Ketidakpastian Ibukota Negara: Ambisi Megah di Atas Fondasi yang Rapuh
Politik | 2025-07-06 23:39:49Upacara peringatan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Nusantara (IKN) telah berlalu, namun euforia seremonial tersebut tidak serta-merta mengikis awan ketidakpastian. Memasuki pertengahan 2025, di bawah pemerintahan baru, IKN justru memasuki babak baru yang lebih menantang. Mundurnya Kepala Otorita IKN dan wakilnya pada tahun 2024 terbukti bukan sekadar insiden, melainkan gejala awal dari persoalan sistemik yang kini semakin nyata. Realitas di lapangan pada saat ini menunjukkan tantangan berat, mulai dari proses pemindahan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berjalan lambat dan penuh keluhan, lalu komitmen anggaran negara yang harus bersaing dengan program prioritas lainnya, serta kepastian investasi asing yang masih menjadi fatamorgana. Alih-alih menjadi simbol kepastian, IKN kini berada di persimpangan antara ambisi dan realitas fiskal serta sosial yang pelik.
Krisis Kepemimpinan dan Realitas Pendanaan
Pasca-pengunduran diri pimpinan Otorita pada 2024, pemerintahan baru telah menunjuk pejabat definitif untuk melanjutkan estafet. Namun, tantangan utama tetap sama, yaitu pendanaan dan realisasi investasi swasta, terutama dari pihak asing yang masih jauh dari harapan.
Pemerintah menargetkan 80% pembiayaan IKN berasal dari non-APBN, namun kenyataannya, pembangunan infrastruktur dasar masih sangat bergantung pada dana negara. Analisis APBN 2025 menunjukkan komitmen pemerintah untuk melanjutkan pembangunan, namun alokasi tersebut harus berbagi porsi dengan program-program unggulan pemerintahan baru, seperti program makan bergizi gratis. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan pendanaan negara dalam jangka panjang. Ketergantungan pada APBN semakin dalam, sementara investor asing masih dalam posisi wait and see. Upaya diplomasi investasi yang gencar dilakukan belum membuahkan hasil signifikan. Akibatnya, roda pembangunan IKN kini lebih banyak digerakkan oleh suntikan dana negara dan partisipasi konsorsium domestik. Pola ini, meskipun menunjukkan ketahanan, juga memperlihatkan bahwa IKN belum berhasil menjadi magnet investasi global seperti yang dicita-citakan, dan memunculkan risiko konsentrasi kekuatan ekonomi pada segelintir pihak. Krisis kepemimpinan di Otorita IKN hanya semakin memperburuk persepsi risiko ini di mata para calon penanam modal.
Status Ganda Ibu Kota, Kekaburan Regulasi dan Realitas Fungsional
Pengesahan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) pada April 2024 secara resmi mencabut status Jakarta sebagai ibu kota. Meskipun UU DKJ telah disahkan, hingga pertengahan 2025, Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota secara resmi dan menyeluruh masih belum diterbitkan. Dalam hal ini, IKN sendiri secara fungsional belum siap sepenuhnya untuk mengambil alih peran tersebut. Akibatnya, Indonesia berada dalam posisi ambigu, dalam hal ini, Jakarta bukan lagi ibukota secara de jure, sementara Nusantara belum sepenuhnya menjadi ibu kota secara de facto. Ini membuat status "ibu kota ganda" menjadi kronis, menciptakan kebingungan administrasi yang berkepanjangan.
Kekaburan ini menimbulkan pertanyaan praktis, di mana pusat pemerintahan Indonesia saat ini? Keputusan Presiden (Keppres) yang akan menetapkan pemindahan resmi masih belum diterbitkan. Situasi ini menciptakan potensi kevakuman hukum dan administrasi yang membingungkan, baik bagi birokrasi, pelaku usaha, maupun masyarakat luas. Tumpang tindih antara persiapan IKN yang belum rampung dan pencabutan status Jakarta yang sudah final adalah cerminan dari perencanaan yang tergesa-gesa.
Lebih dari itu, tantangan kini bergeser ke realitas fungsional. Gelombang pertama pemindahan ASN yang dimulai sejak akhir 2024 berjalan tidak semulus rencana. Laporan mengenai belum siapnya infrastruktur pendukung seperti sekolah dengan kualitas setara kota besar, fasilitas kesehatan yang komprehensif, hingga sarana hiburan dan transportasi publik yang terintegrasi, menjadi keluhan umum para ASN pionir. IKN memang memiliki gedung-gedung pemerintahan yang megah, namun belum sepenuhnya menjadi "kota yang hidup" (a living city).
Kondisi ini secara langsung menyoroti kekosongan demokrasi yang diwariskan oleh UU IKN. Ribuan ASN dan pekerja yang kini mendiami IKN tidak memiliki lembaga perwakilan (DPRD) untuk menyalurkan aspirasi atau keluhan mereka terkait layanan publik. Semua keluhan bermuara pada Otorita IKN, sebuah lembaga teknokratis yang ditunjuk, bukan dipilih. Cacat demokrasi ini bukan lagi sekadar kritik teoritis, melainkan masalah nyata yang dirasakan oleh warga pertama IKN.
Akar Masalah: Cacat Bawaan dalam UU IKN (Jalan Pintas Kekuasaan yang Mengabaikan Demokrasi)
Tantangan-tantangan yang kini terlihat di tahun 2025, mulai dari birokrasi yang kaku, keluhan mahingga ketergantungan pada APBN—bukanlah hal yang mengejutkan. Ini adalah konsekuensi logis dari fondasi hukumnya yang bermasalah, yang sejak awal dirancang dengan mengabaikan partisipasi dan kontrol demokratis.
