Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dina Sutiana

Sekolah Negeri atau Swasta? Siapa Penyelamat Pendidikan Islam Hari Ini?

Pendidikan dan Literasi | 2025-06-27 11:07:32

Setiap tahun ajaran baru, para orang tua Muslim kembali dihadapkan pada pilihan penting: akankah mereka memasukkan anak ke sekolah Islam negeri atau swasta? Di balik pertanyaan sederhana ini tersimpan problem struktural. Mengapa sekolah negeri, yang seharusnya menjadi pilar utama pendidikan Islam nasional, justru kerap tertinggal dibanding sekolah swasta—baik dalam kualitas lulusan, metode pengajaran, maupun penguatan nilai religius?

Faktanya, saat ini sekolah Islam swasta, terutama yang modern, terpadu, atau berbasis boarding, telah menjadi rujukan utama, bukan sekadar alternatif. Banyak orang tua rela membayar belasan hingga puluhan juta rupiah per tahun demi pendidikan anak mereka. Dengan branding unggul, fasilitas modern, integrasi kurikulum nasional-diniyah, hingga program tahfiz berbasis teknologi, sekolah-sekolah ini menawarkan mutu yang sulit disaingi sekolah negeri.

Sementara itu, sekolah Islam negeri di bawah Kementerian Agama sering terkendala inovasi, terhambat birokrasi, dan minim dalam penguatan visi spiritual. Padahal, idealnya, pendidikan Islam negeri menjadi pilar pemerataan akses dan kualitas di seluruh lapisan masyarakat.

Ketika Swasta Menjadi Primadona Umat Kelas Menengah

Sekolah swasta Islam semakin berkembang pesat, mencerminkan tingginya permintaan dari masyarakat terhadap pendidikan berbasis agama. Menurut data dari tempo.co, di Kota Bekasi, dari 24 sekolah dasar swasta, 11 di antaranya adalah sekolah Islam, menunjukkan proporsi yang signifikan. Selain itu, sekolah-sekolah ini memiliki fleksibilitas dalam manajemen, memungkinkan mereka merekrut tenaga pengajar terbaik tanpa terkendala regulasi ASN, serta mengembangkan kurikulum dan budaya yang lebih inovatif. Dengan demikian, sekolah swasta Islam kini menjadi pilihan utama bagi banyak orang tua di kota besar, mencerminkan tingginya permintaan terhadap pendidikan agama berkualitas.

Namun, meskipun sekolah-sekolah ini berkembang pesat, keberadaan mereka di sektor swasta menimbulkan tantangan dalam hal aksesibilitas bagi masyarakat yang kurang mampu. Bagi banyak keluarga berpenghasilan rendah, biaya pendidikan yang mencapai jutaan rupiah per bulan dan uang pangkal mencapai puluhan juta jelas menjadi beban yang sulit dijangkau. Ketergantungan pada sekolah swasta untuk pendidikan Islam berkualitas berpotensi memperburuk kesenjangan akses antara kelompok kaya dan miskin, sehingga pendidikan Islam yang berkualitas justru hanya dapat diakses oleh segelintir kalangan.

Kesenjangan Sistemik: Bukan Soal Swasta vs Negeri Saja

Problem yang melilit pendidikan Islam negeri sejatinya bukan sekadar kalah bersaing dengan swasta, melainkan bersumber dari persoalan yang lebih dalam dan sistemik. Manajemen yang kaku, birokrasi yang berbelit, lambannya rekrutmen guru, hingga minimnya pelatihan kepemimpinan menjadikan banyak madrasah negeri berjalan tanpa visi yang kuat. Kurikulum yang kurang responsif terhadap perkembangan zaman kian memperparah stagnasi. Di balik deretan laporan keberhasilan serapan anggaran atau proyek digitalisasi yang diklaim sebagai capaian, kualitas sesungguhnya—dalam hal kreativitas siswa, literasi religius yang mendalam, serta daya saing di tengah masyarakat global—tetap jauh dari harapan.

Maka, apa makna semua angka itu—dana BOS, sertifikasi guru, bantuan infrastruktur—jika tidak dibarengi dengan reformasi manajemen yang visioner dan transformatif? Inilah ironi yang terjadi: negara tampak hadir dalam angka dan laporan administratif, tetapi absen dalam kualitas yang nyata di ruang-ruang kelas. Tanpa keberanian untuk membongkar akar persoalan dan merumuskan pembaruan yang berani, pendidikan Islam negeri akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi yang justru memperlebar jurang ketimpangan di tengah umat.

