Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadia Zulmi

Jika Perang Dunia III Terjadi, Apakah Indonesia Aman?

Info Terkini | 2025-06-24 11:28:32

Di era digital yang serba cepat, informasi tentang potensi pecahnya Perang Dunia III makin sering melintas di layar ponsel kita. Ketegangan geopolitik antara negara-negara besar kembali muncul ke permukaan, termasuk konflik yang baru-baru ini memanas antara Iran dan Israel dan campur tangan Amerika Serikat. Pernyataan keras dari tokoh-tokoh besar dunia, termasuk Presiden Donald Trump, menambah bahan bakar dalam bara hubungan internasional yang sudah lama panas. Dunia seperti sedang memutar ulang sejarah tapi dengan wajah yang jauh lebih kompleks dan ancaman yang lebih tersembunyi. Sebagai warga negara Indonesia, wajar jika muncul pertanyaan: jika dunia benar-benar meletus dalam konflik besar, apakah kita akan aman?

Indonesia bukan bagian dari aliansi militer global seperti NATO atau Pakta Pertahanan lainnya. Politik luar negeri kita sejak awal berdiri tegak di atas prinsip “bebas aktif” tidak memihak, tapi tetap peduli terhadap perdamaian dunia. Posisi ini memberi ruang bagi diplomasi, sekaligus menjadi “payung” yang cukup kuat untuk meredam tekanan dari berbagai arah. Namun, dunia hari ini tak lagi sederhana.

Perang modern tak melulu soal tank dan pesawat tempur. Ia bisa muncul dalam bentuk yang tak terlihat: perang siber, gangguan logistik, krisis pangan, hingga konflik informasi. Di sinilah tantangan baru muncul. Indonesia, yang terletak strategis di jalur perdagangan global dan berbatasan langsung dengan kawasan rawan konflik seperti Laut Cina Selatan, tidak sepenuhnya lepas dari risiko. Apalagi jika ketegangan melibatkan negara-negara besar yang memiliki kepentingan di kawasan Asia Pasifik.

Bayangkan peta Asia Pasifik: di utara ada Laut Cina Selatan, yang jadi titik ketegangan antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara ASEAN. Di barat, Selat Malaka menjadi salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, tempat 40% perdagangan global melintas. Di dalam negeri, wilayah-wilayah seperti Natuna, Papua, dan perairan Indonesia Timur semakin penting secara militer maupun ekonomi. Posisi ini menguntungkan, tapi sekaligus membuat kita rawan jika ketegangan memuncak.

Jika Perang Dunia III benar-benar terjadi, Indonesia mungkin tidak terkena langsung oleh bom atau rudal. Namun, dampak ekonominya bisa menghantam sangat keras. Seperti saat pandemi COVID-19 dulu, kita telah belajar bahwa terganggunya rantai pasok global bisa menyebabkan kelangkaan bahan pokok, melonjaknya harga energi, dan tekanan besar pada nilai tukar rupiah. Indonesia masih sangat tergantung pada impor bahan pangan seperti gandum dan kedelai, serta energi dalam bentuk BBM. Jika negara pengekspor utama terganggu karena perang, maka harga-harga bisa melonjak dalam waktu singkat. Situasi ini bisa menyebabkan inflasi tinggi dan memperlemah daya beli masyarakat.

Selain itu, sektor ekspor seperti tekstil, elektronik, dan hasil bumi juga akan terdampak jika permintaan dari luar negeri menurun. Negara-negara yang dilanda konflik tentu akan mengalihkan fokus anggaran mereka dari konsumsi dan impor ke pertahanan dan stabilisasi dalam negeri. Dampaknya? Ribuan buruh bisa terancam kehilangan pekerjaan. Sektor pariwisata, yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi daerah, juga akan lesu jika suasana global penuh ketegangan. Wisatawan mancanegara akan enggan bepergian jauh, apalagi ke kawasan yang dianggap dekat dengan titik konflik. Padahal, jutaan warga Indonesia menggantungkan nafkahnya pada ekosistem ini.

Pasar saham, investasi asing, dan stabilitas perbankan juga rentan terguncang jika ketidakpastian meningkat. Ketika investor menarik modal mereka dari negara berkembang, Indonesia bisa menghadapi tekanan besar di sektor keuangan. Nilai tukar rupiah bisa tertekan, dan cadangan devisa kita diuji ketahanannya.

Di luar sisi ekonomi, dampak sosial juga tak bisa diremehkan. Ketika harga kebutuhan pokok naik dan pekerjaan menyusut, masyarakat kelas menengah ke bawah akan jadi kelompok paling terdampak. Kesenjangan sosial bisa melebar, dan potensi keresahan publik meningkat jika tidak ada komunikasi yang jelas dan tindakan yang tegas dari pemerintah. Belum lagi potensi serangan siber dan disinformasi. Dalam era informasi seperti sekarang, konflik global sering kali ikut memanaskan suhu politik domestik melalui hoaks, adu domba digital, dan kampanye opini.

Jika masyarakat tidak memiliki literasi digital yang cukup, bukan tidak mungkin kita akan terpecah oleh narasi-narasi yang sebenarnya dibuat untuk melemahkan daya tahan bangsa.

Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia dikenal tangguh dalam menghadapi krisis. Namun daya tahan sosial itu harus dirawat, bukan sekadar diwarisi. Keluarga, komunitas, tokoh agama, dan media lokal memiliki peran penting untuk menjaga narasi kebangsaan agar tetap kuat dalam situasi penuh tekanan. Kita semua punya peran menjaga agar keresahan tidak berubah menjadi perpecahan.

Bukan berarti kita tak punya kekuatan. Indonesia memiliki modal sosial yang besar: gotong royong, semangat kolektif, dan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa menjadi fondasi ketahanan nasional. Tapi kita tetap perlu membenahi sektor-sektor strategis: ketahanan pangan, energi, pertahanan siber, serta literasi informasi publik. Semua ini bukan semata urusan pemerintah tapi juga panggilan bersama untuk memperkuat daya tahan bangsa.

Untuk itu, ada beberapa hal konkret yang bisa dilakukan: mendorong swasembada pangan dan energi, memperkuat pertahanan digital, membangun cadangan logistik nasional, serta menguatkan diplomasi internasional agar Indonesia tetap dihormati sebagai negara damai yang aktif menjembatani dialog global.

Pertanyaan soal “aman atau tidak” tak punya jawaban tunggal. Dunia bisa berubah dalam semalam, tapi kekuatan suatu bangsa dibentuk jauh hari sebelumnya. Kita tidak bisa memilih apa yang terjadi di luar sana, tapi kita bisa memilih untuk lebih siap di dalam negeri mulai dari skala rumah tangga hingga kebijakan nasional.

Indonesia tidak perlu menjadi negara adidaya untuk bertahan. Cukup menjadi bangsa yang sadar akan potensi dan tantangannya sendiri. Karena di tengah dunia yang semakin tidak pasti, kesiapsiagaan, persatuan, dan ketahanan sosial adalah “senjata” paling ampuh yang bisa kita miliki.

“Bangsa yang besar bukan yang tak pernah diuji, tapi yang tetap berdiri setelah badai melanda.”

By: Nadia Zulmi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image