Perang Tarif, Sinyal Keruntuhan Kapitalisme Global
Agama | 2025-06-18 11:03:04
Oleh: Frida Afriyani (Aktivis Dakwah Muslimah, Bandung)
Kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal April 2025 memicu gejolak signifikan di pasar saham global. Awalnya, pengumuman kenaikan tarif 125% untuk Cina dan 32% untuk negara lain menyebabkan indeks saham anjlok dan menghapus lebih dari US$200 miliar dari kekayaan para miliarder dalam sehari. Jeff Bezos kehilangan US$15,9 miliar akibat penurunan saham Amazon, sementara Mark Zuckerberg kehilangan US$9 miliar dari jatuhnya saham Meta.
Namun, keadaan berbalik setelah Trump mengumumkan jeda tarif selama 90 hari, kecuali untuk Cina, pada 10 April 2025 yang memicu pemulihan pasar saham yang melonjak secara spektakuler. Dalam semalam, kekayaan kolektif 500 orang terkaya di dunia bertambah US$304 miliar atau hampir Rp5.107 triliun (New York, investor.id). Fenomena ini mengungkapkan bagaimana kebijakan perdagangan AS dimanfaatkan oleh elit finansial untuk mengakumulasi kekayaan melalui instrumen pasar modal, sekaligus memperkuat dominasi sektor finansial (FIRE : Finance, Insurance, Real Estate) sebagai tulang punggung ekonomi AS.
Tarif Sebagai Alat Pengendali Pasar
Trump menetapkan kebijakan tarif impor baru pada Rabu (2 April 2025) terhadap barang impor dari seluruh negara mitra dagang AS. Barang-barang impor dari beberapa negara dikenakan baseline tarif (tarif dasar) sebesar 10%, sementara puluhan negara lain dikenakan tarif yang lebih tinggi dengan tambahan berupa reciprocal tariff (tarif resiprokal atau tarif timbal balik). Tarif baru Trump ini diberlakukan ke lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia.
Penetapan tarif baru Trump ini dihitung berdasarkan defisit perdagangan AS terhadap negara tersebut. Cina sebagai negara penyumbang defisit perdagangan terbesar dikenai tarif 34% -125%, bahkan naik hingga 245% pada barang-barang tertentu. Sementara Indonesia dikenai tarif resiprokal sebesar 32% selain tarif dasar 10%.
Kebijakan tarif Trump ini bukan sekadar instrumen proteksionisme, tetapi juga alat pengendali pasar karena bertujuan mempengaruhi perilaku ekonomi melalui perubahan harga barang impor dan ekspor. Dengan mengumumkan tarif dagang yang tinggi kemudian menundanya, AS menciptakan siklus perubahan harga aset keuangan (misalnya saham dan valuta asing) yang menguntungkan institusi keuangan domestik.
Gejolak pasar saham pasca kebijakan tarif Trump memperlihatkan dua realitas ekonomi global: Pertama, kekuatan AS dalam mengendalikan arus modal melalui kebijakan dagang. Kedua, ketergantungan dunia pada sektor finansial AS sebagai penggerak pertumbuhan. Strategi ini memungkinkan AS mempertahankan hegemoni ekonominya meskipun defisit perdagangan terus membesar.
AS mengalami defisit perdagangan yang konsisten sejak tahun 1976. Pada tahun 2022, defisit perdagangan terbesar tercatat dengan Cina, Meksiko, Vietnam, Kanada, Jerman, Jepang, dan Irlandia. Defisit perdagangan AS melebar menjadi US$140,5 miliar pada Maret 2025 yang merupakan rekor tertinggi baru. Indonesia ada di urutan 15 sebagai negara penyumbang defisit perdagangan Amerika (Sindonews Ekbis).
Selain defisit perdagangan luar negeri, AS didera persoalan ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Bahkan, AS diprediksi akan mengalami resesi pada tahun 2025. Survei triwulanan CNBC CFO Council menyebutkan bahwa sekitar 60% eksekutif memperkirakan resesi AS akan terjadi pada paruh kedua tahun ini. Sementara sisanya, 15% mengatakan resesi akan terjadi di tahun 2026 (CNBC indonesia). Selain defisit perdagangan, AS menghadapi beberapa problem ekonomi lainnya, yaitu:
a. Utang yang menggunung. Terdiri atas utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri (obligasi, surat utang negara), dan utang rumah tangga (utang hipotek, pinjaman mahasiswa, utang kartu kredit, dll). Utang luar negeri AS sebesar US$27,2 miliar di kuartal ketiga tahun 2024. Utang nasional melonjak mencapai US$36,217 trililiun per 23 januari 2025. Utang rumah tangga pada kuartal 1 tahun 2025 sebesar US$18,20 triliun.
b. Defisit APBN. Pemerintah AS melaporkan defisit anggaran sebesar US$161 miliar pada Maret 2025.
c. Penurunan produktivitas pekerja dan pelemahan industri manufaktur.
d. Perekonomian yang semakin bertumpu pada sektor finansial yang sangat keropos.
