Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salmandika Fatan Nasuha

Indonesia Belum Siap Mengadopsi Kurikulum Merdeka dan Sistem Pendidikan Luar Negeri

Pendidikan dan Literasi | 2024-10-11 11:10:41

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah berusaha untuk memodernisasi sistem pendidikannya melalui berbagai reformasi, termasuk pengenalan Kurikulum Merdeka dan upaya untuk mengadopsi praktik-praktik terbaik dari sistem pendidikan luar negeri. Namun, meskipun niat baik ini patut dihargai, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap untuk implementasi perubahan besar ini. Artikel ini akan mengulas berbagai aspek yang menunjukkan ketidaksiapan tersebut, dengan fokus khusus pada penerapan sistem zonasi yang tidak diimbangi dengan fasilitas yang memadai.

Kurikulum Merdeka: Visi Ambisius vs Realitas di Lapangan

Kurikulum Merdeka, yang diperkenalkan sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, memiliki tujuan mulia untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada sekolah dan guru dalam merancang pembelajaran. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, telah menyatakan visi ambisius untuk transformasi pendidikan Indonesia melalui Kurikulum Merdeka ini:

"Kurikulum Merdeka memberikan kebebasan kepada guru untuk berinovasi dan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan yang lebih berkualitas dan relevan dengan tantangan abad ke-21." - Nadiem Makarim

Nadiem juga menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam pendidikan Indonesia:

"Kita perlu mengubah fokus dari sekadar mengejar angka dan nilai ujian menjadi pengembangan kompetensi dan karakter siswa. Kurikulum Merdeka dirancang untuk memfasilitasi perubahan ini."

Namun, meskipun visi ini terdengar menjanjikan, implementasinya menghadapi berbagai tantangan:

 

  1. Kesiapan Guru Banyak guru belum siap untuk menerapkan pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada siswa. Pelatihan yang diberikan seringkali tidak memadai atau terlalu singkat untuk mengubah paradigma pengajaran yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
  2. Infrastruktur Teknologi Kurikulum Merdeka menuntut penggunaan teknologi yang lebih intensif dalam pembelajaran. Sayangnya, banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, masih kekurangan akses internet yang stabil dan perangkat digital yang diperlukan.
  3. Kesenjangan Antar Daerah Perbedaan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih sangat besar. Implementasi Kurikulum Merdeka berpotensi memperlebar kesenjangan ini jika tidak disertai dengan pemerataan sumber daya dan infrastruktur.
  4. Evaluasi dan Penilaian Sistem penilaian yang lebih kompleks dan bervariasi dalam Kurikulum Merdeka membutuhkan pemahaman dan keterampilan baru dari para guru. Banyak sekolah masih kesulitan untuk mengadaptasi sistem penilaian ini secara efektif.

Sistem Zonasi: Niat Baik, Implementasi Buruk

Salah satu contoh nyata ketidaksiapan Indonesia dalam mengadopsi praktik pendidikan luar negeri adalah penerapan sistem zonasi. Sistem ini, yang terinspirasi dari praktik serupa di negara-negara maju, bertujuan untuk mengurangi kesenjangan kualitas antar sekolah dan memberikan akses pendidikan yang lebih merata. Namun, implementasinya di Indonesia menghadapi berbagai masalah:

