Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitria Alviani

Cancel Culture Jadi Solusi Tepat untuk Korupsi?

Eduaksi | 2025-07-09 00:25:35
Sumber: pixabay.com

Di era digital sekarang ini, viral bukan hanya karena konten lucu atau tren TikTok yang lagi naik daun. Sekarang ini viral bisa jadi sebuah bentuk perlawanan, loh. Hah? Kok bisa? Jadi gini, Indonesia yang kita tahukan korupsi merajalela sampai jadi rahasia publik yang banyak orang enggak heran. Nah, ketika pejabat publik sedang tersandung kasus korupsi, netizen Indonesia yang setara kecepatan cahaya bergerak menunjukkan keahlian mereka dengan buat cuitan-cuitan sindiran di twitter, buat petisi online untuk segera memproses kasus, hingga ada juga yang boikot keluarga pejabat yang tersangka korupsi. Ngeri banget kan? Cancel culture ini bisa jadi senjata sosial untuk menuntut akuntabilitas dari tindakan tercela tersebut.

Dari fenomena ini dapat kita amati bahwa masyarakat, terutama generasi digital seperti kita tidak lagi pasif. Mereka aktif untuk menyuarakan pendapat, mengawasi, mengkritik, hingga menuntut tanggung jawab. Tapi, apa bener kalau semua yang viral itu adil? Apakah cancel culture ini alat etika publik yang sehat?

Cancel Culture: Kritik Tajam atau Penghakiman Kolektif?

Cancel culture sendiri muncul akibat respons akan sistem hukum dan birokrasi yang dianggap lamban atau belum memuaskan. Terkadang pengadilan sosial media lebih cepat daripada sistem hukum itu sendiri. Contohnya seperti kasus-kasus korupsi yang mencuat ramai setelah viral dimedia sosial baru diproses resmi. Namun, disisi lain cancel culture juga punya another side yang dinilai negatif. Kadang, ada pejabat yang belum terbukti bersalah melakukan pelanggaran belum ketok palu final keputusan sudah ramai dirujak publik. Ada juga kasus yang viralnya lebih penting daripada fakta sebenarnya. Hal ini bisa berefek pada penurunan reputasi, karier, hingga mental seseorang. So, sebelum mengkuliti kita harus tahu akarnya dulu ya sudah benar apa belum.

Netizen: Bukan Sekadar Kritikus, Tapi Mitra Etika Publik

Netizen Indonesia ini selain jago nge-cancel, mereka juga jago membangun. Bangun gerakan-gerakan aktif seperti gerakan anti korupsi, edukasi digital, hingga mendorong transparansi lewat teknologi terkini. Media JawaPos menerangkan bahwa budaya cancel culture di Indonesia mulai membawa kekuatan nyata. Netizen kini bisa jadi watchdog atau pengawas sosial buat ngawasin kinerja pejabat-pejabat, awak media, hingga institusi negara. Bahkan, akun-akun pengawas gaya hidup pejabat dan keluarganya kini jadi sumber informasi alternatif yang ditakuti. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan digital telah bergeser ke tangan publik.

Meskipun impact nyata dari cancel culture itu kuat, perlu diingat bahwa cancel culture tidak bebas dari kritikan. Ada risiko penghukuman prematur, misinformation, serta kurangnya ruang klasifikasi. Nah, disini seharusnya institusi publik bisa mendukung budaya ini dengan membuka ruang dialog etis yang terstruktur bukan hanya pemaparan minim data. Pemerintah harus merespons tindakan ini dengan komunikasi transparan, edukasi publik yang empatik serta penegakan hukum yang cepat serta terpercaya. Ruang etika publik harus dibangun bukan berdasar dari rasa takut viral, tetapi dari niat untuk membenahi sistem negara dan menjaga kepercayaan publik.

Jadi, apakah pejabat yang korupsi itu wajib viral? Jawabanya: Harus, jika itu jalan satju-satunya untuk menyadarkan publik dan menggerakkan sistem. Namun, perlu diingat cancel culture harus tepat dijaga agar nggak jadi alat penghakiman yang brutal. Netizen punya potensi besar untuk jadi mitra reformasi etika publik. Bukan cuma nge-cancel, tapi juga mengajak diskusi, edukasi, dan mendorong perubahan sistemik. Karena di era digital, etika bukan cuma soal aturan, tapi soal keberanian untuk bertanggung jawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image