Wisuda Anak TK: Selebrasi Berlebihan atau Cerminan Kegelisahan Orang Tua?
Guru Menulis | 2025-06-20 05:28:24
Beberapa tahun terakhir, pemandangan wisuda anak-anak TK menjadi hal yang lumrah di berbagai daerah. Anak-anak usia lima atau enam tahun mengenakan toga lengkap dengan selempang dan topi segitiga khas sarjana. Mereka berdiri di atas panggung, kadang diminta berpidato, menyanyi, atau bahkan menari, sementara para orang tua duduk di bangku penonton dengan air mata haru dan gawai siap merekam setiap momen. Di balik senyum dan tepuk tangan itu, kita perlu jujur bertanya: apa yang sebenarnya sedang kita rayakan?
Anak-anak taman kanak-kanak belum lulus ujian hidup yang sesungguhnya. Mereka baru saja mulai belajar memegang pensil dengan benar, membedakan warna, dan mengenal huruf-huruf. Masa TK adalah masa bermain dan bertumbuh, bukan masa pencapaian akademik yang harus ditandai dengan toga dan seremoni yang megah. Ironisnya, perayaan ini kadang mengalahkan wisuda anak SMP atau bahkan SMA, baik dari segi kemeriahan maupun biaya yang dikeluarkan.
Kegelisahan muncul ketika kita menyadari bahwa wisuda anak TK bukan sekadar tradisi lucu-lucuan, melainkan bisa menjadi refleksi dari kegemaran masyarakat kita membungkus kebanggaan dengan kemewahan. Dalam banyak kasus, yang lebih bersemangat bukan anak-anak, melainkan orang tua. Mereka yang sibuk menyiapkan kostum, membayar iuran puluhan hingga ratusan ribu rupiah untuk dekorasi, dokumentasi, hingga sewa gedung. Anak-anak? Kadang mereka bahkan tak paham mengapa harus berdiri lama di atas panggung dan tersenyum sepanjang hari.
Ada kekhawatiran bahwa budaya ini menggeser nilai dari pendidikan itu sendiri. Kita seperti terburu-buru ingin memberi ‘penghargaan’ sebelum anak-anak benar-benar memahami makna dari belajar. Daripada membangun rasa ingin tahu dan semangat belajar yang alami, kita justru menanamkan kesan bahwa sekolah adalah panggung untuk tampil dan menerima tepuk tangan. Padahal, masa kanak-kanak adalah masa untuk menjelajah, gagal, dan mencoba lagi, bukan masa untuk dikungkung oleh ekspektasi dewasa yang berlebihan.
Tak sedikit guru yang juga merasa terpaksa mengikuti arus ini. Di balik senyum di hari wisuda, mereka sebenarnya lelah menyiapkan acara yang menyita waktu, tenaga, dan kadang tidak sejalan dengan filosofi pendidikan anak usia dini. Tapi tekanan dari wali murid dan tuntutan institusi membuat mereka tak punya pilihan selain ‘ikut arus’. Bahkan ada sekolah yang merasa harus mengadakan wisuda agar tidak ‘ketinggalan zaman’.
Tentu bukan berarti kita tidak boleh merayakan momen penting dalam kehidupan anak. Tapi merayakan tidak selalu harus dengan glamor. Mungkin cukup dengan pesta kecil, makan bersama keluarga, atau rekreasi sederhana. Yang paling penting, anak-anak merasa dihargai dan dicintai, bukan dikomodifikasi dalam seremoni yang lebih memuaskan ego orang tua daripada kebutuhan emosional mereka.
Akan sangat indah bila kita bisa mengembalikan makna pendidikan anak usia dini sebagai perjalanan, bukan perlombaan. Sebuah perjalanan yang penuh kehangatan, permainan, tawa, dan pelukan, bukan tepuk tangan dan foto studio. Mari bijak dalam menyikapi tren yang tampak menyenangkan tapi bisa menyimpan kekeliruan arah. Karena sejatinya, anak-anak tidak butuh wisuda, mereka butuh masa kecil yang utuh.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
