Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Haikal Luki Alfian

Riba Tersembunyi di Era Digital: Menelisik Potensi Praktik Riba dalam Jual Beli Online

Bisnis | 2025-06-26 15:47:57
Ilustrasi: mahasiswa sedang ingin membeli barang melalui e-commerce

Kehidupan mahawiswa sekarang tidak akan lepas dari kegiatan jual beli online, baik dalam keperluan kampus atau pribadi. Fenomena jual beli online berkembang pesat di era digital. Alasan utama masyarakat beralih ke platform e-commerce tidak terlepas dari kemudahan transaksi, kecepatan akses, dan fleksibilitas pembayaran menjadi. Namun, di balik kemajuan teknologi tersebut, praktik jual beli online tidak bisa kita katakan lepas dari masalah. Salah satu isu yang jarang disorot namun sangat krusial adalah potensi terjadinya riba dalam transaksi jual beli online.

Agama Islam sangat anti dengan Riba dan praktek yang mengandung unsur riba. Walaupun pada kenyataannya riba bisa muncul dalam berbagai bentuk yang terselubung, hal ini yang sangat diwanti-wanti oleh ajaran Islam. Dalam dunia digital, ketidaksadaran masyarakat terhadap bentuk-bentuk riba yang modern sangat bisa mengakibatkan kelalaian dalam menjaga kehalalan harta.

Pada dasarnya, jual beli online adalah aktivitas pertukaran barang dan jasa melalui platform digital. Praktek jual beli online ini bisa dikategorikan dengan jual beli yang sah, tentunya dengan alternatif akad salam atau istisnha’. Keterangan yang dilampirkan melalui platform digital, sekarang sudah cukup mewakili untuk memberikan keterangan antar pembeli dan penjual. Pembayarannya juga macam-macam, biasanya pembyaran yang dilakukan dengan menggunakan media pembayaran non-tunai seperti transfer bank, kartu kredit, hingga aplikasi paylater.

Meskipun dalam kerangka syariah jual beli diperbolehkan, ada bentuk-bentuk transaksi online yang masih dipertanyakan keabsahannya. Beberapa contoh praktik jual beli online yang bermasalah secara syariah antara lain:

 

  • Penggunaan layanan paylater (beli sekarang, bayar nanti) yang disertai denda keterlambatan.
  • Transaksi cicilan berbunga yang dilakukan tanpa adanya akad syariah.
  • Ketidakjelasan objek transaksi atau ketidakhadiran barang pada saat akad (bai' al-ma'dum).
  • Dropshipping yang tidak memenuhi prinsip qabd (penguasaan barang sebelum dijual kembali).

Hal-hal tersebut dapat menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip jual beli dalam Islam, yang mengutamakan keadilan, kejelasan akad, dan bebas dari unsur gharar (ketidakjelasan) serta riba (tambahan yang tidak sah).

Poin paling krusial adalah sistem pembayaran yang menawarkan penundaan pembayaran atau cicilan dengan bunga. Contohnya layanan paylater atau kartu kredit di berbagai platform e-commerce. Ketika seseorang membeli barang dengan pembayaran ditunda dan dikenakan bunga, maka di sinilah terjadi riba qardh, yakni tambahan atas pinjaman yang diberikan karena waktu.

Islam sangat lugas dalam pelarangan riba, tambahan atas pinjaman karena waktu adalah riba yang jelas keharamannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ ۝١٣٠

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Hadis juga menegaskan larangan riba secara keras. Larangannya juga mencakup pada seluruh aspek yang terlibat dalam praktek riba. Melalui hadisnya rasulullah SAW bersabda:

“لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).

Imam wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Islam wa Adillatuhu menerangkan bahwa riba dapat terjadi ketika ada pertukaran harta yang tidak setara dalam nilai dan waktu. Perbedaan nilai merupakan titik beratnya saat membahas riba. Karena pada proses pergeseran nilai dan waktu itu sangat rentan untuk lahirnya riba. Hal ini akan begitu jelas dalam praktek penundaan pembayaran dengan syarat tambahan adalah bentuk riba nasiah yang diharamkan. Tetapi mungkin akan berbeda dengan akad yang sudah

Layanan paylater pada dasarnya adalah bentuk pembiayaan konsumtif. Namun dalam praktiknya, pengguna seringkali tidak sadar bahwa mereka sedang berhutang, bukan menunda pembayaran dalam akad jual beli. Saat jatuh tempo, dengan berbagai skemanya pengguna dikenai denda atau bunga. Inilah yang menyalahi prinsip qardh hasan, yaitu pinjaman tanpa bunga dalam Islam.

Sebagai contoh, ShopeePay Later, GoPayLater, Akulaku, dan Kredivo menawarkan skema pembayaran yang mirip pinjaman berbunga. Jika pengguna tidak membayar tepat waktu, maka bunga dan denda akan diberlakukan. Ini sangat dekat dengan praktik riba modern.

Riba tidak hanya haram secara hukum syariat, tetapi juga membawa kerusakan secara sosial dan ekonomi. Ketika riba merajalela, ketimpangan ekonomi meningkat. Masyarakat kelas bawah yang terbiasa berhutang dengan bunga akan terus terjerat dalam siklus kemiskinan.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Riba menimbulkan kerakusan, membunuh solidaritas, dan menghancurkan keberkahan harta. Bank Indonesia bahkan mencatat bahwa tingkat utang konsumtif masyarakat Indonesia meningkat drastis setelah kehadiran pinjaman dan layanan paylater digital. Hal ini memperkuat argumen bahwa sistem ekonomi berbasis riba menjerumuskan masyarakat dalam jebakan finansial jangka panjang.

Mahasiswa muslim sangat berperan sebagai agen perubahan harus memiliki sikap kritis terhadap praktik ekonomi digital. Kita tidak bisa menelan mentah-mentah perkembangan teknologi tanpa menyaringnya dari perspektif syariah. Beberapa solusi yang bisa diupayakan antara lain:

 

  1. Edukasi literasi keuangan syariah secara masif.
  2. Mendorong penggunaan platform e-commerce berbasis syariah.
  3. Memilih pembayaran tunai atau transfer langsung tanpa melibatkan pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari bunga.
  4. Menuntut kejelasan akad pada semua bentuk transaksi online.

Sebagaimana disebutkan dalam buku Risalah Fiqh Muamalah oleh Dr. Erwandi Tarmizi: Seorang muslim tidak cukup dengan niat baik dalam bermuamalah. Ia juga wajib belajar hukum-hukum syariat agar tidak terjatuh dalam dosa riba yang sangat besar dosanya di sisi Allah.

Jual beli online adalah keniscayaan zaman, namun bukan berarti tanpa risiko. Dalam praktiknya, potensi riba sangat besar ketika sistem pembayarannya melibatkan bunga, denda keterlambatan, atau transaksi yang tidak jelas akadnya. Islam sebagai agama yang menjaga keadilan dan keberkahan menegaskan bahwa riba adalah musuh utama dalam sistem ekonomi.

Sebagai mahasiswa muslim, sudah seharusnya kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pengawal nilai-nilai syariah dalam setiap aspek kehidupan. Kita hrus peka terhadap celah yang mungkin saja menyesatkan dan menyusahkan kita kelak. Jangan sampai kenyamanan digital membuat kita lengah terhadap dosa besar yang tersembunyi di balik layar ponsel kita, apalagi riba.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image