Gaza di Persimpangan Jalan: Krisis Kemanusiaan di Tengah Jalan Buntu Diplomasi
Politik | 2025-07-07 10:53:33
Setiap hari, rata-rata 112 anak di Gaza dirawat karena malnutrisi akut. Angka ini, yang dirilis UNICEF untuk periode Januari-Mei 2025, mungkin hanya statistik bagi sebagian orang. Namun, di balik setiap angka tersebut terdapat wajah anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar, kini harus berjuang melawan kelaparan di tengah reruntuhan konflik yang telah berlangsung hampir 21 bulan.
Sementara dunia internasional sibuk dengan diplomasi meja bundar dan pernyataan-pernyataan politik, realitas di lapangan menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Kondisi Gaza hari ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan biasa—ini adalah ujian nyata bagi efektivitas sistem internasional dalam merespons krisis yang kompleks.
Data terbaru dari berbagai lembaga internasional menggambarkan kondisi Gaza yang mencengangkan. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, lebih dari 57.000 warga Palestina telah tewas sejak konflik dimulai pada 7 Oktober 2023. Angka ini belum termasuk ribuan orang yang masih terkubur di bawah reruntuhan. Yang lebih memprihatinkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa 100 persen populasi Gaza kini berada di ambang kelaparan. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bersama Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa risiko kelaparan di Jalur Gaza semakin nyata akibat operasi militer yang berkelanjutan, pemindahan paksa penduduk, dan pembatasan ketat terhadap bantuan kemanusiaan.
Infrastruktur Gaza telah hancur total. Hampir 175.000 bangunan rusak hingga April 2025, menghasilkan lebih dari 53 juta ton puing. Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) memperkirakan butuh 22 tahun dan biaya lebih dari 1 miliar dolar AS hanya untuk membersihkan reruntuhan ini. Sistem kesehatan Gaza juga mengalami keruntuhan sistemik. Hanya 40 persen dari 217 fasilitas produksi air bersih yang masih berfungsi. Hampir 660.000 anak tidak bersekolah. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa hampir setengah dari persediaan medis mereka sudah habis.
Gambaran suram ini semakin mengkhawatirkan ketika kita mempertimbangkan bahwa 82,4 persen wilayah Gaza kini berada dalam zona militer Israel, di bawah perintah pengungsian, atau di area yang tumpang tindih. Sekitar 1,9 juta orang—atau 90 persen dari populasi Gaza—telah mengungsi selama perang, dengan banyak di antaranya mengungsi berulang kali, bahkan hingga 10 kali. Tragisnya, setidaknya 410 warga Palestina tewas ketika mencoba mengambil bantuan dari pusat-pusat distribusi yang kontroversial, sementara 3.000 lainnya terluka dalam insiden serupa.
Ironisnya, upaya diplomatik justru mengalami intensifikasi ketika kondisi lapangan semakin memburuk. Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru-baru ini mengumumkan proposal "final" untuk gencatan senjata 60 hari antara Israel dan Hamas. Proposal ini mendapat respons positif dari Hamas pada 4 Juli 2025, membuka peluang dialog lebih lanjut. Namun, sementara para diplomat bernegosiasi, angka korban terus bertambah. Dalam 24 jam terakhir saja, serangan Israel menewaskan 138 warga Palestina. Ini menunjukkan kesenjangan mencolok antara optimisme diplomatik dan realitas lapangan yang pahit.
Netanyahu yang bertemu Trump di Gedung Putih hari ini (7 Juli) menghadapi tekanan dari berbagai arah. Di satu sisi, koalisi sayap kanan yang mendukungnya, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, menolak gencatan senjata yang dapat memperkuat Hamas. Di sisi lain, tekanan Amerika Serikat dan dunia internasional semakin besar untuk mengakhiri konflik. Trump sendiri telah menyatakan akan "sangat tegas" dengan Netanyahu mengenai perlunya mengakhiri perang Gaza.
Respons dunia internasional terhadap krisis Gaza menunjukkan fragmentasi yang mengkhawatirkan. Meskipun banyak negara mengecam kekerasan dan menyerukan gencatan senjata, tindakan konkret masih terbatas. Negara-negara Arab, yang secara historis menjadi pendukung utama Palestina, menunjukkan respons yang beragam. Qatar dan Mesir aktif sebagai mediator, sementara Arab Saudi memberikan dukungan diplomatik yang relatif terbatas. Negara-negara seperti Jordania dan Lebanon lebih fokus pada beban pengungsi yang mereka tanggung.
Sementara itu, Uni Eropa dengan 27 negara anggotanya masih berjuang mencari suara yang bersatu. Perancis dan Malaysia baru-baru ini mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan gencatan senjata, namun ini lebih bersifat simbolis daripada substantif. PBB sendiri menghadapi dilema klasik: meskipun memiliki mandat moral yang kuat, mereka tidak memiliki mekanisme penegakan yang efektif. Resolusi Dewan Keamanan PBB 2735 yang mendukung proposal gencatan senjata tidak memiliki daya paksa nyata.
Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika geopolitik regional yang lebih luas. Konflik 12 hari antara Israel dan Iran yang baru berakhir dengan gencatan senjata bulan lalu mengubah perhitungan strategis di kawasan. Iran, yang selama ini menjadi pendukung utama Hamas, kini dalam posisi yang melemah setelah fasilitas nuklirnya diserang. Hal ini memberikan peluang bagi Israel untuk menekan Hamas dengan dukungan yang berkurang dari sekutunya.
