Waktu Itu Telah Mati
Sastra | 2025-07-23 09:39:27
Aku yakin, dunia itu tak begitu kejam seperti yang ibu katakan. Sebab, Tuhan telah menciptakan segala rentetan hidup dengan takdir baik maupun buruk. Semua hal itu tergantung dari bagaimana seseorang dapat memilih jalannya baik di dunia maupun di keabadian nantinya.
Suara runtuh dari belakang dapur akibat retak yang telah lama dibiarkan, membangunkan ibu secara spontan. Ia berteriak histeris seakan-akan ia akan dibunuh. Tetapi, ia juga selalu mengharapkan jika dirinya mati, daripada harus hidup dengan pikiran-pikiran sakit yang membuat semakin bertambah gila.
Aku sudah cukup merasa dirinya waras. Sejak ia waraspun memang sudah gila. Perempuan tidak akan mudah jatuh cinta, kecuali kebodohan atas cinta. Ia tersiksa, memandang wajah pria keturunan Tionghoa itu membuatnya merasa cinta sejati. Dahulu, ayahku adalah seorang pelaut dengan pangkat tertinggi. Namanya saja ia seorang tentara pasti sangat penuh dengan tugas. Tidak akan mudah untuk saling bertemu. Karena kudengar, istri adalah nomor dua, dan pekerjaan adalah utama melebihi diri sendiri. Tak heran bukan, jika seorang tentara ada peraturan dalam hal kesetiaan.
Tetapi, namanya saja laki-laki mana tahu dia soal kesetiaan terutama jika diuji jabatan dan uang. Baginya, dunia adalah segala-galanya dengan uang dan kehormatan. Semua wanita akan tergila-gila meski pria itu telah memiliki anak dan istri. Itulah yang ayah lakukan pada saat ia bekerja. Menyewa perempuan dengan membeli minuman keras, anehnya ia tetap dipercaya dan diandalkan. Saat itu, ayah pulang. Wajah ibu begitu cantik dan tubuhnya masih sangat ramping. Mendengar suaminya telah pulang, ia memasak menu favorit. Pintu diketuk dan wajah indah ibu memancarkan rasa rindu berat pada suaminya.
Ayah dengan tanpa dosa, mengatakan ia begitu cinta sambil mengenggam tangannya. Aku duduk dan melihat ayah menuju ke arahku. Ia memelukku lalu menggendongku. Makanan dengan penuh kasih sayang ini dilahap habis oleh ayah. Selanjutnya mereka menuju kamar untuk menikmati keindahan cinta. Paginya, dengan rambut basah ibu mengambil baju-baju kotor ayah untuk segera dicuci. Saat merogoh, ia menemukan celana dalam seorang wanita di sakunya. Lalu, bekas bibir dengan warna merah dara lengket di kerahnya. Ia lama memikirkan tanda-tanda itu, tapi sahabatnya dulu yang kini menjadi janda menunjukkan tanda-tanda itu adalah bukti dari sebuah pengkhianat. Benar, inilah awal mengapa ibu menjadi sosok yang sangat berbeda.
Mengetahui suaminya telah berkhianat, ia depresi sampai menghantam kepalanya ke lantai. Luka sobek dengan sebelas jahitan adalah tanda rasa sakit di dalam dadanya. Ia benci dengan laki-laki, tetapi nyatanya pemuda Tionghoa itu membuatnya kembali jatuh cinta.
Bagaimana bisa ibu menikah dengannya, sedangkan aku anaknya masih sendiri tanpa seorang mantan. Jelas saja, lelaki itu membiarkan ibu dalam keadaan semakin tak wajar. Akibatnya, akulah yang menanggung semua penderitaan ibu karena laki-laki. Semua baginya adalah hampa, tidak ada kesempatan untuk berubah. Waktu memberikannya kematian di dalam kehidupan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