  1. Ketimpangan Fasilitas Pendidikan Sistem zonasi diterapkan tanpa terlebih dahulu memastikan adanya pemerataan fasilitas pendidikan. Akibatnya, banyak siswa terpaksa bersekolah di sekolah terdekat yang memiliki fasilitas jauh di bawah standar. Contohnya: Di beberapa daerah di Jawa Timur, terdapat sekolah yang masih kekurangan ruang kelas, sehingga siswa harus belajar secara bergantian atau di ruang darurat yang tidak layak.Di Sulawesi Selatan, banyak sekolah di pinggiran kota yang tidak memiliki laboratorium IPA atau komputer, sementara sekolah di pusat kota memiliki fasilitas lengkap.
  2. Di beberapa daerah di Jawa Timur, terdapat sekolah yang masih kekurangan ruang kelas, sehingga siswa harus belajar secara bergantian atau di ruang darurat yang tidak layak.
  3. Di Sulawesi Selatan, banyak sekolah di pinggiran kota yang tidak memiliki laboratorium IPA atau komputer, sementara sekolah di pusat kota memiliki fasilitas lengkap.
  4. Kualitas Guru yang Tidak Merata Sistem zonasi tidak diikuti dengan redistribusi guru berkualitas secara merata. Akibatnya: Sekolah-sekolah favorit yang biasanya memiliki guru-guru berpengalaman dan berkualitas tetap menjadi pilihan utama, sementara sekolah di pinggiran tetap kekurangan guru berkualitas.Di Sumatera Utara, misalnya, terdapat kasus di mana satu guru harus mengajar beberapa mata pelajaran yang bukan keahliannya karena kekurangan tenaga pengajar.
  5. Sekolah-sekolah favorit yang biasanya memiliki guru-guru berpengalaman dan berkualitas tetap menjadi pilihan utama, sementara sekolah di pinggiran tetap kekurangan guru berkualitas.
  6. Di Sumatera Utara, misalnya, terdapat kasus di mana satu guru harus mengajar beberapa mata pelajaran yang bukan keahliannya karena kekurangan tenaga pengajar.
  7. Infrastruktur Pendukung yang Tidak Memadai Banyak daerah tidak memiliki infrastruktur yang mendukung implementasi sistem zonasi: Di beberapa wilayah di Kalimantan, akses transportasi yang buruk membuat siswa kesulitan mencapai sekolah terdekat, terutama saat musim hujan.Di daerah perbatasan seperti di Papua, banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki listrik atau air bersih, apalagi fasilitas pendidikan modern.
  8. Di beberapa wilayah di Kalimantan, akses transportasi yang buruk membuat siswa kesulitan mencapai sekolah terdekat, terutama saat musim hujan.
  9. Di daerah perbatasan seperti di Papua, banyak sekolah yang bahkan tidak memiliki listrik atau air bersih, apalagi fasilitas pendidikan modern.
  10. Kesenjangan Digital Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan dengan jelas kesenjangan digital antar daerah: Banyak siswa di daerah terpencil tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh karena tidak memiliki akses internet atau perangkat digital yang memadai.Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, banyak siswa harus berjalan jauh ke puncak bukit hanya untuk mendapatkan sinyal internet agar bisa mengikuti kelas online.
  11. Banyak siswa di daerah terpencil tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh karena tidak memiliki akses internet atau perangkat digital yang memadai.
  12. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, banyak siswa harus berjalan jauh ke puncak bukit hanya untuk mendapatkan sinyal internet agar bisa mengikuti kelas online.
  13. Beban Administrasi yang Meningkat Penerapan sistem zonasi telah meningkatkan beban administrasi sekolah: Banyak sekolah kewalahan dalam mengelola pendaftaran siswa baru karena sistem yang rumit dan sering berubah.Di Jakarta, misalnya, terjadi kasus di mana orangtua harus berulang kali mendaftar karena sistem online yang sering error atau overload.
  14. Banyak sekolah kewalahan dalam mengelola pendaftaran siswa baru karena sistem yang rumit dan sering berubah.
  15. Di Jakarta, misalnya, terjadi kasus di mana orangtua harus berulang kali mendaftar karena sistem online yang sering error atau overload.

Adopsi Sistem Pendidikan Luar Negeri: Mengapa Indonesia Belum Siap?

Terkait dengan adopsi praktik pendidikan dari luar negeri, Nadiem Makarim pernah menyatakan:

"Kita tidak bisa sekadar mengadopsi sistem pendidikan negara lain secara langsung. Kita perlu mengadaptasinya sesuai dengan konteks dan kebutuhan Indonesia. Inilah yang coba kita lakukan dengan Kurikulum Merdeka."

Meskipun pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan perlunya adaptasi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses adaptasi ini masih jauh dari sempurna. Beberapa faktor yang menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mengadopsi sistem pendidikan luar negeri antara lain:

