Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Edo Segara Gustanto

Konsep 'Cukup' dalam Ekonomi Islam

Ekonomi Syariah | Sunday, 05 Nov 2023, 10:31 WIB
Sumber: Republika.co.id

Dalam sebuah diskusi di kelas program doktoral, ada pertanyaan yang cukup menarik dari salah satu peserta kelas kepada penulis. Bagaimana sebenarnya konsep cukup tersebut? Bagaimana seseorang bisa dikatakan cukup (kaya)? Pertanyaan ini muncul karena penulis menyampaikan dalam sebuah presentasi, bahwa konsep dalam Islam ketika kita sudah cukup (kaya) maka tugas orang tersebut seperti di perintahkan dalam Quran adalah menunaikan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS).

Mengapa perlu menunaikan ZIS, agar kemampuan belanja si aghniya tetap terjaga. Dengan begitu maka ekonomi tetap tumbuh karena ada konsumsi. Ekonomi bisa tumbuh, jika masyarakat bisa belanja. Sesederhana itu konsep pertumbuhan ekonomi yang saya pahami.

Perintah agar orang yang kaya berzakat ada di dalam al Quran QS At-Taubah ayat 103: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka."

Hanya saja pertanyaan rekan saya benar, seseorang dikatakan cukup itu yang bagaimana? Karena rasa cukup seseorang pasti berbeda-beda. Ada yang sudah punya rumah, kendaraan, pakaian cukup akan tetapi merasa tidak cukup. Sebenarnya bagaimana cukup itu dalam pandangan Islam? Bicara tentang cukup, maka sebenarnya kita berbicara kebutuhan (need), bukan keinginan (want).

Teori Kebutuhan dalam Islam

Menurut Abraham Maslow, kebutuhan fisiologis adalah tingkat pertama dan paling fundamental dari kebutuhan manusia. Ini mencakup elemen-elemen penting seperti makanan, air, udara, tempat tinggal, pakaian, serta aspek-aspek biologis seperti seks, dan semua kebutuhan biogenik yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.

Sementara menurut Imam al-Ghazali, kebutuhan adalah dorongan manusia untuk memperoleh apa yang diperlukan agar dapat mempertahankan hidup mereka dan menjalankan peran mereka sebagai hamba Allah dengan beribadah secara optimal.

Dalam pandangan Islam, konsep kebutuhan dipengaruhi oleh ide maslahah. Maslahah merujuk pada manfaat yang diberikan, baik dalam dunia ini maupun di akhirat. Konsep ini dibagi oleh Syatibi menjadi tiga kategori kebutuhan, yaitu kebutuhan dasar/utama (dharuriyah), kebutuhan pelengkap/sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan perbaikan/tersier (tahsiniyah).

Maslahah Konsumsi dalam Ekonomi Islam

Maslahah Konsumsi dalam Ekonomi Islam mencerminkan prinsip yang diakui dalam hukum Islam, yang menekankan perlunya menjaga tujuan Syara' (syariat) untuk mencapai manfaat dan mencegah kerugian. Implementasi konsep maslahah dalam bidang ekonomi memiliki cakupan yang luas jika dibandingkan dengan sektor lain.

Ketika menjelaskan konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung memilih barang dan jasa yang memberikan manfaat maksimal (maslahah). Hal ini sesuai dengan rasionalitas Islam yang menunjukkan bahwa setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meningkatkan manfaat (maslahah) yang mereka peroleh. Keyakinan dalam keadilan akhirat dan informasi yang berasal dari Allah memiliki pengaruh yang besar pada perilaku konsumsi.

Dalam konteks ekonomi Islam, kepuasan konsumsi dikenal sebagai mencapai maslahah, yang mencakup pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun spiritual. Islam sangat menekankan keseimbangan antara aspek fisik dan non-fisik berdasarkan nilai-nilai syariah. Seorang Muslim untuk mencapai tingkat kepuasan harus mempertimbangkan beberapa faktor, termasuk kehalalan barang yang dikonsumsi, baik dari segi zat maupun cara memperolehnya, serta menghindari pemborosan dan penggunaan yang sia-sia. Dengan demikian, kepuasan seorang Muslim bukan hanya bergantung pada seberapa banyak barang yang dikonsumsi, tetapi lebih pada sejauh mana nilai ibadah yang diperoleh dari konsumsinya.

Prinsip mengurangi konsumsi suatu barang sebelum mencapai kepuasan maksimal diajarkan oleh Rasulullah, seperti makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Hal ini dikarenakan nilai guna tambahan akan semakin menurun seiring dengan peningkatan konsumsi. Pada akhirnya, nilai guna tambahan tersebut bahkan dapat menjadi negatif jika konsumsi terus ditingkatkan. Prinsip ini juga mencerminkan hukum nilai guna marginal yang semakin menurun, yang menjelaskan bahwa penambahan terus-menerus dalam konsumsi suatu barang tidak akan meningkatkan kepuasan, karena tingkat kepuasan terhadap barang tersebut akan semakin turun. Allahua'lam.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image