Terancamnya Budaya Literasi Akibat Perkembangan AI
Bisnis | 2025-07-19 21:01:03
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) dalam satu terakhir telah membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia: ekonomi, pendidikan, industri, bahkan kebiasaan sehari-hari. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, ada satu fenomena yang mulai menyelinap tanpa disadari: budaya literasi yang semakin terpinggirkan.
Budaya literasi, yang mencakup kemampuan membaca, memahami, berpikir kritis, dan menulis, sejatinya merupakan fondasi dari masyarakat yang cerdas dan beradab. Namun, dalam era AI yang serba instan, budaya ini tampaknya mulai mengalami erosi. Banyak yang kini lebih mengandalkan mesin pencari, aplikasi AI, dan asisten virtual ketimbang menggali informasi secara mandiri melalui membaca buku atau merenungi gagasan dari tulisan panjang.
AI diciptakan untuk membantu manusia menyelesaikan tugas-tugas kompleks dengan lebih efisien. Namun, pada saat yang sama, ia berpotensi membuat manusia menjadi terlalu bergantung. Dengan satu perintah suara atau kalimat sederhana, AI dapat memberikan ringkasan buku, menjawab soal esai, bahkan menyusun makalah. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kita masih mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk berpikir kritis dan aktif membaca?
1. Dari Membaca Aktif ke Konsumsi Instan
Salah satu tanda nyata dari turunnya budaya literasi adalah menurunnya minat baca, khususnya terhadap bacaan panjang dan kompleks. Banyak orang kini lebih memilih ringkasan atau poin-poin penting yang disediakan oleh AI ketimbang membaca keseluruhan isi buku. Padahal, membaca secara mendalam adalah proses yang melatih nalar, empati, dan imajinasi. Tanpa proses ini, manusia menjadi pasif dan mudah terpengaruh, bahkan rentan terhadap informasi.
Bahkan dalam dunia pendidikan, siswa dan mahasiswa kini semakin banyak yang "meng-outsourcing" tugas berpikir mereka kepada AI. Bukan sekadar mencari referensi, tetapi langsung meminta AI menulis esai, membuat rangkuman, hingga menjawab soal ujian. Dalam jangka panjang, ini berpotensi melemahkan kemampuan menulis dan memahami secara mandiri.
2. AI Mengganti, Bukan Mendampingi
Idealnya, AI berperan sebagai asisten, bukan pengganti. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Banyak pengguna AI hanya ingin jawaban cepat, tanpa tertarik memahami proses berpikir di baliknya. Hal ini berdampak langsung pada melemahnya daya literasi. Ketika AI digunakan tanpa kesadaran literatif, manusia hanya menjadi konsumen informasi, bukan lagi pencipta atau pengolah gagasan.
Kondisi ini diperparah oleh sistem algoritma yang menyesuaikan informasi dengan preferensi pengguna, sehingga mempersempit cakrawala berpikir dan menutup kemungkinan eksplorasi intelektual. Literasi tidak hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga soal membuka diri terhadap berbagai sudut pandang. Jika AI hanya menyajikan apa yang ingin kita dengar, maka ruang kritis pun turut menyempit.
3. Dari Literasi ke Otomatisasi: Bahaya yang Mengintai
Bahaya utama dari otomatisasi dalam berpikir adalah hilangnya proses pembentukan karakter intelektual. Generasi yang dibesarkan dengan kemudahan AI mungkin pintar secara teknis, tetapi belum tentu cakap secara literatif. Mereka bisa menjawab, tapi belum tentu bisa bertanya dengan tajam. Mereka bisa menulis, tapi belum tentu menulis dengan pemahaman dan empati.
Jika budaya ini terus berlanjut, kita bisa menghadapi krisis literasi intelektual: masyarakat yang tampak pintar karena mampu mengakses teknologi, namun sesungguhnya tidak memiliki kedalaman berpikir. Ini bisa berdampak luas: mulai dari menurunnya kualitas debat publik, rendahnya partisipasi kritis dalam demokrasi, hingga menurunnya apresiasi terhadap karya-karya sastra dan ilmu pengetahuan.
4. Apa yang Bisa Dilakukan?
Tentu saja bukan berarti kita harus memusuhi AI. Justru sebaliknya, kita harus mengajarkan cara memanfaatkannya secara bijak. AI bisa menjadi alat bantu yang luar biasa jika digunakan dengan literasi yang kuat. Misalnya, menggunakan AI untuk menyempurnakan tulisan yang sudah kita buat sendiri, atau untuk memperkaya perspektif terhadap suatu topik.
Pendidikan literasi di sekolah dan perguruan tinggi harus diperkuat, bukan dikurangi. Guru dan dosen perlu mengajarkan cara membaca kritis, menulis reflektif, serta menggunakan teknologi secara etis. Orang tua juga harus membiasakan anak untuk membaca buku fisik, berdiskusi, dan mengembangkan opini sendiri, bukan hanya mengandalkan mesin.
Selain itu, perlu ada kebijakan dari pemerintah dan lembaga pendidikan untuk menyeimbangkan penggunaan AI dalam proses pembelajaran. Literasi digital perlu dibarengi dengan literasi kritis, agar tidak terjebak dalam kemudahan yang meninabobokan.
Harry William Sigalingging Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Medan
Helena Sihotang Dosen Universitas Katolik Santo Thomas Medan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
