Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HALO MUSAFIR

Sarjana Mengganggur, Kok Bisa?

Gaya Hidup | 2025-07-20 12:45:22

Pengangguran di kalangan sarjana adalah fenomena yang semakin nyata dari waktu ke waktu. Padahal secara harfiyah, sarjana adalah orang yang tercerahkan dan terpelajar. Ia juga sering disebut agen perubahan.

Kita juga bisa mendiskusikan ulang apa itu "pengangguran" dan apa itu "kerja", mungkin di sesi lain.

Mari kita mulai ulasan ringan ini, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas meningkat dari 4,8% pada 2022 menjadi 5,18% pada 2023.

Menurut laporan lainnya, data terbaru, jumlah sarjana yang menganggur di Indonesia mencapai 1,01 juta orang dari total pengangguran sebanyak 7,28 juta orang ( ini hanya yang tercatat dalam statistik).

Angka tadi menjadi perhatian karena menunjukkan tantangan dalam penyerapan tenaga kerja terdidik di pasar kerja. (sebenarnya saya kurang setuju dengan istilah pasar kerja)

Keadaan di atas menunjukkan adanya tantangan besar bagi lulusan pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah sistem pendidikan kita gagal dalam menyiapkan lulusan yang siap kerja, atau berkarya, ataukah ada faktor lain yang lebih kompleks?

Kesenjangan antara Pendidikan dan Dunia Kerja

Salah satu penyebab utama yang sering jadi variabel adalah kesenjangan antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan nyata di dunia industri.

Banyak program studi di universitas masih berfokus pada teori tanpa memberikan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan aplikatif dan kesiapan teknis lainnya.

Lulusan sarjana sering kali merasa tidak siap menghadapi tantangan nyata di lapangan karena kurangnya pengalaman praktis dan keterampilan spesifik yang dibutuhkan oleh pemberi kerja.

Mentalitas dan Ekspektasi

Selain itu, ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pekerjaan pertama juga menjadi faktor signifikan. Yaitu sikap untuk segera mapan dan tak mau berkarir" dari nol, atau hanya bertumpu di satu bidang linear.

Banyak sarjana memilih untuk menunggu pekerjaan "ideal" sesuai bidangnya dan ekspektasinya, daripada mengambil peluang yang tersedia, atau merancang suatu peluang baru.

Mentalitas ini bisa memperpanjang masa transisi (menganggur) mereka dari pendidikan ke dunia kerja.

Koneksi dan Akses

Akses ke informasi pekerjaan dan jaringan profesional juga menjadi tantangan. Banyak peluang pekerjaan yang tidak diiklankan secara terbuka tetapi diperoleh melalui koneksi personal, atau jaringan terdekat dan kroni".

Ini membuat mereka yang tidak memiliki jaringan luas berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Solusi

Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada sinergi antara institusi pendidikan, industri, masyarakat dan pemerintah.

Pendidikan tinggi (bahkan dan tingkat SMP) harus lebih responsif terhadap kebutuhan di lapangan, dengan mengintegrasikan keterampilan praktis dalam kurikulum, disertai keterampilan lintas bidang.

Lulusan sarjana juga perlu lebih fleksibel dan proaktif dalam mencari peluang kerja, serta membangun jaringan profesional sejak dini.

Para sarjana (orang terdidik) mesti bisa membuka peluang karir baru ( mengembangkan diri) secara mandiri yang berbasis kesejahteraan sosial, ekonomi, teknologi, dan program pemberdayaan masyarakat.

Dalam opini kami, pengangguran di kalangan sarjana bukanlah hanya tanggung jawab satu pihak. Ini membutuhkan kerjasama semua pemangku kepentingan (termasuk persepsi orangtua tentang "apa itu kerja") untuk menciptakan ekosistem yang mendukung transisi smooth dari pendidikan ke dunia luas.

optimasi peran eksistensial, penutup:

Eksistensi kaum terpelajar tidak terhenti pada pencapaian profesi belaka, atau puas dengan jadwal kerja dan seremoni mekanis yang padat dengan gaji maksimal.

Bila hanya berhenti pada level ini, sesungguhnya kampus dan sekolah hanya menjadi corong industri dan kapitalisme global: kaum yang terpelajar itu hanya sekadar menjadi "manusia- mekanik", atau kelas pekerja yang ambisinya hanya pemenuhan ekonomis (perut) dan kesenangan nisbi semata, seperti gengsi atau gaya hidup.

Meskipun kita tidak mengabaikan faktor profesi dalam level keterpelajaran, namun tuntutan menjadi terpelajar lebih tinggi dari itu. Kaum terpelajar mesti terhubung dengan perbaikan realitas sosial, terlibat dalam rangkaian kerja non linear dan terus mengeksplorasi kemampuan diri beserta jagat rahasia semesta.

Eksistensi kaum terpelajar melekat dalam seluruh aktivitasnya. Baik saat berdiri aktif, duduk rehat dan bahkan berbaring. Keseluruhan waktunya dituntaskan untuk mendalami hakikat kehambaannya dan bertafakkur guna mencapai pengertian dan penemuan baru yang berdampak di skala pribadi dan universalitas.

Taufik sentana

konsultan SDM, Pengembang Nuruttaufiq Islamic Education Consulting Aceh. Blogger Produktif di Retizen dan Kompasiana dengan total 3000 artikel. Kontributor lepas di Portalsatu Aceh

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image