Tujuan Pemberlakuan Tarif Baru Trump
Di tengah persoalan ekonomi AS yang terus memburuk, Trump ingin AS besar kembali sebagaimana slogan “Make America Great Again (MAGA)”. Ia pun secara arogan memberlakukan tarif impor baru ke lebih dari 180 negara dengan memiliki beberapa tujuan, di antaranya:
1. Penerapan tarif akan mendorong perkembangan industri manufaktur AS.
2. Melindungi lapangan kerja.
3. Meningkatkan pendapatan pajak dan menumbuhkan ekonomi.
4. Menjaga agar dollar menjadi hard currency dominan.
5. Menghadang Cina, terutama dalam persaingan teknologi, ekonomi maupun geopolitik. Cina dianggap sebagai ancaman bagi dominasi teknologi AS, terutama di bidang 5G, AI, dan kendaraan listrik. Kebijakan tarif digunakan sebagai instrumen untuk menghambat kemajuan ekonomi dan teknologi Cina.
6. Populisme ekonomi dan strategi politik. Trump menggunakan retorika ekonomi nasionalistik untuk menarik dukungan pemilih kelas pekerja yang merasa tertinggal oleh globalisasi. Dalam konteks politik domestik, kebijakan ini adalah bentuk "politik identitas ekonomi".
Paradoks Prinsip Perdagangan Bebas Kapitalisme Vs Penerapan Tarif Impor
Kebijakan tarif baru Trump menunjukkan gejala kontradiktif dengan prinsip kapitalisme global yang menjunjung tinggi prinsip perdagangan bebas. Tarif Trump merupakan penerapan prinsip proteksionisme ekstrem. Hal ini bisa dinilai sebagai krisis kepercayaan terhadap sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Secara global, kebijakan ini dipandang sebagai langkah mundur dari semangat globalisasi dan perdagangan bebas yang selama ini dijalankan.
Perdagangan bebas yang lahir dari asas manfaat akan mereka tinggalkan ketika manfaat tersebut tidak mereka dapatkan secara maksimal. Prinsip yang pernah mereka canangkan akan dengan mudah mereka ubah demi kemaslahatan yang lebih besar. Asas manfaat menunjukkan kerakusan kapitalisme.
George Saravelos, analis senior di Deutsche Bank, memberikan peringatan keras mengenai konflik ini, “Perang dagang ini tidak akan menghasilkan pemenang. Yang kalah adalah ekonomi global secara keseluruhan”. Barat sendiri telah jelas menangkap bahwa perang tarif ini merupakan sinyal keruntuhan kapitalisme global.
Dampak Terhadap Negeri-Negeri Muslim
Negeri-negeri muslim seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan,Timur Tengah, dan lain-lain menghadapi penurunan ekspor dan tekanan produksi karena ketidakpastian pasar AS dan Eropa. Mereka mengalami kelesuan ekonomi, inflasi tinggi, pengangguran bertambah, angka kemiskinan pun semakin meningkat. Mereka wajib belanja lebih banyak ke AS yang terus menambah keuntungan AS dan wajib memprioritaskan kepentingan Amerika.
Karena posisi negeri-negeri muslim adalah sebagai negara pembebek, maka mereka harus melayani kepentingan AS dan siap dijadikan sebagai sapi perah, serta terus dalam cengkeraman kapitalisme pimpinan AS. Contohnya, saat Trump melakukan lawatan beberapa hari lalu ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) selama empat hari, negara-negara tersebut telah memberikan dana segar bagi perekonomian Amerika yang saat ini tengah sempoyongan. Arab Saudi menandatangani perjanjian investasi strategis dengan AS sebesar US$600 miliar, mencakup pembelian senjata dari AS senilai US$142 miliar (setara Rp2.346 triliun). Ditambah kesepakatan investasi ekonomi dengan Qatar mencapai US$1,2 triliun (setara Rp19,84 kuadriliun). UEA pun menegaskan kembali komitmen di bulan Maret untuk berinvestasi hingga US$1.400 miliar di AS selama 10 tahun ke depan. Belum lagi komitmen untuk menjaga perdamaian kawasan yang membahas isu Palestina, pengakuan eksistensi Negara Israel, dan hubungan diplomatik dengan Israel (CNBC, Tradingseconomic).
Tarif Trump: Sinyal Keruntuhan Kapitalisme
Kapitalisme global selama ini dibangun atas dasar dua prinsip utama: pasar bebas dan kompetisi terbuka. Namun, kebijakan tarif baru Trump justru mencederai dua pilar itu secara langsung. Saat negara adidaya seperti AS secara sepihak menarik diri dari kesepakatan dagang, menaikkan tarif tinggi, dan menekan negara lain dengan kekuatan ekonomi, maka jelas sistem ini sudah tidak lagi berlandaskan keadilan pasar, melainkan mengutamakan kepentingan kekuasaan dan dominasi. Hal ini menunjukkan bahwa kapitalisme adalah mabda utopis yang penuh kecacatan.
