Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image dita naurah

Kebijakan Pembatasan Usia Medsos: Solusi atas Krisis Digital Anak?

Kebijakan | 2025-07-15 16:14:25
Foto oleh Nicola Barts dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-perempuan-kaum-wanita-gadis-7943219/

Di tengah derasnya arus digitalisasi, anak-anak Indonesia tumbuh dalam ruang digital yang tidak selalu ramah. Mulai dari konten kekerasan, ujaran kebencian, pornografi, hingga praktik perjudian online, semuanya dapat dijangkau hanya dengan satu klik dari tangan anak. Ditambah dengan meningkatnya angka kecemasan, depresi, dan adiksi layar di kalangan remaja, Indonesia sedang menghadapi krisis digital anak.

Menjawab situasi ini, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2025 yang membatasi akses anak terhadap media sosial. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk menata ruang digital agar lebih aman dan sesuai usia. Namun, apakah kebijakan ini cukup kuat menjadi solusi atas krisis yang semakin kompleks?Sebelumnya, mari kita bahas mengenai Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2025. Dalam PP ini, ditegaskan bahwa penyelenggara sistem elektronik diharuskan untuk mematuhi ketentuan batas usia minimum anak saat memberikan akses akun kepada pengguna. Ketentuan ini dijelaskan secara rinci dalam Pasal 21, dengan mengklasifikasikan usia anak dalam tiga kelompok, serta menentukan jenis layanan digital yang boleh diakses berdasarkan tingkat resikonya dan persetujuan dari orang tua atau wali.

Berikut klasifikasi pembatasan usia yang diatur dalam PP tersebut:• Anak di bawah 13 tahun hanya boleh menggunakan media sosial yang didesain khusus untuk anak-anak, dan harus dengan izin orang tua.• Anak usia 13–15 tahun dapat menggunakan platform digital berisiko rendah, juga harus ada persetujuan orang tua.• Usia 16–17 tahun diperbolehkan memakai layanan media sosial umum, tetapi masih wajib didampingi secara legal oleh orang tua.
Kebijakan ini patut diapresiasi sebagai langkah konkret pemerintah dalam melindungi anak-anak di ruang digital. Tidak hanya Indonesia, Negara-negara seperti Prancis, Australia, Jerman dan negara lainnya juga mulai menerapkan batasan usia dan mewajibkan kontrol orang tua.
Namun, kebijakan pembatasan usia saja tidak cukup. Krisis digital anak bukan hanya soal umur, tapi juga menyangkut literasi digital, pendampingan keluarga, kapasitas sekolah, dan tanggung jawab platform.
Dalam realitanya, anak-anak bisa memalsukan usianya saat mendaftar akun. Tanpa sistem verifikasi yang kuat, aturan ini dapat dengan mudah dilewati. Dari sisi orang tua sendiri, masih banyak yang belum melek digital. Banyak orang tua yang tidak tahu cara memantau aktivitas digital anak, contohnya seperti penggunaan kontrol aplikasi. Dengan hal ini, kebanyakan orang tua menjadi tidak tahu apa saja yang diakses dan berapa lama anak-anak mengakses media sosial tersebut. Akibatnya, internet dan media sosial yang mampu menjadi akses bermanfaat bagi anak, justru malah merugikan karena kurangnya pendampingan dan edukasi.
Selain itu, pemerintah juga memiliki tantangan berupa platform global yang memiliki standarnya sendiri. Oleh karena itu kerja sama internasional harus dipastikan, agar penerapan aturan nasional tidak terbentur dengan teknis operasional perusahaan global. Pemerintah juga harus tegas dalam meminta platform media sosial untuk lebih transparan dan akuntabel terhadap konten dan penggunanya di Indonesia.
Dengan tantangan-tantangan tadi, pemerintah perlu mendorong sosialisasi masif ke lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas mengenai PP ini. Bukan hanya secara teknisnya tetapi juga dalam hal membangun kesadaran. Para pengajar seperti guru di sekolah juga perlu mendapat pelatihan dan pemahaman terkait digital untuk memasukkan literasi digital sebagai bagian dari kurikulum sehari-hari.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2025 adalah fondasi yang penting untuk generasi Indonesia kedepannya. Namun, solusi atas kritis digital anak tidak cukup hanya dengan membatasi aksesnya. Kita butuh pendekatan lebih menyeluruh yang melibatkan keluarga, sekolah, pemerintah, dan perusahaan media sosial. Anak-anak butuh perlindungan, tetapi juga bimbingan untuk tumbuh menjadi warga digital yang kritis dan sehat. Kita tidak melawan teknologi dengan membatasi anak, namun kita harus membentuk generasi yang lebih kuat dalam menghadapinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image