesadaran keagamaan bersama. Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa zikir pasca-shalat berfungsi sebagai "perpanjangan ruhani" dari shalat, dan sebaiknya dilakukan dalam suasana yang kondusif untuk menghadirkan kekhusyukan dan penghayatan.
  • 2. QS. Al-Jumu‘ah: 10 – Aktivitas Sosial yang Diiringi Zikir
  • Firman Allah:
  • فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 10)
  • Ayat ini sering dijadikan dasar untuk meninggalkan masjid segera setelah shalat, terutama oleh kalangan Muhammadiyah. Namun, penafsiran yang komprehensif menunjukkan bahwa ayat ini tidak mengabaikan zikir, bahkan justru memerintahkannya dengan redaksi yang tegas: "wadzkurullāha katsīrā", artinya: ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.
  • Dalam Tafsir al-Qurṭubī, dijelaskan bahwa perintah untuk “bertebaran” adalah perintah mubah (boleh), sedangkan perintah zikir adalah bentuk kesalehan berkelanjutan yang lebih utama dan dianjurkan. Maka, meskipun seseorang diperbolehkan kembali ke urusan dunia setelah shalat, hal itu tidak boleh serta-merta menafikan zikir. Bahkan, akan lebih baik jika seseorang terlebih dahulu menyempurnakan zikirnya sebelum beranjak kepada aktivitas duniawinya.
  • Pandangan ini diperkuat oleh al-Marāghī yang menyebut bahwa zikir adalah penyeimbang terhadap kesibukan dunia, agar manusia tidak terjerumus dalam kelalaian. Zikir berjamaah, dalam hal ini, berperan bukan hanya sebagai ibadah lisan, tetapi juga sebagai mekanisme pembentukan ruh keislaman yang kolektif.
  • 3. Zikir Berjamaah: Pengamalan Terbaik dari Dua Aya
  • Zikir berjamaah setelah shalat, sebagaimana yang dilazimkan oleh Nahdlatul Ulama, sejatinya merupakan implementasi terbaik dari integrasi dua ayat ini. QS. An-Nisa: 103 memberi landasan kuat bahwa zikir adalah bagian dari ibadah pasca-shalat, sementara QS. Al-Jumu‘ah: 10 memberikan ruang agar zikir tersebut dilakukan sebelum kembali ke aktivitas dunia.
  • Lebih dari itu, dalam perspektif tasawuf dan tradisi pesantren, zikir berjamaah memiliki dimensi transformasi jiwa dan pembinaan moral kolektif. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Imam al-Ghazālī menyebutkan bahwa berkumpul untuk zikir adalah sarana penyucian jiwa yang paling efektif, karena dalam kebersamaan terdapat semangat saling mengingatkan dan memperkuat iman.
  • Dengan demikian, zikir berjamaah setelah shalat bukan hanya boleh, tetapi juga lebih utama, terutama dalam konteks sosial di mana jamaah membutuhkan ruang spiritual bersama untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama Muslim.
  • C. Analisis Praktik Zikir Setelah Shalat dalam Perspektif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
  • Perbedaan cara umat Islam menjalankan praktik ibadah setelah shalat, khususnya dalam hal zikir berjamaah atau tidak, bukanlah hal baru di tengah masyarakat Indonesia. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki pendekatan berbeda terhadap praktik ini. Namun, perbedaan tersebut tidak berdiri di atas dasar kontradiksi ayat, melainkan pada penekanan metodologis terhadap teks.
  • 1. Nahdlatul Ulama: Zikir Berjamaah sebagai Tradisi Kolektif Spiritual
  • Di lingkungan NU, zikir berjamaah setelah shalat fardhu merupakan bagian dari ritual rutin yang menyatu dengan budaya pesantren dan kehidupan keislaman masyarakat. Amalan ini biasanya mencakup istighfar, tasbih, tahlil, tahmid, takbir, hingga doa bersama, yang dipimpin oleh imam atau tokoh agama.
  • Secara teologis, NU mendasarkan praktik ini pada pemahaman bahwa zikir berjamaah adalah bentuk amalan sunnah yang memiliki dalil umum. Dalam kitab-kitab fiqih dan tasawuf, seperti Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya Imam al-Ghazālī, ditekankan bahwa zikir bersama mengandung keutamaan karena mampu menghidupkan hati, memperkuat ikatan ukhuwah, serta menghadirkan suasana ruhani dalam komunitas.
  • Selain itu, amalan ini juga menjadi wujud dari pengamalan QS. An-Nisa: 103 secara sosial, dengan cara membentuk ruang perenungan kolektif pasca-shalat sebelum kembali ke aktivitas dunia. Tidak terburu-buru meninggalkan shalat, dan menyempatkan waktu untuk berzikir bersama, dipandang sebagai bentuk adab terhadap ibadah dan refleksi atas apa yang baru saja dilakukan.
  • 2. Muhammadiyah: Zikir Individual dan Efisiensi Ibadah
  • Sebaliknya, Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan Islam memandang bahwa zikir adalah amalan sunnah yang lebih utama dilakukan secara personal dan tanpa formalitas berjamaah. Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, ditegaskan bahwa zikir setelah shalat memang dianjurkan, namun tidak ada nash yang secara eksplisit menyebut zikir berjamaah sebagai keharusan.
  • Bagi Muhammadiyah, QS. Al-Jumu‘ah: 10 dipahami sebagai perintah agar setelah selesai shalat, seorang Muslim segera kembali ke aktivitas sosial dan ekonomi, tanpa memperpanjang waktu di masjid kecuali untuk ibadah lainnya. Zikir tetap dilakukan, namun cukup dalam hati atau secara pribadi.
  • Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip efisiensi dalam ibadah, yang menjadi ciri khas pemikiran Muhammadiyah: tidak menambah atau mengurangi sesuatu dari apa yang telah diajarkan Rasulullah secara eksplisit. Karenanya, meskipun tidak menolak zikir, Muhammadiyah memilih pendekatan yang lebih tekstual dan individualistik dalam pengamalannya.
  • 3. Harmonisasi: Tidak Ada Pertentangan, Hanya Perbedaan Penekanan
  • Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pertentangan substansial antara praktik NU dan Muhammadiyah, karena keduanya berpijak pada dalil yang sah dan sahih. NU menekankan dimensi sosial-spiritual dari zikir, sementara Muhammadiyah menekankan kesederhanaan dan individualitas dalam pelaksanaan zikir.
  • Kedua pendekatan tersebut juga tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa: 103 maupun QS. Al-Jumu‘ah: 10. Justru, keduanya merupakan tafsir praksis dari ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak menyebut satu bentuk tunggal sebagai cara berzikir, tetapi memberikan ruang ijtihad dalam pengamalannya.
  • Dalam konteks ini, zikir berjamaah yang dilakukan NU dapat dipandang sebagai bentuk penguatan kesadaran kolektif spiritual dan memuliakan momen pasca-shalat. Ini merupakan pengamalan ayat secara integratif, di mana zikir dan aktivitas sosial tidak saling meniadakan, tetapi diselaraskan secara berurutan dan kontekstual.

