Menanti Ketegasan Kebijakan Zero ODOL di Jalan Raya
Kebijakan | 2025-06-25 13:43:40
Oleh: Prof. Rossanto Dwi Handoyo PhD Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Kerusakan jalan nasional yang terus berulang, meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, serta ketimpangan moda transportasi bukanlah semata-mata persoalan teknis. Ketiganya saling terkait dan berpangkal pada satu isu krusial yang telah berlangsung bertahun-tahun: praktik truk Over Dimension dan Overload (ODOL). Sayangnya, meskipun pemerintah telah merancang dan mengumumkan kebijakan Zero ODOL sejak beberapa tahun lalu, pelaksanaannya di lapangan terus tertunda. Alasan yang kerap dikedepankan adalah pertimbangan kepentingan logistik dan industri. Padahal, di balik keberlangsungan praktik ini, terdapat biaya ekonomi dan sosial yang sangat besar, baik yang kasatmata maupun yang tidak tercatat dalam neraca negara.
Kerusakan Infrastruktur dan Beban Fiskal
Praktik ODOL secara langsung mempercepat kerusakan infrastruktur. Umur jalan yang seharusnya mampu bertahan hingga satu dekade lebih, kini sering rusak hanya dalam hitungan bulan. Truk yang kelebihan muatan memberikan tekanan berlebih pada aspal dan konstruksi jalan, belum lagi potensi kerusakan jembatan, fasilitas penunjang, hingga meningkatnya emisi karbon akibat kendaraan yang tidak efisien. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada infrastruktur fisik, tetapi juga menggerus anggaran negara. Pemerintah dipaksa mengalihkan dana publik, yang seharusnya digunakan untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan demi menambal kerusakan jalan yang seharusnya bisa dicegah dengan penegakan hukum yang konsisten.
Masalah ODOL bukan hanya perkara kelebihan muatan. Ia menyentuh dimensi keadilan dalam sistem logistik nasional. Moda transportasi lain seperti kereta barang dan kapal laut harus tunduk pada aturan ketat, kapasitas minimum, dan biaya kontainerisasi. Sebaliknya, truk ODOL justru seringkali mendapat toleransi, bahkan lolos dari pengawasan karena lemahnya penegakan aturan di lapangan. Situasi ini menciptakan ketimpangan yang semakin memperlebar disparitas antar moda transportasi. Padahal, bila sistem logistik nasional dirancang dengan adil dan terintegrasi, Indonesia dapat menikmati efisiensi distribusi barang yang lebih besar sekaligus mengurangi ketergantungan pada moda darat yang paling rentan terhadap overcapacity.
Kerugian Makroekonomi dan Sosial
Secara ekonomi, truk ODOL memang memberikan keuntungan jangka pendek bagi pelaku usaha karena satu kendaraan dapat mengangkut lebih banyak barang. Namun, jika dihitung secara makroekonomi, kerugian yang ditanggung negara jauh lebih besar. Data Kementerian PUPR menunjukkan bahwa kerusakan jalan akibat ODOL menimbulkan kerugian hingga Rp43 triliun per tahun. Jumlah ini belum termasuk biaya sosial akibat meningkatnya kecelakaan lalu lintas, polusi udara, dan penurunan kualitas hidup masyarakat sekitar jalan raya. Keuntungan yang diperoleh segelintir pelaku logistik tidak sebanding dengan beban yang harus ditanggung oleh masyarakat
Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk ODOL juga bukan perkara sepele. Banyak kasus menunjukkan bahwa kendaraan kelebihan muatan menjadi penyebab utama kecelakaan fatal. Beban berlebih mengurangi kemampuan kendaraan dalam pengereman dan manuver, memperbesar risiko kecelakaan yang tak hanya merenggut korban jiwa dari pengemudi truk itu sendiri, tetapi juga pengguna jalan lainnya. Dalam jangka panjang, ODOL bukan hanya masalah efisiensi logistik, tetapi juga menyangkut keselamatan publik.
Regulasi sebenarnya telah tersedia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara jelas mengatur sanksi pidana dan administratif terhadap kendaraan yang melebihi dimensi dan beban. Namun, implementasi aturan ini masih jauh dari ideal. Jembatan timbang seringkali tak berfungsi sebagaimana mestinya, pengawasan di lapangan lemah, dan praktik pungutan liar kerap menjadi alasan mengapa kendaraan ODOL tetap bisa beroperasi dengan leluasa.
Solusi dan Arah Kebijakan
Kebijakan Zero ODOL seharusnya tidak hanya berhenti pada wacana atau imbauan moral. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret dengan membentuk satuan tugas khusus lintas kementerian yang bertugas mengawasi dan menindak praktik ODOL secara menyeluruh. Pendekatan pengawasan tidak cukup dilakukan secara top-down, tetapi juga harus melibatkan partisipasi masyarakat. Mekanisme pelaporan publik berbasis teknologi atau whistleblower dapat menjadi alat pengawasan tambahan yang efektif. Jika masyarakat bisa melaporkan secara langsung keberadaan truk ODOL yang melintas di daerahnya, maka tekanan terhadap aparat penegak hukum akan meningkat.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu menghitung ulang tarif retribusi uji KIR dan biaya angkut yang dibebankan kepada kendaraan logistik. Perhitungan ini harus disesuaikan dengan dampak ekonomi dari kerusakan jalan akibat ODOL. Idealnya, setiap rupiah yang masuk dari retribusi dan uji KIR bisa menutup biaya pemeliharaan jalan akibat beban kendaraan tersebut. Jika tidak, maka pemerintah hanya akan terus menambal kerugian tanpa solusi jangka panjang.
Kebijakan Zero ODOL bukan hanya soal aturan tertulis, melainkan komitmen terhadap prinsip keadilan, efisiensi, dan keselamatan. Negara harus hadir melindungi masyarakat dari praktik logistik yang eksploitatif. Jalan raya adalah barang publik, bukan milik segelintir pengusaha. Masyarakat berhak menikmati infrastruktur yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Momentum untuk bersikap tegas sebenarnya sudah ada. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian politik untuk mengakhiri praktik pembiaran yang selama ini terjadi. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin melindungi masyarakat dan memperbaiki sistem logistik nasional, maka Zero ODOL harus ditegakkan bukan sebagai simbol, melainkan sebagai tindakan nyata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
