Dialog Mazhab dan Literasi Keagamaan, Bukan Kecurigaan
Agama | 2025-07-16 07:51:37
Mengapa konflik keagamaan terus berulang meskipun bangsa ini dikenal religius? Mungkin jawabannya sederhana: karena kita belum selesai memahami perbedaan sebagai rahmat.
Dalam paparannya pada Temu Konsultasi Pencegahan Konflik Paham Keagamaan Islam (15 Juli 2025), Dr. KH. Irwan Masduqi, Lc., MA menunjukkan bagaimana perbedaan mazhab, fanatisme penafsiran, dan kurangnya ruang dialog menjadi benih konflik yang kerap tak disadari.
Konflik Bukan dari Agama, Tapi dari Pemahaman
Konflik keagamaan seringkali lahir bukan dari ajaran agama itu sendiri, tapi dari cara memahami dan menyampaikan ajaran. Ketika teks-teks suci dimaknai secara kaku dan eksklusif, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya, maka jurang pemisah antarkelompok akan melebar.
Apalagi di tengah arus media sosial yang memprovokasi, hoaks keagamaan menyebar lebih cepat daripada dakwah yang mencerahkan. Maka, kita butuh literasi keagamaan yang cerdas, adil, dan terbuka.
Prinsip-Prinsip Damai dalam Hukum Islam
Islam tidak buta terhadap perbedaan. Justru, Islam telah menyediakan perangkat penting dalam mengelola perbedaan secara damai:
- Ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan adalah rahmat),
- Perbedaan itu terpuji, perpecahan yang tercela,
- Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah; pendapat orang lain salah, tapi bisa jadi benar.
Dalam logika fikih, perbedaan bukan kesalahan, tapi bentuk kedewasaan berpikir.
Langkah Konkrit: Dialog dan Pendidikan Inklusif
Gus Irwan menegaskan pentingnya dialog antarpemeluk agama dan antar-mazhab, bukan hanya di tataran elite, tapi hingga level masyarakat akar rumput. Pendidikan keagamaan harus menanamkan sikap terbuka sejak dini: bahwa berbeda tidak apa-apa, bahwa tidak semua yang berbeda itu sesat.
Media juga harus berperan sebagai penjaga akal sehat umat. Jangan hanya mengejar klik, tapi tanamkan konten yang menyejukkan. Dalam dunia yang cepat panas, kita butuh narasi yang mendinginkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
