Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Salahudin Al Ayubbi

Menata Merdeka Literasi di Era Digital

Pendidikan dan Literasi | 2025-07-22 15:05:26
Sumber Foto: Pixabay

Pendidikan di Indonesia mengalami banyak perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu perubahan paling penting adalah meningkatnya kesadaran akan pentingnya literasi, terutama di tengah arus digital yang semakin deras. Literasi tidak lagi sekedar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, dan membuat keputusan berdasarkan data yang akurat.

Di tengah perkembangan teknologi, informasi dapat diakses dengan mudah. Sayangnya, kemudahan ini tidak selalu diiringi dengan kemampuan memilah dan memahami informasi yang benar. Banyak anak muda yang terbiasa menggunakan media sosial, namun tentu belum mampu membedakan mana informasi yang valid dan mana yang sekadar sensasional. Pentingnya literasi digital. Literasi digital bukan hanya soal bisa mengoperasikan gawai, tapi lebih dari itu—bagaimana kita memahami konten digital secara kritis dan bertanggung jawab.

Masalahnya, budaya membaca di Indonesia masih rendah. Banyak siswa yang belum terbiasa membaca buku di luar buku pelajaran. Hal ini diperparah oleh terbatasnya akses terhadap buku bacaan yang menarik dan terjangkau. Di beberapa daerah, perpustakaan sekolah bahkan tidak berfungsi secara maksimal. Padahal, minat membaca bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya. Ia butuh dirangsang, dibiasakan, dan didukung oleh lingkungan.

Peran guru sangat penting dalam hal ini. Guru bukan hanya sekedar menyampaikan materi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi siswanya untuk terus belajar. Ketika guru membaca dan menulis, siswa pun akan terdorong melakukan hal yang sama. Sayangnya, beban administratif dan kurikulum yang padat sering kali membuat guru kesulitan menerapkan pendekatan literatif dalam pembelajaran. Meskipun demikian, masih banyak guru yang berjuang memperkenalkan budaya membaca melalui metode kreatif—mulai dari membaca bersama, membuat resensi buku, hingga menulis cerita pendek.

Literasi juga harus ditanamkan sejak dalam keluarga. Orang tua bisa memulainya dengan menyediakan buku bacaan di rumah atau membacakan cerita sebelum tidur. Aktivitas sederhana ini bisa menumbuhkan kebiasaan baik yang bertahan seumur hidup. Anak-anak yang terbiasa mendengarkan cerita, akan tumbuh menjadi anak yang mempunyai imajinasi dan empati yang baik.

Pemerintah juga punya peran besar. Selain mengembangkan program literasi nasional, pemerintah perlu mendistribusikan buku secara merata hingga pelosok desa. Harga buku yang masih tinggi juga menjadi tantangan tersendiri. Dalam hal ini, perpustakaan keliling, taman bacaan masyarakat, dan program subsidi buku bisa menjadi solusi konkret yang patut dibanggakan.

Literasi bukan program musiman. Ia harus menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini tidak tumbuh secara instan. Ia membutuhkan waktu, usaha kolektif, dan dukungan dari berbagai pihak—sekolah, keluarga, komunitas, dan negara. Literasi bukan hanya bekal akademik, tapi juga bekal hidup. Orang yang melek huruf akan lebih siap menghadapi perubahan zaman, lebih kritis dalam mengambil keputusan, dan lebih bijak dalam bermedia sosial.

Dalam konteks konteks merdeka, literasi bisa menjadi inti dari proses belajar yang menyenangkan. Siswa tidak lagi dibatasi oleh hafalan, tetapi didorong untuk mengeksplorasi, bertanya, dan menemukan sendiri jawaban dari berbagai sumber. Literasi mengajarkan mereka untuk tidak cepat percaya, tapi juga tidak cepat menolak. Literasi mengajarkan untuk berpikir.
Menata merdeka literasi berarti memberi ruang bagi siswa, guru, dan orang tua untuk belajar bersama. Bukan dalam suasana tegang, tetapi dalam semangat kolaborasi dan kebebasan. Bebas dari tekanan, bebas dari pola pikir lama, dan bebas untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Jika kita ingin pendidikan Indonesia benar-benar maju, maka literasi harus menjadi prioritas. Karena pendidikan tanpa literasi adalah pendidikan yang kosong. Dan generasi tanpa literasi adalah generasi yang mudah diarahkan, tapi sulit dipimpin. Maka mari mulai dari hal kecil—baca satu halaman sehari, diskusikan satu ide setiap pekan, dan tulis satu pemikiran setiap bulan. Dari situ, perlahan, kita sedang membangun masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image