Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dedy Setyo Afrianto

Generasi Tangguh dalam Era Algoritma

Eduaksi | 2025-07-08 20:58:18
Ilustrasi Algoritma

Adolescence, serial drama thriller populer Netflix, belakangan mendapatkan perhatian besar. Dalam tiga minggu penayangannya, serial ini meraih predikat sebagai tayangan Netflix paling banyak ditonton sepanjang masa. Saking populernya, Perdana Menteri Britania Raya, Keir Starmer menyarankan tayangan ini untuk diputar diseluruh sekolah sebagai pelajaran berharga untuk para siswa.

Serial ini mengisahkan seorang remaja laki-laki yang melakukan pembunuhan karena pengaruh media sosial. Pandangannya berubah karena manosphere, komunitas online penyebar kebencian yang memengaruhi perspektif gendernya secara ekstrem.

Perubahan perilaku yang dijembatani oleh smartphone dan media sosial pada film ini, terasa relate dengan pengalaman jutaan penonton lainnya. Mereka merasa tayangan ini mencerminkan kejadian serupa di lingkungan sekitar mereka.

Perkembangan teknologi membuat manusia mudah terhubung satu sama lain dengan pendekatan yang berbeda dibanding sebelumnya. Bahkan di rumah, mereka bisa berinteraksi dengan orang dari berbagai negara.

Namun pertanyaannya, apakah teknologi membuat kita lebih memahami jati diri kita sebagai manusia, atau justru mengikisnya?

Jonathan Haidth dalam bukunya "Anxious Generation" melaporkan bahwa dari sepanjang 2010 - 2020, media sosial meningkatkan depresi dan self harm (menyakiti diri sendiri) dikalangan remaja hingga peningkatan lebih dari 100%.

Haidth berhipotesis bahwa kebutuhan remaja untuk makin eksis di media sosial, ternyata berbanding lurus dengan makin rapuhnya para remaja dalam kehidupan nyata. Kerapuhan ini makin menjadi-jadi dengan minusnya support dari lingkungan sosial mereka.

Berdasarkan laporan Statistik Pendidikan 2024 dari BPS, peserta didik di Indonesia, sebesar 90,76% diantara mereka menggunakan internet sebagai sarana hiburan. Sebesar 61,6% untuk mengakses media sosial. Angka ini sangat besar, apalagi jika dikaitkan dengan hadirnya generasi Z dan Alpha dalam bonus demografi Indonesia.

Fenomena ini menguatkan kekhawatiran banyak pihak bahwa remaja kita sedang berada dalam pusaran eksistensi digital yang rentan dan memerlukan perhatian serius.

Area Eksistensial Baru

Sejak ditemukannya tombol like dan follow pada 2009, kebutuhan manusia untuk eksis terus menerus di media maya seolah telah menjadi area eksistensial yang setara kebutuhan primer. Banyak orang merasa bahwa dirinya akan tetap ada, jika telah mendapatkan pengakuan dari orang lain melalui tombol-tombol penanda tersebut. Sebaliknya, mereka merasa "tidak diakui" jika konten buatannya minim validasi dari orang lain.

Dari sinilah, algoritma media sosial bermuara pada "like" dan "dislike" sebagai bentuk validasi. Makin banyak "like" dari orang lain, akan membuat makin viral. Tak jarang, konten receh tidak bermanfaat seringkali menghiasi media sosial, yang menyebar bak "virus" kepada sebagian remaja kita.

Media sosial menyimpan ironi besar, dibalik fungsinya yang dipandang powerful untuk sebagian influencer. Nyatanya para remaja kita banyak yang menjadi "korban" ketika belum memiliki regulasi diri yang baik, sehingga penggunaan secara bijak belum bisa dilakukan.

Ajakan kebaikan pada dasarnya juga banyak bertebaran di media sosial. Belakangan influencer kebersihan dapat memotivasi masyarakat untuk tergerak bersih-bersih sungai, pantai dan tempat umum. Guru influencer yang memberikan inspirasi pengelolaan kelas inovatif, dan berbagai kampanye kreatif lainnya yang mendorong aktivitas positif yang beragam.

Greta Thunberg, aktivis lingkungan remaja peraih penghargaan Person of The Year Majalah Time 2019, mengkampanyekan #FridaysForFuture melalui sosial medianya berhasil menggerakkan jutaan orang di Eropa untuk peduli dengan Global Warming dan Climate Change. Akhirnya berhasil mengundang perhatian publik untuk menggemakan hal serupa.