Alih-alih mewujudkan keadilan dan kemakmuran global, sistem ini justru melahirkan kezaliman dan penjajahan negara besar terhadap negara-negara yang lemah dalam konstelasi politik internasional. Salah satu penyebab penderitaan dunia adalah koalisi negara-negara besar (kapitalis saat ini) untuk membagi-bagi keuntungan dan manfaat di antara mereka.
Sistem kapitalisme menciptakan siklus krisis yang berulang. Umat terus didera penderitaan. Keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir elit oligarkhi. Tidak ada mekanisme untuk mendistribusikan kekayaan secara adil.
Saatnya Kembali Ke Sistem Islam Kaffah
Tarif Trump terpaksa diikuti oleh negeri-negeri muslim karena lemahnya posisi mereka dalam konstelasi politik internasional saat ini. Padahal, Islam hakikatnya memiliki kebijakan sendiri terkait tarif. Dalam sistem ekonomi Islam, posisi pajak dan bea cukai dalam postur penerimaan negara bukanlah sebagai sumber utama kas negara. Masih ada jalur lain yang menjadi pemasukan kas negara (Khilafah), yakni zakat, ghanimah, fa’i, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta harta kepemilikan umum (Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah).
Bea cukai dalam Islam penyebutannya hanya cukai, yakni harta yang diambil dari komoditas yang melewati perbatasan negara, baik keluar maupun masuk. Keberadaan cukai juga bukan dalam rangka negara mengumpulkan harta, melainkan sebagai kebijakan politik dalam muamalah demi kepentingan kaum muslim. Pemungutannya disesuaikan dengan perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya.
”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya dalam keadaan buta.” (TQS. Thaha: 124)
Kerusakan muncul akibat diabaikannya hukum-hukum Allah dalam mengatur kehidupan. Oleh karena itu, kaum muslimin wajib kembali kepada hukum-hukum Allah. Kaum muslimin pun wajib bersatu dalam kepemimpinan Islam Kaffah yang akan menerapkan dan melaksanakan hukum Islam secara kaffah, baik di dalam negeri maupun dalam persoalan hubungan luar negeri.
Dalam menyelesaikan persoalan ekonomi, termasuk permasalahan tarif, Negara dalam Islam akan memberlakukan sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan dengan jelas, melarang praktek ribawi dan ekonomi non riil, mengatur sistem moneter berbasis emas dan perak, mengatur perdagangan luar negeri (termasuk masalah tarif) dengan berbasis politik ekonomi Islam.
Motif Islam dalam hubungan perdagangan internasional adalah membangun kemandirian dan dalam rangka dakwah menyebarkan risalah Islam. Negara juga akan membuat strategi kemandirian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sektor-sektor publik dalam Negara Islam Kaffah bersifat memudahkan dan menyejahterakan rakyat. Bahkan, bisa menjadi gratis karena dikelola berdasarkan mandat kekuasaan yang mengurusi urusan umat.
Bersatunya visi politik dan ekonomi umat Islam di bawah satu kepemimpinan Islam global akan mampu menghadapi dominasi kapitalisme. Negeri-negeri muslim yang bersatu di bawah naungan pemerintahan Islam kaffah akan membangun integrasi ekonomi antarwilayah negeri muslim, dan dapat membentuk pasar bersama dengan sistem perdagangan berbasis syariah. Hal ini akan meningkatkan produksi dalam negeri dan meninggalkan ketergantungan pada produk asing. Negara dalam Islam juga akan mengembangkan teknologi dan industri strategis yang tidak tergantung pada negara kapitalis penjajah seperti yang terjadi saat ini.
Untuk bisa mewujudkan kepemimpinan Islam global yang mandiri dan berdaulat, lepas dari ketergantungan dan dominasi asing, baik dalam pengaturan urusan dalam negeri maupun luar negeri, maka kaum muslimin harus bersatu dalam ikatan mabda Islam, sehingga potensi Dunia Islam akan muncul sebagai kekuatan raksasa yang mampu mengalahkan Barat maupun Cina. Oleh karena itu, aktivitas dakwah untuk menyadarkan umat agar bangkit dan bersatu dalam ikatan mabda Islam sangat penting dan mendesak.
Urgensitas dan wajibnya penegakan syariah Islam kaffah meniscayakan adanya kesungguhan, keseriusan, dan pengorbanan terbaik dalam menjalankan aktivitas dakwah jamaah yang mengikuti metode dakwah Rasulullah saw., serta senantiasa memohon kepada Allah agar segera menurunkan pertolongan-Nya dan memenangkan Islam atas semua agama. Aamiin allaahumma aamiin.
Allaahu a’lam bi ash-shawab.[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
