Mengapa Riba Dilarang? Tinjauan Ekonomi Makro Syariah
Eduaksi | 2025-07-07 07:52:24Dalam sistem ekonomi Islam, riba merupakan salah satu praktik yang dilarang secara tegas karena dianggap merusak keadilan dan kestabilan sosial. Larangan ini bukan hanya bersifat normatif-religius, tetapi juga memiliki dasar rasional yang kuat dalam konteks ekonomi makro. Riba tidak sekadar menimbulkan ketimpangan dalam distribusi kekayaan, tetapi juga dapat menjadi akar krisis finansial dan memperparah beban utang dalam masyarakat. Di tengah sistem keuangan modern yang masih banyak bergantung pada instrumen berbunga, penting untuk memahami mengapa Islam begitu keras terhadap praktik riba, serta bagaimana sistem ekonomi syariah menawarkan alternatif yang lebih adil, stabil, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
Riba dalam Perspektif Islam dan Ekonomi Syariah
Dalam Islam, riba didefinisikan sebagai tambahan yang ditentukan di awal dalam transaksi pinjam-meminjam (qardh) atau dalam pertukaran barang sejenis secara tidak setara, baik dalam bentuk waktu maupun kuantitas. Secara etimologis, riba berasal dari kata raba–yarbu yang berarti "bertambah" atau "berkembang". Sementara secara terminologis (syar'i), riba adalah segala bentuk tambahan yang diambil secara batil dari transaksi utang-piutang atau pertukaran barang ribawi yang tidak sesuai ketentuan syariah.
Larangan riba secara eksplisit dinyatakan dalam Al-Qur'an, antara lain:
- QS. Al-Baqarah [2]: 275–279 yang menyebutkan bahwa riba adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memerangi orang-orang yang tetap mempraktikkan riba setelah datangnya larangan.
- QS. Ali Imran [3]: 130: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."
- Hadis Nabi SAW juga dengan tegas melarang segala bentuk riba. Dalam riwayat Muslim: "Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya, dan beliau bersabda: Mereka semuanya sama." (HR. Muslim, no. 1598)
Dalam perspektif ekonomi syariah, riba dianggap merusak keadilan ekonomi karena mengandung unsur eksploitasi (zulm) terhadap pihak yang lemah, terutama dalam transaksi pinjaman. Ekonomi Islam mengedepankan asas keadilan, kerja sama, dan risiko bersama, sehingga pengambilan keuntungan tanpa adanya usaha atau risiko dianggap tidak etis dan merusak prinsip distribusi ekonomi yang adil (Chapra, Islam and the Economic Challenge, 1992).
Dampak Riba terhadap Stabilitas Ekonomi Makro
Riba tidak hanya dilarang karena alasan moral dan spiritual, tetapi juga karena memiliki dampak serius terhadap kestabilan ekonomi makro. Sistem ekonomi yang berbasis riba cenderung menciptakan ketimpangan struktural, di mana kekayaan terakumulasi pada kelompok pemilik modal, sementara kelompok miskin semakin tertekan oleh beban bunga pinjaman. Praktik ini memperparah ketimpangan distribusi kekayaan dan mendorong terciptanya jurang sosial-ekonomi yang lebar.
Dalam konteks ekonomi makro, riba memperbesar potensi krisis keuangan karena mendorong kegiatan ekonomi berbasis utang yang tidak didukung oleh produktivitas sektor riil. Ketika sistem keuangan lebih fokus pada perputaran uang dan bunga daripada penciptaan nilai tambah nyata, maka ekonomi menjadi rapuh dan mudah terguncang oleh gejolak pasar. Hal ini menghambat pertumbuhan jangka panjang dan melemahkan ketahanan fiskal. Dalam krisis finansial global tahun 2008, misalnya, salah satu penyebab utamanya adalah sistem keuangan berbasis bunga dan spekulasi, yang menghasilkan gelembung aset (asset bubbles) tanpa didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat.
Ekonom Muslim seperti Muhammad Umer Chapra menekankan bahwa riba menciptakan ekonomi yang tidak stabil karena mendorong perilaku spekulatif dan melemahkan peran sektor produktif dalam pembangunan ekonomi. Sebaliknya, sistem ekonomi Islam yang menolak riba dan mendorong skema bagi hasil diyakini lebih mampu menciptakan stabilitas, keadilan, dan pertumbuhan berkelanjutan karena mendasarkan transaksi pada nilai riil dan tanggung jawab bersama.
Alternatif Sistem Ekonomi Bebas Riba
Sebagai respon terhadap dampak negatif riba, ekonomi Islam menawarkan sistem alternatif yang berbasis keadilan, kemitraan, dan transaksi nyata (real transaction). Salah satu pendekatan utama adalah sistem bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, di mana hubungan antara pemilik modal dan pengelola usaha didasarkan pada kepercayaan dan pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Skema ini memungkinkan kedua belah pihak berbagi risiko dan manfaat secara proporsional, sehingga lebih adil dibanding sistem pinjaman berbunga. Prinsip ini sejalan dengan semangat Islam yang menolak keuntungan sepihak tanpa usaha atau risiko.
Selain itu, ekonomi syariah juga menyediakan akad-akad lain yang bebas dari riba, seperti murabahah (jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati), ijarah (sewa-menyewa), dan salam (jual beli dengan pembayaran di muka dan pengiriman barang di kemudian hari). Akad-akad ini digunakan dalam berbagai produk perbankan syariah yang saat ini berkembang luas, seperti pembiayaan rumah, kendaraan, dan modal usaha. Dengan mengedepankan transaksi berbasis aset riil dan menghindari spekulasi, sistem ini tidak hanya meminimalkan risiko krisis keuangan, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan etis.
Urgensi Menerapkan Ekonomi Syariah dalam Skala Makro
Penerapan ekonomi syariah dalam skala makro menjadi sangat penting sebagai solusi atas krisis moral dan struktural dalam sistem ekonomi konvensional. Krisis keuangan global yang berulang menunjukkan bahwa sistem berbasis utang dan bunga cenderung rapuh, eksploitatif, dan tidak berkelanjutan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah hadir dengan pendekatan yang lebih stabil dan berkeadilan, karena berlandaskan pada transaksi nyata, kejujuran, kemitraan, serta larangan terhadap riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi). Prinsip-prinsip ini menciptakan struktur ekonomi yang lebih tangguh terhadap gejolak dan tidak membebani negara dengan utang yang terus berbunga.
Lebih dari itu, penerapan ekonomi syariah dalam kebijakan publik dan sistem keuangan nasional dapat mendorong pemerataan pembangunan dan meningkatkan inklusi keuangan, terutama bagi masyarakat bawah yang sering terpinggirkan oleh sistem konvensional. Negara berperan penting dalam menciptakan regulasi yang mendukung pertumbuhan sektor syariah, memperluas edukasi dan literasi keuangan Islam, serta mendorong kolaborasi antara lembaga keuangan, pelaku usaha, dan masyarakat. Dengan mengintegrasikan prinsip syariah ke dalam kebijakan makroekonomi, diharapkan tercipta sistem yang tidak hanya efisien dan produktif, tetapi juga etis, berorientasi pada kesejahteraan, dan menjaga stabilitas jangka panjang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
