Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sitta Ananda Rizqy

Mental Strawberry Bukan Masalah, Tapi Tanda Butuh Perubahan

Curhat | 2025-07-10 13:00:08

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “mental strawberry” semakin sering terdengar, khususnya di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Istilah ini mengacu pada karakteristik generasi yang dianggap rapuh dalam menghadapi tekanan, mudah menyerah, dan cenderung menghindari tantangan berat. Namun, perlu diingat bahwa fenomena “mental strawberry” bukanlah sebuah masalah yang harus distigmatisasi. Sebaliknya, ini adalah tanda bahwa perubahan diperlukan, baik dalam diri individu maupun sistem yang menaungi mereka.

Ililustrasi gambar mental strawberry (gambar ini bersumber dari: https://cdn.rri.co.id/berita/Kediri/o/1719378082721-creative-composition-with-fruits-texture-vibrant-colors/9gdxclmll2najoa.jpeg)

Mental Strawberry: Perspektif Ilmiah

Penelitian oleh Susanto et al. (2023) dalam “Mengukur Resiliensi Kerja dari Generasi Z Sebagai Generasi Strawberry” menyoroti generasi Z yang sering kali diidentikkan dengan generasi strawberry—tampak menarik dan unggul dari luar, namun mudah ‘hancur’ ketika mengalami tekanan. Namun, perlu dipahami bahwa karakteristik ini bukan semata disebabkan oleh kelemahan personal, melainkan juga dipengaruhi oleh perubahan zaman, tuntutan digitalisasi, ekspektasi sosial, serta lingkungan yang cepat berubah. Resiliensi kerja pada generasi Z dinilai tidak setinggi generasi sebelumnya. Hal ini terjadi bukan karena mereka benar-benar lemah, melainkan karena situasi eksternal yang lebih kompleks. Susanto et al. (2023) menegaskan bahwa rendahnya resiliensi sering kali merupakan sinyal ketidakcocokan antara kebutuhan individu dan lingkungan, sehingga generasi Z perlu mendapatkan pendekatan yang lebih adaptif dalam pengelolaan stres dan beban kerja.

Definisi Coping Stres: Dua Pendekatan

Lazarus dan Folkman (1986) dalam teori coping stres menyebutkan dua pendekatan utama, yaitu problem-focused coping (berorientasi pada masalah) dan emotion-focused coping (berorientasi pada emosi). Problem-focused coping berfokus pada upaya langsung mengubah situasi yang menyebabkan stres, misalnya dengan mencari solusi, merencanakan langkah, atau meminta bantuan. Sementara itu, emotion-focused coping berfokus pada pengelolaan emosi yang timbul akibat stres, seperti mencari dukungan sosial, menenangkan diri, atau menerima keadaan. Kedua pendekatan ini sama-sama penting, namun generasi dengan kecenderungan mental strawberry kadang lebih dominan menggunakan emotion-focused coping, misalnya dengan menarik diri, overthinking, atau melampiaskan stres melalui aktivitas hiburan. Pola ini muncul karena mereka merasa lingkungan tidak memberikan ruang untuk problem-focused coping yang efektif. Maka, inilah saatnya perubahan diperlukan—baik pada individu, lingkungan kampus, maupun sistem pendidikan.

Mental Strawberry: Tanda Butuh Perubahan

Label “mental strawberry” seharusnya tidak menjadi stigma. Sebaliknya, ini adalah sinyal bahwa generasi muda memerlukan adaptasi dan perubahan. Perubahan ini bisa berupa:Meningkatkan literasi mental health di lingkungan kampus

Memberikan ruang diskusi untuk mengembangkan coping skills berbasis solusi

Mendorong mahasiswa untuk berani mengidentifikasi dan mengelola stres dengan pendekatan yang sehat

Membangun ekosistem pendidikan yang lebih suportif dan fleksibel

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image