Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Mushlihatul Khilda

Siklus Polibios: Kenapa Politik Selalu Seperti Drama Tanpa Akhir?

Politik | 2025-06-27 14:24:39

Pernahkah kamu merasa politik selalu memutar dalam pola yang itu-itu saja? Tokoh boleh berganti, panggung bisa berubah, bahkan negara bisa berganti generasi, tapi kisahnya tetap serupa: kekuasaan, konflik, dan kejatuhan. Jika kamu merasa demikian, mungkin sudah saatnya mengenal pemikiran Polibios, seorang sejarawan Yunani Kuno yang merumuskan salah satu teori siklus politik paling menarik sepanjang sejarah: anacyclosis, atau siklus kekuasaan.

Dari Monarki Ideal ke Tirani yang Merajalela

Polibios menggambarkan bahwa kekuasaan dimulai dari bentuk yang ideal: monarki. Seorang pemimpin tunggal yang dianggap bijaksana dan bertindak demi kebaikan rakyatnya. Namun, seiring waktu, niat baik dapat menyimpang. Ketika pemimpin terlalu lama memegang kekuasaan dan tidak memiliki sistem kontrol yang seimbang, kekuasaan bisa beralih dari alat pengabdian menjadi alat penindasan. Di sinilah monarki berubah menjadi tirani.

Fenomena ini tidak hanya cerita masa lalu. Dalam berbagai rezim modern — baik di Asia, Amerika Latin, maupun Afrika — kita sering melihat tokoh yang naik dengan citra bersih dan “pro rakyat”, lalu perlahan menunjukkan sisi otoriternya. Menurut laporan Freedom House 2024, tren global menunjukkan kemunduran demokrasi dalam 17 tahun terakhir, dengan banyak negara menunjukkan peningkatan otoritarianisme bahkan dalam sistem yang tadinya demokratis.

Dari Demokrasi ke Okhlokrasi: Ketika Rakyat Terjebak Emosi

Setelah rakyat lelah dengan penindasan tirani, biasanya muncul reaksi balik berupa revolusi yang melahirkan demokrasi. Dalam sistem ini, rakyat memiliki suara. Mereka bebas memilih, menyuarakan pendapat, dan berpartisipasi aktif. Namun, seperti halnya sistem lain, demokrasi juga memiliki titik rapuh.

Polibios memperingatkan bahwa demokrasi yang tidak disertai literasi politik dan moralitas publik dapat berubah menjadi okhlokrasi, yaitu pemerintahan oleh massa yang dikuasai oleh emosi ketimbang rasio. Dalam situasi ini, pemimpin bisa terpilih bukan karena kapasitas atau integritas, melainkan karena popularitas sesaat, kampanye emosional, atau bahkan viralitas di media sosial.

Kasus ini nyata dalam politik era digital. Menurut riset Pew Research Center, sekitar 64% pemilih muda di Amerika Serikat mengaku dipengaruhi oleh konten media sosial dalam mengambil keputusan politik. Di Indonesia sendiri, laporan dari Kominfo mencatat bahwa hoaks politik meningkat tajam menjelang pemilu, menunjukkan betapa besar kekuatan narasi instan dalam membentuk opini publik.

Siklus Kembali Lagi: Figur Penyelamat dan Awal Baru

Yang paling mencengangkan dari teori Polibios adalah bahwa setelah demokrasi runtuh karena ketidakstabilan massa, rakyat kembali mencari “penyelamat”. Figur ini kemudian muncul sebagai pemimpin tunggal yang dianggap mampu mengembalikan ketertiban dan stabilitas. Dan siklus pun dimulai lagi dari awal — dari monarki ke tirani, ke aristokrasi, lalu demokrasi, dan kembali lagi.

Apakah ini terdengar seperti cerita politik Indonesia? Atau Amerika? Atau bahkan negara-negara Timur Tengah yang terus bergulat antara kekuasaan militer, gelombang demokrasi, dan kembali lagi ke pemusatan kekuasaan? Teori ini seolah tidak lekang waktu.

Peneliti politik Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) menunjukkan bahwa di banyak negara, termasuk demokrasi maju, kekuasaan sering kembali ke segelintir elite ekonomi-politik. Demokrasi, dalam praktiknya, justru bisa dikuasai oleh kekuatan modal dan oligarki, bukan lagi oleh rakyat secara utuh. Maka, krisis kepercayaan pun muncul, membuka jalan bagi munculnya pemimpin populis otoriter yang menawarkan “solusi cepat”.

Apakah Kita Bisa Memutus Siklus Ini?

Pertanyaannya sekarang, apakah siklus Polibios ini tak terhindarkan? Apakah kita hanya penonton dalam sandiwara politik yang tak pernah berakhir?

Beberapa ahli mengatakan tidak. Harvard Political Review mengusulkan bahwa pendidikan politik yang kuat, partisipasi masyarakat sipil yang aktif, dan sistem checks and balances yang ketat bisa menginterupsi siklus ini. Kuncinya adalah mendorong sistem politik yang tidak hanya demokratis dalam bentuk, tetapi juga substantif dalam praktik.

Di Indonesia, misalnya, munculnya platform transparansi publik seperti Lapor.go.id, KawalPemilu, dan gerakan jurnalisme independen menjadi angin segar di tengah krisis kepercayaan politik. Generasi muda juga mulai terlibat, bukan hanya sebagai pemilih pasif, tapi juga sebagai penggerak narasi — dari media sosial hingga ruang komunitas.

Namun, semua itu tetap harus disertai dengan kesadaran kritis. Tanpa kesadaran akan siklus sejarah ini, kita bisa saja kembali memilih tirani dengan wajah baru, karena kita lupa bahwa drama ini sudah pernah dimainkan sebelumnya.

Penutup: Belajar dari Sejarah, Bergerak ke Masa Depan

Teori Polibios mengajarkan bahwa politik tidak pernah statis. Ia bergerak dalam siklus, tapi bukan berarti tidak bisa diubah. Sejarah bukan untuk diulang, tapi untuk dipelajari. Politik bisa jadi drama, tapi kita bukan penonton pasif. Kita bisa memilih untuk menjadi penulis naskah baru — yang lebih adil, rasional, dan beretika.

Jadi, kalau kamu merasa politik hari ini seperti sinetron tak berujung, ingatlah: naskahnya bisa berubah, selama aktornya sadar bahwa panggung ini adalah milik bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image