Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Jalaludin Asrori

Membangun Birokrasi yang Responsif: Tantangan Administrasi Publik di Era Digital

Info Terkini | 2025-06-18 21:26:49

Administrasi publik adalah inti dari pelaksanaan pemerintah. Dari tingkat pusat hingga daerah, birokrasi berperan penting dalam menerjemahkan kebijakan menjadi layanan nyata untuk masyarakat. Namun, dalam implementasinya, administrasi publik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mendasar, terutama terkait dengan responsivitas, transparansi, dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman, terutama di era digital.

Salah satu isu utama adalah kekuatan budaya birokrasi yang kaku dan lamban dalam merespons kebutuhan masyarakat. Meski telah ada reformasi birokrasi dalam dua dekade terakhir, faktanya banyak lembaga pemerintah masih terjebak dalam cara kerja administratif yang rumit dan tidak efisien. Ini menghambat kecepatan pelayanan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik.

Responsivitas birokrasi bukan hanya soal seberapa cepat, tetapi juga tentang kemampuan memahami dinamika sosial yang terjadi. Dalam hal ini, administrasi publik perlu beralih dari paradigma yang berfokus pada aturan menjadi yang berorientasi hasil. Pelayanan publik sepatutnya tidak hanya mengikuti prosedur, tetapi juga harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Sayangnya, fokus pada hasil sering kali terhalang oleh kekakuan struktur birokrasi dan dominasi budaya hierarkis.

Di sisi lain, digitalisasi menjadi tantangan sekaligus kesempatan. Pandemi COVID-19 telah mempercepat proses digital dalam layanan publik, namun banyak instansi pemerintah yang belum siap dalam hal sumber daya manusia, infrastruktur, maupun budaya kerja. E-government seharusnya tidak hanya dipahami sebagai "penggunaan teknologi", tetapi sebagai usaha untuk membangun birokrasi yang lebih terbuka, efisien, dan partisipatif.

Sayangnya, dalam praktik e-government, kita sering kali menemukan digitalisasi yang bersifat permukaan: hanya mengganti format layanan dari manual menjadi daring, tanpa ada perubahan mendasar dalam cara kerja birokrasi. Padahal, digitalisasi seharusnya memperkuat transparansi dan akuntabilitas. Sebagai contoh, sistem pengaduan masyarakat yang berbasis daring seharusnya berfungsi untuk memetakan masalah layanan secara real-time, bukan sekadar formalitas yang diabaikan.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam administrasi masih rendah. Seringkali masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, atau evaluasi kebijakan. Administrasi publik yang ideal adalah yang mendorong co-production dalam pelayanan publik, di mana masyarakat bukan hanya sebagai penerima layanan, tetapi juga menjadi mitra dalam merumuskan solusi. Pendekatan ini memerlukan perubahan cara pikir birokrasi dari “melayani dengan tahu segalanya” menjadi “melayani dengan mendengarkan”.

Transformasi mendasar dalam sistem administrasi publik juga memerlukan komitmen politik yang kuat. Tanpa keinginan dari elite pengambil kebijakan, reformasi birokrasi akan terhenti sebagai sekadar istilah. Oleh karena itu, penting bagi publik untuk terus mengawasi dan mendorong akuntabilitas penyelenggara negara.

Ke depan, tantangan administrasi publik tidak hanya terletak pada kecepatan pelayanan, tetapi juga bagaimana birokrasi bisa menjadi agen perubahan sosial. Birokrasi yang inklusif, adaptif, dan berbasis data adalah syarat menuju pemerintahan yang efektif dan demokratis.

Membangun administrasi publik yang responsif bukanlah hal yang bisa dilakukan dalam sekejap. Ini memerlukan transformasi sistemik yang melibatkan aspek struktur, budaya organisasi, pola kepemimpinan, dan partisipasi masyarakat. Namun, tanpa tindakan konkret hari ini, kita hanya akan mewariskan birokrasi yang lelah dan kehilangan makna di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image