Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Rifky Ali

Ukuran Kemiskinan Syariah dan Konvensional

Ekonomi Syariah | 2025-06-24 01:24:35
https://share.google/A3ucEY2W8Mk6QKiYc

Dalam paradigma konvensional, kemiskinan umumnya diukur berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Ukuran ini biasanya bersifat kuantitatif, seperti garis kemiskinan yang ditentukan oleh pendapatan minimum. Model ini juga melihat kemiskinan sebagai fenomena ekonomi semata, sehingga solusinya banyak berkutat pada program bantuan langsung tunai, pembangunan infrastruktur, dan kebijakan fiskal yang bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Namun, dalam perspektif Islam, khususnya yang berkembang dalam pemikiran Muslim, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai kekurangan materi atau pendapatan. Kemiskinan juga dianggap sebagai persoalan struktural dan spiritual. Oleh karena itu, pendekatannya tidak hanya bersifat finansial, melainkan juga moral dan sosial. Ukuran kemiskinan dalam Islam tidak hanya soal angka pendapatan, tetapi juga menyangkut distribusi kekayaan, keterlibatan dalam ekonomi produktif, dan martabat manusia sebagai makhluk yang harus dipenuhi hak-haknya.

Konsep ini tercermin dalam sistem zakat, infaq, sedekah, dan wakaf yang tidak hanya bertujuan membantu konsumsi sesaat, tapi juga sebagai sistem distribusi kekayaan yang adil dan berkelanjutan. Dalam praktik kelembagaan, zakat dikelola bukan hanya untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga untuk modal usaha produktif bagi para mustahik, seperti pedagang kecil atau pengemudi becak. Ini mencerminkan pendekatan fiqih sosial yang dikembangkan oleh para pelaku ekonomi islam.

Ekonomi syariah yang telah dikembangkan juga melihat bahwa akar kemiskinan bisa berasal dari sistem ekonomi kapitalistik yang cenderung tidak adil. Oleh karena itu, pendekatan Islam menawarkan solusi seperti sistem bagi hasil (mudharabah), larangan riba, dan penguatan koperasi berbasis komunitas. Inisiatif seperti koperasi pesantren, dan BMT (Baitul Maal wat Tamwil) menjadi contoh bagaimana ekonomi syariah mengimplementasikan konsep pemberdayaan ekonomi umat secara konkret.

Di beberapa studi, disebutkan bahwa pendekatan ekonomi Islam lebih berpotensi mengentaskan kemiskinan karena mengandung nilai-nilai moral dan sosial yang tidak terdapat dalam ekonomi konvensional. Hal ini diperkuat dengan pendekatan kelembagaan, di mana distribusi kekayaan tidak hanya bergantung pada pasar bebas, tetapi juga pada tanggung jawab sosial masyarakat melalui lembaga zakat, wakaf, dan koperasi.

Bahkan dalam pendekatan sosiologis, pengelolaan kemiskinan oleh pelaku ekonomi syariah melalui lembaga filantropi Islam menggunakan teori integrasi sosial ala Emile Durkheim dan fungsionalisme Talcott Parsons. Hal ini menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan dalam Islam bukan hanya soal distribusi ekonomi, tapi juga upaya menciptakan solidaritas sosial dan kohesi masyarakat.

Maka, perbedaan mendasar antara pendekatan konvensional dan Islam dalam mengukur dan mengatasi kemiskinan bukan hanya terletak pada instrumen kebijakan, tetapi pada cara pandang terhadap manusia dan kesejahteraan. Konvensional cenderung bersifat teknokratis dan angka, sedangkan Islam menyatukan aspek spiritual, sosial, dan ekonomi dalam satu kesatuan sistem yang utuh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image