Sirine Ambulans tak Dihargai: Tanda Darurat Memahami Simbol Layanan Publik
Kebijakan | 2025-07-11 12:58:02
Suara sirine ambulans seharusnya menjadi penanda bagi para pengendara di sekitarnya untuk segera menepi dan memberi jalan agar ambulans dapat lewat. Namun, tidak dengan apa yang baru-baru ini terjadi di tanah air. Pasalnya, sebuah ambulans yang melewati Ring Road Solo– Karanganyar, Kamis (19/6/2025), dihadang secara tiba-tiba dan dirusak oleh pendemo yang saat itu sedang memblokir jalan. Pendemo tersebut berasal dari kumpulan sopir truk yang tengah menyuarakan protes mereka terhadap peraturan ODOL (Over Dimension Over Loading). Yang mengejutkan, ambulans dirusak bukan karena sopir mengendarai dengan ugal-ugalan, melainkan justru kumpulan massa menuduh bahwa ambulans yang didalamnya tidak terdapat pasien, telah menyalahgunakan sirine untuk bisa lewat.
Padahal kenyataannya, ambulans sedang dalam perjalanan untuk menjemput pasien yang berada di RS Dr Oen Solo. Akibat jalannya dihadang, maka evakuasi menjadi terlambat yang berujung pada asien yang hendak dijemput dinyatakan meninggal dunia. Kasus ini berakhir dengan damai setelah dari pihak kepolisian melakukan mediasi dengan perwakilan komunitas relawan ambulan dan massa pendemo. Pelaku pun menyampaikan permintaan maafnya dan siap menanggung kerugian pada ambulans yang dirusak.
Tragedi yang berujung hilangnya nyawa orang lain ini, tidak hanya akibat dari miskomunikasi, namun juga kurangnya pemahaman masyarakat akan simbol layanan publik. Krisis pemahaman publik terhadap esensi layanan darurat, menujukkan terkikisnya hubungan antara negara dan warga negara dalam kontrak sosial. Ketegangan massa pendemo memicu emosi kolektif yang diluapkan pada ambulans yang tak bersalah.
Bunyi Sirine, Bunyi Panggilan Kemanusiaan
Sirine dari ambulans menyimbolkan adanya keadaan darurat, terdapat panggilan yang begitu mendesak, sehingga butuh untuk diprioritaskan di jalan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) menegaskan bahwa terdapat tujuh kendaraan yang berhak didahulukan ketika di jalan raya, salah satunya adalah ambulans. Walaupun tidak dalam kondisi membawa pasien, menyalakan sirine sudah termasuk dalam Standar Operasi Prosedur (SOP) agar bisa mempercepat penjemputan pasien.
Namun, sebagian publik masih menaruh prasangka buruk pada sirine ambulans. Perasaan tersebut bisa dipahami jika kita mengingat kembali kasus penyalahgunaan sebelumnya. Di Sukabumi, misalnya, polisi pernah mendapati ambulans milik desa disalahgunakan oleh warga yang sehat untuk menghindari macet saat libur lebaran tahun ini. Lebih ekstrim lagi, pada 22 Mei 2019 lalu di Jakarta, telah ditemukan beberapa bongkahan batu di dalam ambulans milik salah satu parpol. Batu yang diangkut rencananya akan digunakan saat demonstrasi menolak hasil pilpres. Padahal dari kasus-kasus tersebut, penyalahgunaan yang dilakukan segelintir oknum tentu tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menghalangi layanan darurat.
Pengrusakan ambulans oleh sekelompok pendemo bukanlah insiden yang terjadi begitu saja, melainkan ibarat puncak gunung es dari hasil akumulasi peristiwa-peristiwa penyalahgunaan layanan publik sebelumnya. Masyarakat kian gerah dengan oknum-oknum yang kerap memanfaatkan sirine hanya demi kepentingan pribadi yang jauh dari kata darurat. Fenomena serupa juga terjadi pada penyalahgunaan lampu strobo di jalanan. Pengendara dengan sengaja memasang strobo pada kendaraan non-dinas, ditambah gaya berkendara yang ugal-ugalan, telah menciptakan rasa curiga dan apatis di kalangan masyarakat.
