Kembalikan Marwah Pendidikan dari Jerat Korupsi melalui Transparansi
Eduaksi | 2025-07-14 00:05:02Pendidikan merupakan sarana utama untuk membangun serta berkontribusi dalam memajukan peradaban bangsa dan negara. Pendidikan bukan hanya mengajarkan soal pengetahuan saja namun juga dapat menanamkan nilai moral, etika, serta integritas. Hal ini tentunya sangat disayangkan apabila terjadi pengkhianatan terhadap amanah pendidikan oleh para pemangku kepentingan tidak bertanggung jawab yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi maupun segelintir orang. Sikap tersebut dapat tercemin dari banyaknya praktik korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat publik disektor pendidikan.
Seperti yang terjadi baru-baru ini publik telah digegerkan dengan dugaan kasus korupsi pengadaan laptop Cromebook oleh staff khusus mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Dilansir dari kanal berita detik.news 10 juni 2025 menyatakan bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) mulai mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan laptop untuk digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2019-2022. Proyek ini telah menggunakan anggaran negara, senilai Rp 9,9 triliun.
Proyek sebesar ini yang seharusnya menjadi tranformasi digital dalam dunia pendidikan, malah menjadi kesempatan emas bagi para oknum elite yang rakus. Melihat isu tersebut kita dapat menilai bahwasanya dinamika yang terjadi dalam lingkup pendidikan saat ini menunjukkan adanya penyimpangan dari nilai serta tujuan yang ideal. Hal tersebut tentunya memerlukan pengkajian yang kritis dan pembenahan secara mendalam.
Korupsi pada sektor pendidikan khususnya di sekolah, telah menempati posisi lima besar kasus korupsi yang rawan terjadi di Indonesia. Jadi kasus tindak pidana korupsi pengadaan laptop Cromebook tersebut bukanlah kasus korupsi baru dalam bidang pendidikan. ICW (2021) menyatakan bawasanya kasus korupsi terbanyak yaitu korupsi yang terjadi pada pembangunan infrastruktur sekolah dan pengadaan barang atau jasa non-infrastruktur, yang meliputi pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
Pada tahun 2023, ICW mencatat sepanjang 2023, kasus korupsi sektor pendidikan yang telah ditindak oleh para penegak hukum sebanyak 30 kasus. 40% dari kasus korupsi di sektor pendidikan tersebut merupakan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kurangnya transparansi oleh para stakeholder yang menyebabkan kasus-kasus korupsi terus mencuat dari tahun ke tahun. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Putri & Panjaitan (2024) dalam jurnalnya yang mengungkapkakan bahwa meskipun praktik korupsi terjadi, namun dana (BOS) masih dimanfaatkan untuk mendukung berbagai program pendidikan.
Tetapi, para pelaku korupsi secara cerdik merancang dan bersembunyi dibalik program-program tertentu hingga menyisipkan keuntungan pribadi dalam pengelolaanya. Proses ini berlangsung secara tertutup antara pihak penyusun kebijakan dan penyusun anggaran, sehingga kurangnya transparansi itulah yang dapat membuka celah bagi pelaku kejahatan dalam penyalahgunaan dana pendidikan.
Mengapa dunia pendidikan sering dijadikan ladang korupsi?
Melihat marakknya kasus-kasus korupsi yang terjadi, menandakan bahwa sektor pendidikan selalu menjadi sasaran empuk bagi para koruptor dalam melancarkan aksinya. Apalagi jika dilihat dari besarnya alokasi dana APBN untuk pendidikan setiap tahunnya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2022 Tentang APBN Tahun Anggaran 2023 pasal 23 ayat 1, anggaran pendidikan direncanakan sebesar Rp612 Triliun atau pada ayat 2 juga dijelaskan bahwa jumlah jumlah yang tercantum pada ayat 1 tersebut setara dengan 20% dari dana APBN. Anggaran sebesar ini tentunya akan sangat menggiurkan bagi para oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi, apalagi melihat rendahnya transaparansi dan akuntabilitas dalam proses pengelolaan dana. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam proses yang dijalakan sangat ironis karena minimnya keterlibatan dan keterbukaan terhadap publik. Kurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap jajaran stuktural dibawahnya juga akan menjadi salah satu penyebab terbukanya peluang korupsi. Faktor-faktor ini juga tercantum dalam jurnal Permana & Setiawan (2024) yang menjelaskan setidaknya ada enam faktor yang menyebabkan maraknya tidak pidana korupsi dalam lingkup pendidikan, diantaranya adalah motif/dorongan individu/personal untuk melakukan korupsi, kultur dan lingkungan sebagai dorongan eksternal terhadap perilaku korupsi seseorang, lemahnya sruktural dan masalah penegakan hukum, kelalaian pemerintah atas kewajibanya dalam hal ini adalah pemberantasan korupsi, masih lemahnya praktik pengawasan oleh pihak pemrintah, serta manajerial lembaga yang cenderung masih buruk.
Bangun Kembali Marwah Pendidikan !
“Bangun Kembali Marwah Pendidikan!” dapat menjadi seruan yang cocok ditujukan pada pemerintah agar dapat mengembalikan marwah pendidikan sebagaimana mestinya yang tentunya terbebas dari jerat korupsi. Peran pendidikan yang sangat krusial dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan etika sangat disayangkan jika harus dicemari oleh tindak kejahatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Bukan hanya dari pihak pemerintah saja, tetapi dalam hal ini peran serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam mengamati jalanya birokrasi disektor pendidikan sebagai pengawas yang kritis dan partisipatif. Keterlibatan kedua pihak sangat berpengaruh kuat untuk mengawal pendidikan dari hulu ke hilir, agar tetap berjalan di jalur yang berlandaskan integritas dan transparansi yang kuat. Hal ini dikarenakan jika publik turut berperan serta dalam menjaga transparansi, maka ruang gerak para pelaku korupsi akan semakin sempit. Seperti yang ditegaskan oleh Asia Development Bank (ADB) and the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) (2014), yang menyatakan bahwa pentingnya transparansi untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam rangka mencegah, menghalangi, dan mendeteksi korupsi secara efektif. Pernyataan mengenai transparansi juga ditekankan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) dalam pasal 10, yang berbunyi “Dengan mempertimbangkan kebutuhan untuk memberantas korupsi, setiap Negara Pihak harus, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meningkatkan transparansi dalam administrasi publiknya, termasuk yang berkaitan dengan organisasi, fungsi, dan proses pengambilan keputusannya”. Dari kutipan pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa transparansi dalam sistem administrasi publik sangat penting untuk memberantas korupsi. Transparansi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Dalam birokrasi negara yang sehat, harus ada keseimbangan antara peran pemerintah dan partisipasi publik agar proses pengambilan keputusan berjalan secara terbuka dan akuntabel. Hal tersebut tentu dapat menjadi sarana untuk menekan angka korupsi, khususnya dalam birokrasi sektor pendidikan.
Korupsi di sektor pendidikan merupakan ancaman serius yang mencederai nilai-nilai dasar pendidikan. Lemahnya transparansi, minimnya pengawasan, dan besarnya anggaran dapat menjadi celah yang dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Penguatan integritas, keterlibatan masyarakat, dan komitmen pemerintah dalam membangun sistem yang transparan menjadi kunci utama untuk mengembalikan marwah pendidikan Indonesia. Sebegai mahasiwa yang terjun secara langsung dalam dunia pendidikan, saya merasa sangat miris ketika ladang untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan pembangun karakter anak bangsa dijadikan ladang korupsi oleh parakoruptor yang seakan tidak mencerminkan orang berilmu dan pengatahuan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