Swasta Disambut, Negeri Dibiarkan

Ironisnya, di tengah pesatnya pertumbuhan sekolah Islam swasta—yang didorong oleh antusiasme kelas menengah—negara justru tampak abai dalam menjaga prinsip keadilan sosial dan inklusivitas. Belum ada regulasi yang tegas yang mewajibkan sekolah swasta membuka akses bagi kalangan miskin. Sebaliknya, banyak di antaranya justru diuntungkan lewat insentif guru, bantuan sarana, dan akreditasi yang longgar, tanpa prasyarat keterbukaan akses.

Sementara itu, sekolah-sekolah Islam negeri terus berjalan lamban, dibebani birokrasi dan ketidakjelasan arah. Pertanyaan mendasarnya: jika negeri belum dibenahi, dan swasta makin eksklusif, kepada siapa anak-anak dari keluarga dhuafa menggantungkan harapan pendidikan mereka?

Sayangnya, negara tampak kehilangan visi strategis. Pendidikan Islam lebih diperlakukan sebagai beban administratif ketimbang alat transformasi sosial. Jika pola ini terus berlanjut, kesenjangan akan makin lebar: lahir elit baru di sekolah swasta, sementara yang miskin kian tersingkir. Inilah saatnya negara hadir, mereformulasi kebijakan, agar pendidikan Islam benar-benar menjadi ruang keadilan dan kemajuan bagi seluruh umat.

Arah Baru yang Dibutuhkan

Sudah saatnya dilakukan reorientasi kebijakan pendidikan Islam di Indonesia. Yang dibutuhkan bukan sekadar proyek jangka pendek atau pemenuhan target administratif, melainkan langkah-langkah strategis yang berpihak pada keadilan sosial dan mendorong kemajuan umat. Langkah pertama yang penting adalah melakukan audit menyeluruh terhadap manajemen madrasah dan sekolah Islam negeri. Audit ini tidak cukup hanya pada aspek administratif, tetapi harus mencakup kualitas kepemimpinan, kultur kelembagaan, hingga partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan. Dengan begitu, perbaikan yang dilakukan dapat bersifat holistik, bukan sekadar tambal sulam.

Selain itu, perlu didorong desentralisasi pengelolaan madrasah dengan melibatkan secara aktif komunitas, yayasan Islam, dan tokoh-tokoh pendidikan lokal. Dengan membuka ruang inovasi di tingkat akar rumput, madrasah negeri bisa berkembang lebih dinamis sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta. Di sisi lain, pemerintah juga perlu merumuskan regulasi yang lebih ketat bagi sekolah-sekolah Islam swasta. Jangan sampai lembaga-lembaga ini semata-mata menjadi bisnis eksklusif yang menjual label keislaman, sementara mengabaikan prinsip keadilan sosial dan misi pendidikan yang sesungguhnya.

Lebih jauh, negara perlu membangun visi nasional pendidikan Islam yang adil, progresif, dan berorientasi ke masa depan. Diperlukan sebuah roadmap yang mampu mengintegrasikan kekuatan sekolah negeri dan swasta dalam satu tujuan besar: mencetak generasi Islam yang berilmu, berakhlak mulia, dan siap menjadi pemimpin yang membawa perubahan positif di zamannya.

Penutup: Siapa Penyelamat Pendidikan Islam?

Hari ini, pendidikan Islam negeri dan swasta berdiri di dua kutub yang kontras. Sekolah swasta melaju pesat dengan mutu yang terjaga dan strategi yang cerdas. Sementara itu, sekolah negeri berjalan tertatih, dibebani birokrasi yang kaku dan arah kebijakan yang tidak jelas. Namun demikian, keduanya sejatinya bisa menjadi penyelamat masa depan pendidikan Islam—asal sistem diperbaiki, dan visi nasionalnya diperjelas.

Yang jauh lebih berbahaya justru jika negara terus-menerus menggantungkan harapan pada sektor swasta, tanpa disertai reformasi yang mendalam di tubuh pendidikan negeri. Jika itu dibiarkan, pendidikan Islam perlahan akan kehilangan watak keadilannya, menjadi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Dan ketika itu terjadi, yang paling dikorbankan adalah anak-anak umat dari keluarga dhuafa yang tak punya daya untuk mengakses pendidikan berkualitas.

Maka, pertanyaannya bukan lagi: “mana yang lebih unggul—negeri atau swasta?”, melainkan: “apakah negara sungguh hadir memastikan bahwa pendidikan Islam—apa pun bentuknya—menjadi alat peradaban yang adil dan inklusif, bukan sekadar label yang diperjualbelikan?” (Dina Sutiana -Mahasiswi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam / Aktivis Literasi Islam)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image