  1. Perbedaan Konteks Budaya dan Sosial Sistem pendidikan yang berhasil di negara lain belum tentu cocok dengan konteks budaya dan sosial Indonesia: Misalnya, sistem pendidikan Finlandia yang sering dijadikan model, sangat menekankan kemandirian siswa sejak dini. Hal ini mungkin bertentangan dengan budaya Indonesia yang lebih komunal dan hierarkis.Di Jepang, kedisiplinan dan kerja keras sangat ditekankan dalam pendidikan, namun penerapan langsung di Indonesia bisa menimbulkan resistensi karena perbedaan nilai-nilai sosial.
  2. Misalnya, sistem pendidikan Finlandia yang sering dijadikan model, sangat menekankan kemandirian siswa sejak dini. Hal ini mungkin bertentangan dengan budaya Indonesia yang lebih komunal dan hierarkis.
  3. Di Jepang, kedisiplinan dan kerja keras sangat ditekankan dalam pendidikan, namun penerapan langsung di Indonesia bisa menimbulkan resistensi karena perbedaan nilai-nilai sosial.
  4. Keterbatasan Anggaran Pendidikan Meskipun anggaran pendidikan Indonesia telah ditingkatkan, masih belum mencukupi untuk mengadopsi sepenuhnya praktik-praktik pendidikan dari negara maju: Negara-negara Skandinavia, misalnya, mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk pendidikan, termasuk untuk gaji guru yang tinggi dan fasilitas modern. Indonesia masih jauh dari kemampuan finansial semacam itu.Di banyak daerah di Indonesia, anggaran pendidikan masih habis hanya untuk gaji guru dan pemeliharaan dasar, tanpa banyak sisa untuk pengembangan kurikulum atau fasilitas.
  5. Negara-negara Skandinavia, misalnya, mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk pendidikan, termasuk untuk gaji guru yang tinggi dan fasilitas modern. Indonesia masih jauh dari kemampuan finansial semacam itu.
  6. Di banyak daerah di Indonesia, anggaran pendidikan masih habis hanya untuk gaji guru dan pemeliharaan dasar, tanpa banyak sisa untuk pengembangan kurikulum atau fasilitas.
  7. Kurangnya Penelitian dan Pengembangan Lokal Indonesia masih kekurangan penelitian dan pengembangan dalam bidang pendidikan yang kontekstual dengan kondisi lokal: Banyak kebijakan pendidikan diambil berdasarkan "best practices" dari luar negeri tanpa kajian mendalam tentang kesesuaiannya dengan kondisi Indonesia.Misalnya, penerapan pendidikan inklusif yang dipromosikan secara global seringkali terhambat di Indonesia karena kurangnya pemahaman dan persiapan di tingkat sekolah dan masyarakat.
  8. Banyak kebijakan pendidikan diambil berdasarkan "best practices" dari luar negeri tanpa kajian mendalam tentang kesesuaiannya dengan kondisi Indonesia.
  9. Misalnya, penerapan pendidikan inklusif yang dipromosikan secara global seringkali terhambat di Indonesia karena kurangnya pemahaman dan persiapan di tingkat sekolah dan masyarakat.
  10. Kesenjangan Teknologi Adopsi teknologi dalam pendidikan masih terhambat oleh kesenjangan infrastruktur teknologi: Sementara sekolah-sekolah di kota besar mulai menerapkan pembelajaran berbasis teknologi, banyak sekolah di daerah terpencil bahkan belum memiliki akses listrik yang stabil.Di Maluku, misalnya, masih ada sekolah yang belum memiliki komputer, sementara di Jakarta sudah ada sekolah yang menerapkan augmented reality dalam pembelajaran.
  11. Sementara sekolah-sekolah di kota besar mulai menerapkan pembelajaran berbasis teknologi, banyak sekolah di daerah terpencil bahkan belum memiliki akses listrik yang stabil.
  12. Di Maluku, misalnya, masih ada sekolah yang belum memiliki komputer, sementara di Jakarta sudah ada sekolah yang menerapkan augmented reality dalam pembelajaran.
  13. Kualitas dan Distribusi Guru Kualitas dan distribusi guru yang tidak merata menjadi hambatan besar dalam adopsi sistem pendidikan luar negeri: Banyak guru di Indonesia masih kekurangan pelatihan dan pengembangan profesional yang memadai untuk menerapkan metode pengajaran modern.Di daerah terpencil seperti Papua atau Kalimantan Utara, masih banyak sekolah yang kekurangan guru, sementara di kota-kota besar terjadi kelebihan guru.
  14. Banyak guru di Indonesia masih kekurangan pelatihan dan pengembangan profesional yang memadai untuk menerapkan metode pengajaran modern.
  15. Di daerah terpencil seperti Papua atau Kalimantan Utara, masih banyak sekolah yang kekurangan guru, sementara di kota-kota besar terjadi kelebihan guru.
  16. Sistem Evaluasi yang Belum Matang Indonesia belum memiliki sistem evaluasi pendidikan yang komprehensif dan berkesinambungan: Evaluasi pendidikan masih terlalu berfokus pada hasil ujian nasional, sementara aspek-aspek penting lainnya seperti perkembangan karakter dan keterampilan sosial sering terabaikan.Di banyak negara maju, evaluasi pendidikan melibatkan berbagai stakeholder dan dilakukan secara reguler dan menyeluruh. Indonesia masih jauh dari standar ini.
  17. Evaluasi pendidikan masih terlalu berfokus pada hasil ujian nasional, sementara aspek-aspek penting lainnya seperti perkembangan karakter dan keterampilan sosial sering terabaikan.
  18. Di banyak negara maju, evaluasi pendidikan melibatkan berbagai stakeholder dan dilakukan secara reguler dan menyeluruh. Indonesia masih jauh dari standar ini.