Kasus terbaru yang memperkuat keresahan ini terjadi pada Kamis (19/6/2025), ketika sebuah Toyota Fortuner berstrobo terguling dalam kecelakaan tunggal di Tol Dalam Kota arah Cawang menuju Bogor. Kendaraan tersebut diketahui sebelumnya melaju dengan ugal-ugalan. Pengendara yang melihat, hanya melintasi tanpa memberikan bantuan, bahkan melemparkan caci dan maki silih bergantian setiap melewati mobil yang terbalik tersebut. Reaksi yang sesuai ketika kepercayaan publik mengalami kritis terhadap simbol-simbol layanan publik yang selama ini disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Salah Paham yang Berdampak Fatal
Tragedi di Solo menggambarkan dengan jelas kondisi masyarakat yang masih kurang memahami simbol layanan darurat. Hal ini bisa dilihat dari kumpulan massa yang masih tidak bisa membedakan jenis sirine yang menandakan ambulans sedang menjemput pasien, mengantar pasien kritis, atau membawa jenazah. Faktanya, terdapat lima jenis sirine ambulans yang umumnya digunakan seperti, yekp, wail, horn, hi-lo, dan phaser. Masing-masing dari jenis sirine mangandung fungsi dan penggunaan pada situasi yang berbeda. Namun, mereka beranggapan ketika sirine menyala, maka ambulans otomatis sedang membawa pasien. Sehingga ketika mendapati isi ambulans yang kosong, tindakan main hakim sendiri dibenarkan.
Padahal, berdasar data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 menunjukkan bahwa sebesar 70% angka kematian di Indonesia terjadi sebelum pasien tiba di rumah sakit, kemudian 30% meninggal di rumah sakit. Angka ini menegaskan betapa krusialnya kecepatan respon dalam kondisi darurat. Apabila terlambat sedetik pun, maka kesempatan emas dalam menangani pasien akan lenyap begitu saja.
Membangun Kesadaran akan Layanan Publik
Kasus ini menjadi alarm keras bagi seluruh elemen bahwa perlu adanya perbaikan pada banyak aspek. Untuk itu, diperlukan adanya tindakan strategis agar bisa mencegah kesalahpahaman serupa. Pertama, dimulai dari menggalakkan edukasi secara masif mengenai pentingnya menghormati layanan publik dan memahami hak istimewa kendaraan darurat serta simbol-simbol yang ada di publik. Simulasi layanan ambulans di sekolah maupun komunitas menjadi langkah yang dapat membangun kesadaran kolektif. Kedua, apabila terdapat pelanggaran berupa menghalangi dan merusak layanan publik seperti ambulans, pelaku haruslah dikenakan tindak pidana secara tegas ataupun kerja sosial di rumah sakit agar menimbulkan efek jera yang tetap edukatif.
Ketiga, dibutuhkan plaform digital yang terintegrasi dengan rumah sakit dan unit ambulans pada satu wilayah. Hal ini bertujuan agar dapat memantau aktivitas ambulans untuk meminimalisir terjadinya kesalahpaham serta menghindari penyalahgunaan sirine ambulans. Melalui platform tersebut, masyarakat juga bisa melihat ketersediaan dari layanan ambulans di sekitar tempat tinggal untuk memudahkan pemanggilan ketika dibutuhkan. Selain itu, melakukan digitalisasi layanan ambulans menjadi langkah strategis dalammemangkas ruwetnya birokrasi serta mempercepat respons ambulans dalam situasi darurat.
Kesimpulan
Amukan massa yang merusak ambulans hingga berujung pada hilangnya nyawa merefleksikan bahwa masih terdapat masyarakat yang belum memahami fungsi pada layanan publik, utamanya kendaraan prioritas yakni ambulans dan sirine. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan serius untuk bisa mencegah kejadian serupa dengan melakukan edukasi masif secara berkelanjutan, menegakkan hukum yang tegas, serta sistem layanan yang transparan, terintegrasi, dan responsif.
Dengan kita menepi dan memberi jalan kepada ambulans, kita tidak hanya sedang menaati aturan, namun juga membuka peluang hidup bagi mereka yang sedang berada dalam ambang kematian.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
