Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image vivi nurwida

Korupsi Makin tak Terbendung, Buah Sistem Sekuler yang Mendukung

Agama | 2025-07-14 20:47:46
Sumber: canva

Tidak dapat dimungkiri, kasus kejahatan korupsi di Indonesia makin hari makin tak terbendung. Bak jamur di musim hujan, kejahatan ini kian merebak. Bagaimana tidak, mulai dari tingkat pejabat pemerintahan hingga para penegak hukum, pernah tersandung kasus korupsi. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Akibatnya, rakyat kecil semakin menderita dan kesenjangan sosial semakin melebar.

Sebanyak lima orang, termasuk di antaranya adalah pejabat Pemprov Sumut, telah ditetapkan sebagai tersangka imbas operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis (26/6). OTT itu terkait dengan dua perkara berbeda, yakni proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara dan proyek di Satker PJN Wilayah 1 Sumatera Utara. Nilai kedua proyek tersebut sebesar Rp 231,8 miliar (kumparan, 04-07-2025).

Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, telah berlangsung pada periode 2020 hingga 2024 (beritasatu, 30-06-2025).

Makin Meningkat

Kasus di atas menambah daftar panjang kasus korupsi yang harus ditangani. Padahal, KPK masih memiliki banyak kasus korupsi besar yang belum tuntas, bahkan mandek di tengah jalan. Berdasarkan evaluasi Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 18 kasus besar yang terancam kedaluwarsa.

Selain itu, terdapat istilah Liga Korupsi Indonesia untuk menggambarkan peringkat kasus korupsi berdasarkan nilai kerugian negara sebagai bentuk kritikan terhadap lemahnya penegakan hukum Indonesia. Klasemen sementara Liga Korupsi Indonesia dipimpin oleh korupsi Pertamina dengan total kerugian negara Rp 968,5 triliun, disusul PT Timah Rp 300 triliun, BLBI 138 triliun, dst..

Berdasarkan data ICW, kasus korupsi di Indonesia pada tahun 2023 juga meningkat secara signifikan. Jumlah Kasus Korupsi sebanyak 791 kasus korupsi pada 2023, meningkat dari 579 kasus pada 2022. Jumlah tersangka korupsi juga meningkat, dari 1.396 orang pada 2022 menjadi 1.695 orang pada 2023.

Korupsi di tengah Efisiensi

Sungguh ironis, kasus korupsi dengan nilai yang fantastis ini muncul di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi anggaran yang jelas akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas dan kuantitas layanan negara atas hak dasar rakyat dan pendanaan sektor strategis, contohnya dengan penonaktifan penerima bantuan iuran (PBI) JKN, pengurangan tunjangan kinerja (tukin) guru, pengurangan dana riset, bansos, militer, dll.

Negara seolah kehabisan dana untuk memenuhi hak dasar rakyat dan pendanaan sektor strategis hingga harus melakukan efisiensi anggaran. Efisiensi anggaran ini disebut akan menghemat uang negara hingga Rp306,6 triliun. Padahal, di sisi lain uang negara yang dikorupsi jauh lebih banyak dari target efisiensi anggaran. Hal ini menandakan bahwa bukan negara tidak punya uang, tapi tidak terdistribusi dengan baik untuk rakyat. Justru, kekayaan negara berhenti di kalangan pejabat dan koloninya.

Buah Sistem Sekuler Kapitalisme

Nampak jelas bahwa negara berparadigma sekuler kapitalistik neolib ini telah gagal dalam mengurus urusan rakyat dan memecahkan seluruh problem kehidupan. Kasus korupsi juga efisiensi anggaran telah membuktikan bahwa sistem sekuler kapitalistik ini tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.

Akibat penerapan sistem sekuler saat ini, pejabat yang terpilih bukanlah orang yang amanah, melainkan orang-orang yang aji mumpung. Mumpung menjabat, mereka mengambil kesempatan untuk memperkaya diri, meski harus menghalalkan segala cara. Politik demokrasi yang dijalankan justru menyuburkan politik transaksional yang menjadikan amanah kekuasaan hanya menjadi alat transaksi antara para pejabat dengan para pemilik modal. Dampak lanjutannya adalah tumbuh suburnya praktek korupsi hingga membudaya di semua level dan ranah kehidupan masyarakat.

Pemberian sanksi pada napi koruptor juga begitu ringan. Bahkan, tak jarang pelakunya mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan karena dianggap sudah berkelakuan baik, atau telah menjalani sepertiga masa tahanan. Harta hasil korupsi hampir tidak pernah ditarik kembali oleh negara. Mereka tetap bisa menikmati masa tahanan yang ringan, dan tetap bisa menikmati harta hasil korupsi bersama anak keturunannya. Lantas, dengan sanksi seperti ini bagaimana bisa memberikan efek jera?

Solusi Islam

Berbeda dengan Islam, paradigma kepemimpinan berasas akidah akan menjadikan kehidupan berjalan sesuai tuntunan syariat dan sarat dengan moral kebaikan. Sistem Islam ini akan membentuk individu-individu yang bertakwa dengan penanaman akidah yang kuat. Kewajiban amar makruf nahi mungkar juga dijalankan, hal ini mencegah masyarakat terjerumus pada tindakan korup. Selain itu, negara yang menerapkan sistem Islam akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku tindakan kejahatan korupsi.

Islam sangat tegas terhadap pelaku kejahatan, tidak ada privilese bagi para pejabat tinggi juga orang dekat penguasa. Rasulullah bersabda,

وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Khilafah mencegah terjadinya korupsi dengan menyeleksi para pejabat dari kalangan orang-orang yang bertakwa. Negara akan melakukan penghitungan terhadap harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan yang tidak wajar, maka negara akan memintanya pertanggungjawaban dengan melakukan mekanisme pembuktian terbalik, atau apa yang dikenal dengan prinsip, “Min Aina Laka Hadza " (dari mana kamu mendapatkan ini)?. Ini merupakan kata-kata yang pertama kali dinyatakan oleh Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab.

Tindak pidana korupsi ini adalah salah satu tindakan ghulul yaitu tindakan melanggar syariah Islam, karena memperoleh harta secara curang. Pelakunya akan dikenai sanksi takzir yang hukumannya akan diserahkan kepada Khalifah atau hakim (kadi) berdasarkan ijtihadnya. Khalifah atau hakim akan menyita hasil kekayaan yang didapat dari korupsi, juga menjatuhkan hukuman yang menjerakan seperti cambuk, pengasingan, bahkan hingga hukuman mati berdasarkan hukum Islam.

Inilah realitas hukum Islam dalam sistem Khilafah, tidak ada toleransi sedikit pun terhadap pelaku tindak kejahatan korupsi. Hanya dengan menjadikan sistem Islam sebagai solusi, negara akan menjadi negara yang diliputi keberkahan dan bebas dari korupsi, juga tercetaknya manusia, hakim dan pemimpin yang bertakwa. Inilah solusi nyata, bahwa Islam akan membumihanguskan gurita korupsi yang hari ini makin menjadi.

Wallahu a’lam bisshowab

 

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image