Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nadia Zulmi

Trump vs Iran: Ketika Konflik Luar Negeri Menjadi Alat Politik Dalam Negeri

Politik | 2025-06-23 22:59:15

Ketegangan terbaru antara Amerika Serikat dan Iran pascaserangan udara pada 21–22 Juni 2025 membuka kembali luka lama tentang bagaimana krisis internasional sering dijadikan alat politik domestik oleh para pemimpin dunia. Donald Trump, sosok flamboyan dan penuh kontroversi, bukan pertama kalinya menggunakan konflik luar negeri sebagai panggung untuk membangun citra “pemimpin kuat”. Namun, yang menarik bukan hanya soal rudal yang meluncur atau fasilitas nuklir yang hancur, melainkan soal motif: apakah ini tentang mencegah nuklir Iran, atau tentang menyelamatkan kampanye Trump di dalam negeri?

Dalam waktu yang bersamaan dengan meningkatnya ketegangan di Teluk Persia, Trump menghadapi tantangan berat di dalam negeri. Popularitasnya melemah pasca debat calon presiden, dukungan dari Partai Republik terpecah, dan sejumlah survei menunjukkan elektabilitasnya masih di bawah kandidat petahana. Maka, tidak heran jika muncul analisis bahwa serangan ke Iran bukan sekadar keputusan militer, melainkan strategi politik. Dalam sejarah Amerika, "rally around the flag effect"fenomena publik bersatu mendukung presiden saat krisis telah dimanfaatkan berkali-kali. Dari Vietnam hingga Irak, dari Panama hingga Suriah, konflik luar negeri telah berulang kali dijadikan pelampiasan atau pengalih isu politik domestik.

Sudut pandang ini memaksa kita untuk memeriksa ulang narasi resmi yang dibangun pemerintahan Trump. Jika tujuan utama adalah mencegah Iran memiliki senjata nuklir, kenapa menyerang sekarang, saat belum ada bukti bahwa Iran secara aktif mengembangkan senjata tersebut? Laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebelum serangan justru menyebut bahwa Iran memperkaya uranium hingga 60%, tapi belum melewati ambang batas militer. Serangan semacam ini tidak hanya prematur, tapi juga bisa kontraproduktif. Iran kini punya pembenaran untuk keluar dari sisa kewajiban JCPOA (kesepakatan nuklir 2015) dan mempercepat program nuklirnya sebagai bentuk “pertahanan diri”.

Kita juga perlu mencermati bagaimana respons internasional menunjukkan nuansa politik yang kompleks. Uni Eropa, misalnya, secara terbuka menyayangkan tindakan AS yang dianggap sepihak. Bahkan Inggris, sekutu historis Amerika, memilih tidak terlibat langsung dalam operasi militer. Ini mengindikasikan bahwa meski Trump mengklaim tindakannya “demi dunia”, sebenarnya tidak banyak negara yang merasa terbantu. Sebaliknya, kekacauan ini memperlebar jurang kepercayaan antara negara-negara Barat dan Timur Tengah, serta memperlemah legitimasi pendekatan militer sebagai solusi konflik global.

Selain itu, dampak ekonominya tidak bisa dianggap remeh. Pasar minyak meroket, logistik internasional terganggu, dan negara-negara berkembang di Asia dan Afrika terancam terkena imbas inflasi baru. Perang jarak jauh ini pada akhirnya membebani warga dunia yang tak tahu-menahu soal rivalitas geopolitik Washington Teheran. Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa konflik luar negeri, meskipun diklaim sebagai upaya menjaga perdamaian, pada akhirnya sering menjadi alat dari elite untuk melanggengkan kekuasaan bukan benar-benar demi rakyat, baik di AS maupun di Iran.

Uniknya, jika kita membalik kacamata dan melihat dari sisi Iran, narasi politik dalam negeri juga sedang dimainkan. Pemerintah Iran, yang sebelumnya menghadapi tekanan internal karena masalah ekonomi dan unjuk rasa sosial, kini mendapat momentum untuk menyatukan rakyatnya di bawah satu musuh bersama: Amerika. Dengan adanya serangan dari luar, pemerintah bisa mereduksi kritik terhadapnya, menguatkan nasionalisme, dan menghidupkan kembali retorika perlawanan yang selama ini menjadi senjata retoris rezim. Dalam hal ini, serangan Trump justru menjadi "bantuan tak langsung" bagi kelangsungan politik dalam negeri Iran.

Kedua sisi ini memperlihatkan pola yang sama: konflik luar negeri sebagai instrumen politik domestik. Rakyat di kedua negara mungkin berpikir bahwa tindakan pemimpinnya adalah upaya menjaga kedaulatan atau perdamaian, padahal pada level strategis, yang sedang terjadi adalah perhitungan suara, elektabilitas, dan pengalihan opini publik.

Lalu, di mana posisi dunia dalam semua ini? Sayangnya, banyak negara bersikap pasif. Organisasi multilateral seperti PBB lamban dalam mengambil langkah konkret. Dunia tidak hanya kekurangan mekanisme pencegahan konflik, tetapi juga tidak punya instrumen nyata untuk menekan negara besar agar bertanggung jawab terhadap tindakan unilateralnya. Dalam situasi seperti ini, opini publik global sangat penting. Media, akademisi, dan masyarakat sipil harus berani mempertanyakan: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari konflik ini? Siapa yang jadi korban diam-diamnya?

Kesimpulannya, konflik antara Trump dan Iran bukanlah semata-mata soal nuklir, keamanan, atau kedaulatan. Ini adalah cermin dari bagaimana politik internasional kerap menjadi ekstensi dari krisis domestik. Baik AS maupun Iran sama-sama menggunakan ketegangan ini untuk mengonsolidasikan kekuasaan, meredam kritik internal, dan memanipulasi sentimen publik. Di tengah semua ini, dunia membutuhkan suara yang berani melihat konflik bukan dari hitam-putih kawan atau lawan, tapi dari realitas bahwa sering kali, rakyatlah yang menjadi korban permainan elite. Dan kalau kita membiarkan narasi semacam ini terus hidup, maka kita sedang membiarkan konflik terus dijadikan alat bukan masalah yang harus diselesaikan.

By: Nadia Zulmi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image