Dari Hutan ke Dapur Warga: Menimbang Kebijakan Kehutanan dan Realitas Ekonomi Masyarakat
Kolom | 2025-07-03 14:37:36
Indonesia kerap dijuluki paru-paru dunia, sebuah predikat yang lahir dari kekayaan hutan tropis yang membentang megah dari Sumatra hingga Papua. Namun, di balik lanskap hijau yang memesona, hutan-hutan kita terus bergulat dengan ancaman serius: deforestasi. Ini bukan sekadar isu lingkungan dalam bentuk angka dan grafik, melainkan kenyataan pahit yang langsung berdampak pada dapur dan keberlangsungan hidup jutaan warga yang menggantungkan nafkah dari hutan. Pertanyaannya kini, bagaimana kebijakan kehutanan pemerintah dalam tiga tahun terakhir (2022–2024) bekerja? Apakah cukup tangguh menjaga rimba sekaligus menopang denyut ekonomi masyarakat?
Menelusuri Jejak Deforestasi: Antara Angka dan Realita
Deforestasi tidak terjadi begitu saja. Berbagai faktor menjadi pendorong utama: alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur berskala besar. Tak jarang, perambahan ilegal dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) turut menjadi aktor di balik penyusutan tutupan hutan. Wilayah seperti Kalimantan, Sumatra, dan Papua masih kerap menjadi “hotspot” deforestasi, mencerminkan kompleksitas persoalan di lapangan. Laju deforestasi Indonesia menunjukkan tren menurun dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2024 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), deforestasi netto pada periode 2021–2022 tercatat sebesar 104.032 hektare per tahun, angka terendah sejak 2017. Meski demikian, penurunan ini tidak serta-merta menjadi akhir dari ancaman terhadap keberlanjutan hutan Indonesia.
Deforestasi netto merupakan selisih antara luas hutan yang hilang dengan luas lahan yang mengalami reboisasi atau regenerasi hutan. Data menunjukkan bahwa pada 2017–2018, Indonesia kehilangan hutan sebesar 439.439 hektare secara netto. Angka ini sempat melonjak menjadi 462.459 hektare pada 2018–2019 sebelum mengalami penurunan drastis: 115.460 hektare (2019–2020), 120.706 hektare (2020–2021), dan 104.032 hektare (2021–2022).
Meski demikian, sejumlah catatan perlu disampaikan. Pertama, angka deforestasi netto dapat menyamarkan dinamika riil di lapangan, terutama bila tidak disandingkan dengan data deforestasi bruto atau total hilangnya hutan tanpa dikompensasi reboisasi. Hilangnya hutan alam di wilayah ekosistem penting seperti Papua atau Kalimantan berdampak besar terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis, meskipun secara statistik tampak kecil.
Kedua, porsi signifikan dari deforestasi tetap terjadi di kawasan hutan negara, khususnya hutan produksi yang dikonversi menjadi lahan perkebunan atau pertambangan. Selain itu, deforestasi di Areal Penggunaan Lain (APL), lahan di luar kawasan hutan menyumbang hampir separuh dari total kehilangan hutan pada beberapa tahun tertentu. Ini mencerminkan lemahnya pengawasan tata guna lahan di luar wilayah kehutanan formal.
Aspek sosial pun tidak bisa diabaikan. Bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, hutan adalah ruang hidup sekaligus sumber penghidupan. Penurunan deforestasi seharusnya tidak hanya dinilai dari sisi ekologis, tetapi juga harus sejalan dengan peningkatan akses dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Tanpa partisipasi aktif mereka, perlindungan hutan berisiko menjadi sekadar proyek administratif tanpa makna substantif.
Kebijakan Penjaga Rimba: Antara Komitmen dan Implementasi
Menghadapi tantangan ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menginisiasi berbagai kebijakan. Salah satu komitmen terbesar adalah target Forestry and Other Land Use Net Sink 2030 (FOLU Net Sink 2030), yakni ambisi Indonesia untuk mencapai kondisi di mana sektor kehutanan dan penggunaan lahan mampu menyerap emisi gas rumah kaca lebih banyak daripada yang dilepaskan.
Program Perhutanan Sosial menjadi ujung tombak upaya pemberdayaan masyarakat. Data KLHK menunjukkan pencapaian luas areal Perhutanan Sosial yang telah diberikan izin serta jumlah kepala keluarga atau kelompok masyarakat yang terlibat. Melalui skema ini, masyarakat diberi hak legal untuk mengelola hutan secara lestari, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan sekaligus mencegah perambahan.
Selain itu, kebijakan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, serta penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan, juga terus digencarkan. Namun, efektivitas kebijakan tersebut memerlukan pengawasan ketat dan sinergi antarlembaga termasuk dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Pertanian.
Ketika Hutan Menyapa Dapur Warga: Dampak Ekonomi di Lapangan
Deforestasi adalah pukulan telak bagi ekonomi masyarakat lokal dan adat yang hidup di sekitar hutan. Hilangnya hutan berarti hilangnya sumber daya hasil hutan bukan kayu seperti madu, rotan, buah-buahan, hingga air bersih. Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor, yang diperparah oleh deforestasi, turut menambah beban ekonomi warga. Sementara itu, konflik lahan antara masyarakat dan korporasi kerap menjadi cerminan nyata dari perebutan sumber daya yang semakin langka.
Namun, di tengah tantangan, Program Perhutanan Sosial hadir sebagai harapan. Kisah sukses sejumlah Kelompok Tani Hutan (KTH) menunjukkan bagaimana program ini mampu mengubah kondisi ekonomi masyarakat. Dengan pendampingan yang tepat, mereka mampu mengembangkan produk dari hasil hutan bukan kayu, ekowisata, dan agroforestri yang berkelanjutan. Laporan lapangan dan data KLHK mencatat peningkatan signifikan pendapatan masyarakat yang terlibat aktif dalam program ini. Namun demikian, tantangan tetap ada. Akses terhadap permodalan, jaringan pemasaran, dan kapasitas kelembagaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola Perhutanan Sosial.
Merajut Masa Depan: Sinergi dan Keberlanjutan
Perjalanan Indonesia dalam mengelola hutan sekaligus menyejahterakan rakyatnya masih panjang. Tantangan seperti penegakan hukum yang belum merata, konflik lahan yang berlarut, serta dampak perubahan iklim yang semakin nyata, menuntut respons terpadu. Meski begitu, prospek ke depan tetap terbuka.
Komitmen terhadap ekonomi hijau dan pengembangan pasar karbon bisa menjadi peluang baru bagi pelestarian hutan dan penguatan ekonomi masyarakat. Yang terpenting, pelibatan aktif masyarakat serta penguatan kapasitas mereka dalam mengelola dan menjaga hutan adalah kunci. Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi akan menentukan apakah hutan Indonesia dapat terus menjadi paru-paru dunia sekaligus menjadi lumbung kehidupan bagi dapur-dapur warga yang menggantungkan hidup padanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