Bagi Netanyahu, konflik di Gaza juga tidak terlepas dari politik domestik. Dia menghadapi persidangan korupsi dan tekanan politik dalam negeri. Beberapa analis berpendapat bahwa memperpanjang konflik memberikan Netanyahu ruang bernapas politik, meskipun dengan biaya kemanusiaan yang sangat tinggi. Polling menunjukkan bahwa 82 persen warga Israel Yahudi mendukung serangan gabungan AS-Israel terhadap Iran, namun dukungan terhadap perang Gaza lebih terpecah.
Trump, dengan pendekatan yang lebih transaksional dibanding pendahulunya Joe Biden, tampak ingin meraih "kemenangan" diplomatik cepat. Administrasinya telah memainkan peran aktif dalam memediasi gencatan senjata Israel-Iran dan kini berusaha menerapkan momentum serupa untuk Gaza. Namun, kompleksitas konflik ini jauh melampaui sekadar negosiasi bilateral.
Krisis Gaza mengekspos kelemahan fundamental sistem internasional kontemporer. Hukum internasional, meskipun secara normatif kuat, tidak memiliki mekanisme penegakan yang efektif dalam menghadapi asimetri kekuatan yang ekstrem. Mahkamah Internasional (ICJ) telah mengeluarkan pendapat hukum yang mewajibkan Israel mengakhiri okupasi, dengan tenggat waktu 17 September 2025. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para pemimpin Israel atas tuduhan kejahatan perang. Namun, tanpa mekanisme penegakan yang efektif, instrumen-instrumen hukum ini hanya menjadi kertas kosong.
Kontradiksi antara retorika dan tindakan juga terlihat jelas dalam kebijakan ekonomi. Amerika Serikat baru saja menyetujui penjualan senjata senilai 510 juta dolar AS kepada Israel, termasuk 7.000 kit panduan bom untuk munisi presisi. Ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi dan strategis sering kali mengalahkan keprihatinan kemanusiaan.
Para ahli PBB menyatakan dengan tegas: "Sementara negara-negara memperdebatkan terminologi—apakah ini genosida atau bukan?—Israel melanjutkan penghancuran hidup yang tak henti-hentinya di Gaza, melalui serangan darat, udara dan laut, mengusir dan membantai populasi yang bertahan hidup dengan impunitas." Pernyataan ini mencerminkan frustrasi komunitas internasional terhadap ketidakberdayaan sistem yang ada.
Proposal gencatan senjata 60 hari yang saat ini dibahas dapat menjadi titik awal, bukan solusi akhir. Berdasarkan versi terbaru yang bocor ke media, Hamas akan membebaskan 28 sandera Israel—10 yang masih hidup dan 18 jenazah—dalam lima tahap selama periode gencatan senjata. Sebagai imbalannya, Israel akan menarik sebagian pasukan dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan melalui mekanisme PBB yang tradisional.
Namun, tantangan utama terletak pada apa yang terjadi setelah 60 hari tersebut. Hamas menuntut jaminan bahwa gencatan senjata akan berlanjut menuju perdamaian permanen. Israel, di sisi lain, bersikeras bahwa Hamas harus dilucuti dan tidak boleh berkuasa di Gaza. Kesenjangan posisi ini menunjukkan bahwa jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan masih sangat panjang dan berliku.
Untuk jangka panjang, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Rekonstruksi Gaza akan membutuhkan komitmen internasional yang masif, bukan hanya untuk membersihkan puing, tetapi untuk membangun sistem pemerintahan dan ekonomi yang berkelanjutan. Ini juga memerlukan reformasi fundamental terhadap pendekatan penyelesaian konflik Palestina-Israel yang selama ini stagnan.
Krisis Gaza menjadi cermin bagi dunia internasional tentang keterbatasan sistem yang ada. Ini bukan hanya tentang Palestina dan Israel, tetapi tentang bagaimana dunia merespons krisis kemanusiaan di era multipolar ini. Precedent yang tercipta di Gaza akan berdampak pada konflik-konflik lain di dunia, dari Sudan hingga Myanmar. Jika komunitas internasional gagal merespons secara efektif, ini akan menjadi sinyal bagi aktor-aktor lain bahwa kekerasan massal dapat dilakukan tanpa konsekuensi berarti.
Gaza hari ini bukan sekadar tragedi regional, tetapi ujian moral bagi peradaban manusia. Angka 112 anak yang dirawat karena malnutrisi setiap hari seharusnya tidak menjadi statistik biasa dalam berita internasional. Dunia internasional berada di persimpangan jalan: melanjutkan status quo yang menghasilkan penderitaan massal, atau melakukan reformasi fundamental terhadap pendekatan penyelesaian konflik. Pilihan ini bukan hanya tentang masa depan Gaza, tetapi tentang kredibilitas sistem internasional itu sendiri.
Sementara diplomat terus bernegosiasi dan politisi berpidato, anak-anak Gaza terus berjuang melawan kelaparan. Mereka tidak memiliki waktu untuk menunggu solusi yang sempurna. Yang mereka butuhkan adalah tindakan nyata, sekarang juga. Sejarah akan mencatat bagaimana dunia merespons krisis ini. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu bertindak, tetapi apakah kita memiliki kehendak politik untuk melakukannya. Gaza menunggu jawaban dari kita semua.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