Kesimpulan dan Jalan Ke Depan

Meskipun Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikannya melalui adopsi praktik-praktik terbaik global dan reformasi seperti Kurikulum Merdeka, realitas di lapangan menunjukkan bahwa negara ini belum sepenuhnya siap untuk perubahan besar tersebut. Ketidaksiapan ini terlihat jelas dari berbagai aspek, mulai dari infrastruktur yang tidak memadai, kesenjangan antar daerah, hingga kualitas dan distribusi tenaga pendidik yang tidak merata.

Namun, ini bukan berarti bahwa Indonesia harus berhenti berupaya untuk meningkatkan sistem pendidikannya. Sebaliknya, pengalaman ini harus menjadi pelajaran berharga untuk pendekatan yang lebih hati-hati dan kontekstual dalam reformasi pendidikan. Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan untuk masa depan antara lain:

  1. Pemerataan Infrastruktur dan Fasilitas Sebelum menerapkan sistem baru, pemerintah harus memastikan adanya pemerataan infrastruktur dan fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia. Ini termasuk pembangunan sekolah, penyediaan alat-alat pembelajaran, dan akses internet yang memadai.
  2. Peningkatan Kualitas dan Kesejahteraan Guru Program pelatihan guru yang komprehensif dan berkelanjutan harus menjadi prioritas. Selain itu, peningkatan kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil, perlu diperhatikan untuk menarik dan mempertahankan tenaga pendidik berkualitas.
  3. Adaptasi Kontekstual Adopsi praktik pendidikan luar negeri harus dilakukan dengan adaptasi yang cermat terhadap konteks budaya dan sosial Indonesia. Ini memerlukan penelitian dan pengembangan yang lebih intensif dalam bidang pendidikan yang relevan dengan kondisi lokal.
  4. Evaluasi Berkala dan Perbaikan Berkelanjutan Sistem evaluasi pendidikan yang komprehensif dan reguler perlu dikembangkan. Ini akan membantu dalam identifikasi masalah secara dini dan perbaikan yang berkelanjutan.
  5. Penguatan Kerjasama Multistakeholder Reformasi pendidikan membutuhkan kerjasama yang erat antara pemerintah, sekolah, masyarakat, dan sektor swasta. Pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pengambilan kebijakan pendidikan perlu diprioritaskan.
  6. Fokus pada Pemerataan Kualitas Selain meningkatkan standar pendidikan secara umum, perhatian khusus perlu diberikan pada upaya mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dan antar kelompok sosial ekonomi.

Nadiem Makarim sendiri mengakui bahwa transformasi pendidikan adalah proses jangka panjang:

"Perubahan dalam pendidikan tidak bisa terjadi dalam semalam. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak. Tapi saya yakin, dengan Kurikulum Merdeka sebagai fondasi, kita sedang berada di jalur yang benar menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik."

Meskipun optimisme ini patut dihargai, penting untuk tetap kritis dan realistis dalam menilai kesiapan Indonesia mengadopsi perubahan besar dalam sistem pendidikannya. Hanya dengan pendekatan yang hati-hati, kontekstual, dan berfokus pada pemerataan, Indonesia dapat secara bertahap membangun sistem pendidikan yang tidak hanya mengadopsi praktik terbaik global, tetapi juga sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik unik negara ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image