Profesional Cepat, Tapi Lupa Sopan: Etika Bukan Sekadar Formalitas
Bisnis | 2025-07-19 18:53:33
Di tengah arus deras perubahan dunia kerja yang semakin cepat dan menuntut efisiensi tinggi, kita menyaksikan sebuah fenomena yang diam-diam menggerogoti akar profesionalisme itu sendiri: memudarnya etika dan kesopanan. Segalanya ingin serba instan, serba ringkas, dan tanpa basa-basi. Dalam atmosfer kerja seperti ini, etika kerap dianggap sebagai pelengkap yang tidak penting, bahkan dianggap penghambat produktivitas. Sikap sopan dinilai terlalu formal, empati dianggap memperlambat, dan tata krama dianggap tidak relevan. Profesionalisme disempitkan maknanya menjadi sebatas kemampuan menyelesaikan tugas secepat dan seefisien mungkin, tanpa mempertimbangkan bagaimana proses itu dijalankan dan siapa yang terdampak.
Banyak pekerja hari ini berlari mengejar target, tenggelam dalam tuntutan kecepatan, hingga lupa bahwa mereka bekerja bersama manusia lain yang memiliki perasaan, harga diri, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam email, kita sering temui balasan yang tanpa salam, tanpa terima kasih, langsung pada intinya seperti mesin yang menjawab pertanyaan. Dalam rapat, ada atasan yang menegur staf dengan nada tinggi, seolah itu adalah satu-satunya cara menunjukkan ketegasan. Bahkan dalam komunikasi daring, etika seperti memberi salam, menunggu giliran bicara, atau sekadar mengucapkan permisi, perlahan mulai dilupakan. Semua dilakukan demi efisiensi, padahal yang terkikis adalah nilai-nilai dasar dalam hubungan antar manusia.
Ironisnya, banyak yang tidak menyadari bahwa keberhasilan jangka panjang dalam dunia profesional justru bergantung pada kemampuan menjaga etika.
Profesionalisme sejati bukan hanya tentang hasil kerja, tetapi juga tentang bagaimana kita berperilaku, bagaimana kita menghormati orang lain, dan bagaimana kita membangun reputasi melalui karakter. Seorang yang cerdas dan terampil, namun kasar dan tak tahu adab, bisa jadi tidak akan bertahan lama dalam dunia profesional yang sehat. Sebaliknya, mereka yang mungkin tidak terlalu menonjol secara teknis, tetapi memiliki etika tinggi, sering kali lebih dipercaya, lebih disukai, dan lebih dihargai.
Etika dalam dunia kerja mencakup banyak aspek: mulai dari cara berkomunikasi, cara menyampaikan kritik, hingga cara menghargai waktu dan batasan orang lain. Ketika kita mengabaikan etika demi kecepatan, maka relasi kerja berubah menjadi hubungan transaksional belaka. Kita hanya peduli pada hasil, bukan proses. Kita hanya menghargai mereka yang produktif, bukan yang bijaksana. Padahal, dalam jangka panjang, lingkungan kerja seperti ini akan menciptakan tekanan psikologis, konflik antar individu, dan turunnya semangat kolektif. Hubungan kerja kehilangan kehangatannya, dan organisasi menjadi tempat yang penuh ketegangan.
Sayangnya, banyak perusahaan atau institusi hanya mengajarkan etika sebagai bagian dari pelatihan singkat, biasanya di awal masa kerja, dan tidak pernah menyentuh aspek kultural yang lebih dalam. Etika dianggap selesai ketika sudah dituangkan dalam buku pedoman. Padahal, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dijadikan kebiasaan sehari-hari. Tanpa keteladanan dari pimpinan, dan tanpa komitmen dari seluruh anggota tim, etika akan tetap menjadi sekadar tulisan yang tidak berdampak.
Di sisi lain, generasi muda yang baru masuk ke dunia kerja juga menghadapi tantangan yang tidak mudah. Mereka tumbuh dalam budaya digital yang serba cepat dan minim interaksi langsung. Gaya komunikasi mereka dibentuk oleh media sosial yang cenderung informal dan reaktif. Ketika masuk ke dunia profesional, mereka dituntut untuk berubah cepat, namun tanpa pembekalan yang cukup tentang etika profesional. Akibatnya, banyak yang bingung membedakan antara tegas dan kasar, antara jujur dan tidak sopan, antara cepat dan tergesa-gesa. Tanpa bimbingan dan teladan, mereka bisa saja mengulang pola yang sama: menjadi profesional secara teknis, tetapi rapuh dalam hal moral dan etika.
Sebetulnya, menjaga etika bukan berarti memperlambat pekerjaan. Justru sebaliknya, etika bisa mempercepat kepercayaan, mempererat kerja sama, dan memperlancar komunikasi. Orang akan lebih terbuka bekerja dengan rekan yang sopan dan menghargai, daripada dengan orang yang cepat tapi menyebalkan. Etika adalah pelumas dalam mesin organisasi. Ia membuat roda kerja berputar lebih halus dan tahan lama. Tanpa etika, gesekan antar individu akan semakin besar, dan pada akhirnya menghentikan laju produktivitas itu sendiri.
Etika juga berperan penting dalam membentuk citra pribadi. Seorang profesional yang sopan, sabar, dan berintegritas akan lebih mudah dipercaya oleh klien, kolega, dan atasan. Reputasi yang baik tidak dibentuk oleh kecepatan kerja semata, melainkan oleh cara kita memperlakukan orang lain. Dunia kerja tidak hanya mengingat siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling bisa diandalkan dan dihormati. Dan kehormatan itu lahir dari perilaku sehari-hari yang mencerminkan etika kuat.
Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama mengubah cara pandang kita terhadap profesionalisme. Menjadi profesional bukan berarti menjadi robot yang bekerja cepat dan tanpa emosi. Menjadi profesional adalah menjadi pribadi yang utuh: cerdas secara teknis, matang secara emosional, dan luhur secara moral. Kita harus mulai menghargai proses, bukan hanya hasil. Kita perlu memuliakan cara kita mencapai target, bukan hanya apakah target itu tercapai.
Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang bukan hanya pintar, tetapi juga tahu cara bersikap. Orang yang bisa menghargai waktu orang lain, tapi juga tidak mengorbankan kehangatan dalam komunikasi. Orang yang bisa memberi kritik dengan bijak, bukan menyerang. Orang yang bisa tegas tanpa perlu meninggikan suara. Orang yang bisa bersaing tanpa menjatuhkan, dan bisa menang tanpa menyombongkan.
Etika tidak pernah ketinggalan zaman. Justru di era modern yang serba cepat ini, etika menjadi semakin penting untuk menjaga kualitas interaksi antar manusia. Semakin banyak teknologi mengambil alih pekerjaan teknis kita, semakin besar kebutuhan kita akan nilai-nilai moral yang membuat manusia tetap manusia. Kita tidak bisa menyerahkan semua pada algoritma dan otomatisasi. Di balik setiap pekerjaan, tetap ada manusia yang layak dihargai.
Kita boleh menjadi cepat, tapi jangan sampai lupa menjadi sopan. Kita boleh menjadi profesional, tapi jangan sampai kehilangan rasa hormat. Karena pada akhirnya, keberhasilan bukan hanya soal apa yang kita capai, tapi juga bagaimana cara kita mencapainya.
Riny Mariahni saragih Mahasiswa universitas Katolik Santo Thomas Medan
Helena Sihotang Dosen Pengampu
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