Kesimpulan

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam menegaskan dalam QS. An-Nisa [4]: 82 bahwa tidak ada kontradiksi dalam wahyu ilahi. Oleh karena itu, ayat-ayat yang terlihat bertentangan seperti QS. An-Nisa: 103 (yang memerintahkan zikir setelah shalat) dan QS. Al-Jumu‘ah: 10 (yang menganjurkan bertebaran di bumi setelah shalat Jumat), harus dipahami secara harmonis, bukan secara konfrontatif.

Al-Qur'an sebagai kitab QS. An-Nisa: 103 menunjukkan pentingnya menjaga kesinambungan ruhani melalui zikir setelah shalat. Sementara QS. Al-Jumu‘ah: 10 memberi petunjuk agar umat Islam kembali ke aktivitas duniawi sembari tetap menjaga kesadaran spiritual melalui zikir yang terus-menerus. Maka, keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi: zikir menjadi transisi ruhani menuju aktivitas dunia, bukan ditinggalkan sama sekali.

Praktik zikir berjamaah yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) merupakan implementasi yang menyeluruh terhadap kedua ayat tersebut, menggabungkan aspek zikir intensif (QS. An-Nisa: 103) dan persiapan mental sebelum kembali ke kehidupan dunia (QS. Al-Jumu‘ah: 10). Di sisi lain, pendekatan Muhammadiyah yang lebih individualistik dalam zikir juga merupakan bentuk ijtihad dalam mengutamakan efisiensi dan kesederhanaan.

Dengan demikian, perbedaan praksis ini bukan berasal dari kontradiksi ayat, tetapi dari metode penekanan yang berbeda dalam memahami Al-Qur’an. Zikir berjamaah, dilihat dari sisi sosial dan spiritual, merupakan pengamalan yang lebih kaya manfaat kolektif dan lebih optimal dalam menghadirkan nilai-nilai ruhani pasca-shalat.


DAFTAR PUSTAKA Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Kairo: Dār al-Ma‘ārif. Al-Marāghī, Aḥmad Muṣṭafā. Tafsīr al-Marāghī. Kairo: Maṭba‘ah al-Bābī al-Ḥalabī. Al-Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad. al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Al-Rāzī, Fakhruddīn. Tafsīr al-Kabīr (Mafātīḥ al-Ghayb). Beirut: Dār al-Fikr. Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (Edisi Revisi). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2005.



Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image