Chinatown Padukan Budaya dan Kuliner dalam Satu Rasa
Kuliner | 2025-07-20 13:48:04
Suasana kawasan Chinatown yang terletak di Jakarta Barat atau dikenal juga dengan Pecinan Glodok kembali menyita perhatian pengunjung. Warna merah mendominasi sudut-sudut jalan, lampion-lampion bergelantungan di atas kepala, dan aroma makanan tradisional berpadu dengan keramaian pengunjung yang terus berdatangan. Di tengah keramaian itu, budaya dan kuliner berpadu menjadi sajian yang tidak hanya menggugah selera, tetapi juga menyampaikan warisan identitas yang masih dijaga hingga saat ini.
Chinatown menjadi salah satu destinasi yang ramai dikunjungi warga, terutama pada akhir pekan. Kawasan ini tidak hanya menawarkan berbagai macam kuliner, tetapi juga menjadi ruang interaksi budaya yang hidup. Dari arsitektur bangunan, dekorasi khas Tionghoa, hingga musik yang mengalun di antara deretan kios, semuanya memberi kesan seolah pengunjung tengah berada di sebuah kota kecil di Tiongkok.
“Rame banget, warna-warni gitu, dan vibe-nya benar-benar beda. Banyak lampion, ornamen merah, bikin suasananya khas banget,” kata Qiya, salah satu pengunjung Chinatown saat diwawancarai pada Sabtu (13/6).
Keunikan Chinatown tidak hanya terlihat dari arsitektur bangunan nya, budaya Tionghoa terasa kuat lewat ragam kulinernya. Makanan khas China seperti chi chong fan, sapo tahu, dim sum, kuo tieh dan camilan khas oriental disajikan berdampingan dengan hidangan lokal seperti sate padang dan sop kambing. Perpaduan ini menunjukkan keberagaman yang terus hidup di tengah masyarakat.
Setiap sudut Chinatown menawarkan pengalaman rasa yang unik. Chi chong fan, misalnya, adalah gulungan berbahan dasar tepung beras yang disiram saus manis-gurih dan kerap disajikan panas-panas. Lalu ada sapo tahu, tahu lembut yang dimasak dalam kuah kental bersama seafood atau ayam, menjadi favorit keluarga. Dim sum hadir dalam berbagai jenis, dari hakau udang transparan, siomai ayam kukus, hingga bakpao isi kacang merah. Semua disajikan dalam bentuk yang khas, memberi sentuhan autentik pada pengalaman makan.
“Menurut aku harus cobain chi chong fan sih, teksturnya tuh lembut, sausnya asem sama pedes, buat pecinta rasa baru pasti bakal suka sih,” ujar Qiya saat ditanya rekomendasi makanan di Chinatown.
Di balik suasana meriah dan sajian lezat, ada para pedagang yang telah lama menjaga keberlangsungan kawasan ini. Salah satunya adalah Karim, yang sudah berjualan sejak tahun 2011. Ia mengaku memilih Chinatown sebagai lokasi usaha karena karakteristik pasarnya yang cocok dengan produk jualannya.
“Karena ini kan kawasan orang Cina, jualannya juga yang berbau Cina. Jadi target pasarnya pas,” kata Karim saat diwawancarai pada Sabtu (13/6). Menurutnya, kekuatan kuliner di Chinatown terletak pada keragaman dan nilai historisnya. “Dari zaman dulu, makanan di sini udah terkenal. Banyak yang legendaris. Kuliner di sini tuh jadi alasan orang liburan, cari rasa yang beda,” ungkapnya.
Selain sebagai tempat berdagang, Chinatown juga menyimpan kenangan tersendiri bagi para pedagang, terutama pada momen-momen spesial saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh. “Kalo Imlek menarik nya tuh kunjungan luar biasa, jadi orang tuh berbondong bondong kesini selama satu bulan, emang rame orang-orang dateng buat cari barang imlek, ada lagi event tahunan tuh cap go meh, itu khusus orang orang hindu gitu memang punya acara disini,” ujar Karim.
Chinatown bukan sekadar tempat makan atau belanja pernak-pernik khas Tionghoa. Kawasan ini merepresentasikan keberagaman budaya yang bisa hidup berdampingan lewat media sederhana, yaitu makanan. Melalui paduan rasa, aroma, dan suasana, pengunjung tidak hanya mengisi perut, tetapi juga menyerap nilai dan cerita yang dibalut dalam tradisi turun-temurun.
Selain tempat kuliner nya yang beragam, berdiri sebuah sudut yang berbeda dari deretan kuliner dan bangunan klasik, yaitu wishing wall atau dinding harapan. Dihiasi ratusan pita merah dan kertas berisi doa, impian, dan harapan para pengunjung, tempat ini menjadi simbol kecil untuk harapan yang besar. Pengunjung bebas menuliskan harapan pada secarik kertas lalu menggantungnya di wishing wall.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang semakin deras, kawasan seperti Chinatown menjadi penanda penting bahwa pelestarian budaya bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan dimana saja. Masyarakat dari berbagai latar belakang bisa menikmati dan menghargai budaya Tionghoa tanpa harus melintasi batas negara.
Tidak hanya menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal, kekayaan kuliner Chinatown juga membuka peluang bagi generasi muda untuk lebih mengenal warisan budaya melalui cara yang sederhana. Makanan tidak lagi sekadar konsumsi, tetapi juga menjadi pintu masuk untuk memahami sejarah, nilai, dan kehidupan masyarakat yang sudah lama tumbuh di kawasan ini. Selama tradisi kuliner terus dihidangkan dan dinikmati, warisan budaya itu pun akan terus bertahan di tengah perubahan zaman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