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.” Ungkapan tersebut secara tajam membingkai persoalan fundamental dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Alih-alih berfungsi sebagai pagar demokrasi, UU IKN justru menjadi contoh bagaimana hukum dapat dirancang menjadi kendaraan bagi kekuasaan absolut, sebuah fenomena yang menandai babak baru yang suram dalam politik hukum Indonesia pasca-reformasi.
Dimulai dari proses pembentukannya, pengesahan UU yang hanya memakan waktu 43 hari dengan partisipasi publik yang bersifat formalitas menunjukkan corak politik hukum yang elitis dan instrumentalistik. Kepentingan strategis nasional dijadikan dalih untuk menabrak prinsip deliberatif, di mana hukum tidak lagi lahir dari kehendak rakyat, melainkan dari segelintir elite penguasa.
Hal ini melahirkan substansi yang mengkhawatirkan, lahirnya Otorita IKN sebagai lembaga super tanpa kontrol demokratis. Pembentukan "otorita" sebagai entitas pemerintahan yang tidak dikenal dalam Konstitusi (Pasal 18 UUD 1945) adalah sebuah anomali. Lembaga ini diberikan kewenangan luar biasa besar, namun dikebiri dari mekanisme pengawasan paling esensial, yakni ketiadaan DPRD. Ini menciptakan kondisi yang sangat rentan terhadap kesewenang-wenangan, sebuah kelaliman yang dilegalkan oleh undang-undang.
Puncak dari arogansi legislasi ini termanifestasi dalam Pasal 42 ayat (1) UU perubahan IKN, yang secara gamblang menempatkan "kebijakan" Otorita di atas semua peraturan perundang-undangan lain, termasuk UU. Ini adalah bentuk pembajakan nalar hukum yang paling nyata, di mana kekuasaan eksekutif di IKN diberi status absolut, tak tersentuh oleh rezim hukum yang berlaku umum.
Secara keseluruhan, fenomena pembentukan UU IKN ini adalah praktik autocratic legalism, yaitu penggunaan instrumen hukum secara formal untuk melegitimasi dan mengkonsentrasikan kekuasaan yang cenderung otoriter. Hukum tidak lagi menjadi alat kontrol (checks and balances), melainkan menjadi stempel bagi kepentingan kekuasaan. Putusan MK No. 25/PUU-XX/2022 yang menolak uji materi atas UU ini memang menegaskan bahwa kecepatan pembahasan bukan alasan formil untuk membatalkan undang-undang. Namun, secara politik hukum, UU yang lahir dari proses yang tidak deliberatif akan menghadapi resistensi dari masyarakat sipil, dan pada gilirannya memperlemah kepercayaan publik terhadap hukum dan institusi negara.
Nasib IKN di Tangan Pemerintahan Baru
Lapisan ketidakpastian terakhir dan mungkin yang paling krusial adalah soal keberlanjutan politik. Proyek IKN merupakan legacy utama dari Presiden Joko Widodo. Meskipun presiden terpilih, Prabowo Subianto, telah menyatakan komitmen untuk melanjutkannya, tingkat prioritas dan alokasi sumber daya di bawah pemerintahan baru masih menjadi tanda tanya besar. Tantangan ekonomi global, tekanan pada APBN untuk program populis lain, serta potensi perubahan visi pembangunan dapat memengaruhi arah kebijakan IKN ke depan. Tanpa komitmen politik dan fiskal yang kokoh dari rezim berikutnya, IKN berisiko menjadi proyek ambisius yang mangkrak di tengah jalan.
Kini, setelah hampir setahun berjalan, arah kebijakan pemerintahan baru terhadap IKN mulai terlihat lebih jelas. Di satu sisi, pemerintah menunjukkan komitmen dengan melanjutkan alokasi anggaran dan mendorong pemindahan ASN, menegaskan bahwa proyek ini tidak akan mangkrak. Di sisi lain, terlihat adanya kompromi dan penyesuaian. Narasi IKN perlahan digeser dari sekadar proyek legacy presiden sebelumnya, menjadi bagian dari strategi besar "Indonesia Emas 2045" dengan penekanan pada fungsinya sebagai "superhub" ekonomi. Penyesuaian target dan skala beberapa proyek infrastruktur non-esensial mulai dibicarakan sebagai bentuk pragmatisme fiskal. Ini menandakan bahwa meskipun proyek IKN terus berjalan, ia tidak lagi menjadi "anak emas" tunggal dan harus beradaptasi dengan realitas politik dan ekonomi baru. Ketidakpastian kini bergeser pada seberapa besar skala akhir IKN yang realistis untuk dicapai?
Mencari Kepastian di Tengah Realitas Baru
Ketidakpastian yang hari ini melingkupi IKN—mulai dari krisis kepemimpinan, keraguan finansial, kekaburan status hukum, hingga keberlanjutan politik—bukanlah persoalan teknis semata. Ia adalah buah dari sebuah proses kebijakan yang sejak awal mengabaikan prinsip partisipasi, transparansi, dan check and balances.
Untuk keluar dari belitan ketidakpastian ini, pemerintah tidak bisa lagi hanya berfokus pada pembangunan fisik yang dikebut. Diperlukan langkah-langkah untuk membangun kembali kepercayaan publik dan investor. Ini berarti membuka ruang dialog yang jujur mengenai kendala yang ada, menyelesaikan konflik agraria dengan adil, serta yang terpenting, mengevaluasi kembali struktur Otorita IKN agar sejalan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi. Tanpa itu, IKN hanya akan menjadi monumen megah yang berdiri di atas fondasi hukum dan sosial yang rapuh, sebuah simbol ketidakpastian bagi masa depan tata kelola negara Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