Teknologi adalah kenyataan yang akan inheren untuk hampir semua aktivitas anak-anak kita dimasa depan, keberadaannya diharapkan dapat menjadi entitas pendorong kebaikan dan menginspirasi orang untuk bergerak. Jika tak dikelola dengan baik, ruang eksistensial digital ini justru bisa menggerus karakter anak-anak kita. Maka, bagaimana sebaiknya kita merancang pendekatan pendidikan karakter di era digital ini?

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, dalam ujarannya memberikan poin penting tentang adanya tri pusat pendidikan, yakni di rumah, sekolah dan masyarakat. Di tiga tempat inilah sejatinya pendidikan bertemu dengan potensi terbaiknya.

Kontekstualisasi tri pusat pendidikan ini dalam era digital penting untuk disodorkan kembali.

Pertama, meningkatkan keterampilan literasi digital siswa di sekolah.

Pembekalan keterampilan literasi digital sangat diperlukan agar mereka dapat mengelola teknologi dengan kritis, bertanggung jawab serta aman. Menurut UNESCO, literasi digital merupakan skill untuk mencari, mengklasifikasi, memvalidasi informasi dari dunia digital. Alih-alih menjadi korban hoax, anak-anak kita arahkan menjadi netizen yang sadar dan terlatih memilih informasi.

Kemampuan ini hadir dengan pemahaman di sekolah, dimana integrasi penggunaan teknologi dapat dipadukan dengan project belajar untuk mengkritisi informasi. Guru bersama siswa mencari informasi terkait project yang akan dikerjakan bersama, informasi yang didapatkan kemudian dikritisi dan dianalisis dengan sumber kredibel.

Handbook berjudul “Critical Digital Literacy in Education” yang diprakarsai oleh Jaringan Guru di Turkey dan Heinrich Böll Stiftung, memberikan referensi bahwa keterampilan siswa dalam mendeteksi informasi benar/palsu bisa dibangun melalui adaptasi dongeng yang bermakna. Hal ini tentu saja dapat menjadi salah satu referensi untuk meningkatkan skill literasi digital siswa.

Kedua, rumah sebagai pusat edukasi pertama

Tugas orang tua dalam memastikan kesiapan anak menggunakan gawai menjadi teramat penting. Kementerian Komdigi RI, beberapa waktu yang lalu sedang membuat rumusan akses usia minimal 13 tahun. Walaupun masih tahap kajian, hal ini perlu kita apresiasi. Di Australia, melalui UU Keamanan Daring, warga berusia dibawah 16 tahun tidak diperkenankan mengakses media sosial.

Berapapun usia yang kita tentukan, point pentingnya sebenarnya ada pada kesiapan anak untuk filter terhadap konten daring yang ada. Tentunya hal ini butuh pendampingan dari orang tua untuk memastikan anak-anaknya aman dan terlindungi ketika sedang berselancar di dunia maya.

Support emosional melalui komunikasi efektif penting untuk selalu ditunjukkan orang tua. Berbincang hangat saat kesempatan makan malam bersama, membuat regulasi jam tayang gawai, serta pentingnya momen-momen kebersamaan untuk menumbuhkan empati dan kepedulian antar sesama anggota keluarga.

Ketiga, kepedulian bersama masyarakat digital.

Masyarakat digital yang baik, sejatinya adalah kumpulan orang yang peduli terhadap keamanan dunia digital. Seperti masyarakat di dunia nyata, mereka peduli, memiliki sistem kontrol dari norma dan etika yang disepakati sebagai nilai.

Masyarakat digital yang baik juga memiliki perilaku apik yang memikat untuk dicontoh. Membuat postingan inspiratif, kontrol diri yang baik dalam berkomentar, tidak ikut-ikutan menyebarkan berita hoax, merupakan beberapa representasi netizen yang baik.

Maka jika ketiga pusat pendidikan dapat dikelola dengan baik, kita berharap anak-anak kita akan makin aman dan nyaman ketika berselancar di dunia maya. Karakter tak bisa dibentuk dalam ruang kosong. Mari bangun ekosistem digital yang sehat agar anak-anak kita tumbuh tangguh dan berdaya di era algoritma.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image