Menuju Kemandirian Ekonomi ASEAN: Strategi Lepas dari Cengkeraman AS
Edukasi | 2025-06-18 10:34:52
Pada Rabu, 2 April 2025, mantan Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif dasar sebesar 10% untuk seluruh barang impor ke Amerika Serikat. Tarif yang lebih tinggi dikenakan secara khusus kepada mitra dagang utama, seperti China (54%), Vietnam (46%), dan Indonesia (32%) (Team, 2025). Kebijakan ini sempat memicu kegelisahan di pasar global. Namun, sepekan kemudian, tepatnya pada 9 April 2025, Trump tiba-tiba mengumumkan penangguhan tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara (Khaeron, 2025). Penangguhan ini tidak berlaku untuk China, yang justru dikenai peningkatan tarif balasan dari 34% menjadi 125% (Rossiter & Hancock, 2025; Fitriani, 2025). Peningkatan tajam ini dilakukan sebagai reaksi atas pernyataan pemerintah China yang menuntut perlakuan adil dari Amerika Serikat, yang dianggap bersikap tidak hormat (Durrohman, 2025). Meskipun konflik dagang ini tampaknya hanya melibatkan dua kekuatan besar, dampaknya meluas hingga ke negara-negara berkembang, termasuk anggota ASEAN. Kebijakan proteksionis AS tidak hanya memperburuk hubungan dagang dengan Tiongkok, tetapi juga mengancam kestabilan ekonomi kawasan Asia Tenggara.
Dalam karyanya yang bertajuk, “The Development of Underdevelopment” (1966), Andre Gunder Frank menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak terbelakang karena mereka belum berkembang, melainkan karena mereka selalu bergantung pada negara-negara maju. Pemikiran ini menjadi relevan ketika melihat bagaimana kebijakan tarif Amerika Serikat berdampak luas terhadap negara-negara ASEAN. Ketergantungan ekonomi ASEAN pada pasar dan kebijakan negara maju seperti AS membuat kawasan ini rentan terhadap gejolak eksternal, termasuk kebijakan proteksionis seperti tarif impor yang diberlakukan secara sepihak.
Apa dampaknya ke ASEAN?
Tarif yang diberlakukan AS menciptakan dampak yang luas pada ekonomi negara-negara ASEAN. Pertama, tarif ini menyebabkan kenaikan biaya impor sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam rantai pasokan global dan mempengaruhi biaya produksi, yang pada akhirnya berkontribusi pada terjadinya inflasi serta menekan daya saing produk lokal (Ferida, 2025). Akibatnya, sektor-sektor industri yang sangat bergantung pada ekspor ke AS—seperti tekstil, garmen, dan manufaktur—menjadi sangat rentan. Di beberapa negara seperti Kamboja dan Laos, penerapan tarif tinggi telah mengakibatkan penurunan daya saing produk, peningkatan risiko penutupan pabrik, dan bahkan hilangnya lapangan kerja. CNBC Indonesia misalnya, melaporkan bahwa tarif tersebut telah mengancam kelangsungan bisnis di sektor tekstil dan garmen di sejumlah negara ASEAN (Setiawati, 2025).
Selain itu, tarif tinggi yang diberlakukan AS telah menekan pertumbuhan ekonomi kawasan. Laporan IMF menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN diperkirakan turun menjadi 4,1% pada tahun 2025, akibat guncangan eksternal serta melemahnya permintaan domestik di beberapa negara (IMF, 2025). Meskipun ASEAN mencatat rekor arus masuk investasi asing langsung (FDI) sebesar $235 miliar, ketegangan perdagangan global dan kebijakan tarif proteksionis tetap memengaruhi keputusan investor. Hal ini tercermin dari penurunan FDI di Asia berkembang sebesar 7%, dengan penurunan signifikan di China, yang berpotensi mengalihkan aliran investasi ke kawasan ASEAN (UNCTAD, 2025). Di sektor keuangan, kebijakan tarif AS juga menimbulkan ketidakpastian yang memicu arus keluar modal jangka pendek dan berisiko melemahkan mata uang lokal. Meski demikian, Bank Indonesia mencatat bahwa nilai tukar Rupiah tetap terkendali berkat kebijakan stabilisasi yang diterapkan di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global (Bank Indonesia, 2025).
Bagaimana solusi yang tepat untuk ASEAN guna mengurangiketergantungan?
Dengan segala dampak signifikan yang telah mengguncang kestabilan ekonomi kawasan, termasuk meningkatnya kerentanan terhadap guncangan eksternal, kini semakin jelas bahwa ASEAN harus segera mengambil langkah-langkah strategis guna mengurangi ketergantungan struktural—mulai dari diversifikasi ekonomi hingga penguatan integrasi regional—untuk membangun kemandirian yang lebih tahan terhadap tekanan global.
1. Diversifikasi Ekonomi Secara Fundamental
ASEAN harus berani melepaskan diri dari rantai nilai global yang selama ini menempatkan negara-negara anggotanya sebagai penyedia bahan baku dan produk setengah jadi. Alih-alih mempertahankan struktur ekonomi yang rentan, kawasan ini harus memfokuskan upayanya untuk mengembangkan industri dengan nilai tambah tinggi melalui dorongan riset dan inovasi. Hanya dengan strategi ini, ASEAN dapat menggugat ketergantungan struktural dan menangkal paradigma eksploitasi yang dibangun oleh kekuatan ekonomi eksternal.
2. Penguatan Integrasi dan Kerjasama Regional yang Lebih Radikal
Jika ASEAN ingin keluar dari bayang-bayang dominasi ekonomi global, integrasi regional harus ditingkatkan ke level yang lebih komprehensif dan strategis. Zona perdagangan bebas hanya menjadi solusi parsial jika tidak disertai harmonisasi kebijakan, pengembangan infrastruktur yang terintegrasi, dan mekanisme koordinasi yang kuat. ASEAN perlu menyusun agenda kolektif yang tidak hanya mempertahankan status quo, tetapi juga secara aktif menolak dominasi kebijakan unilateral dari negara-negara besar.
3. Reformasi Kebijakan Perdagangan yang Kritis dan Selektif
Di tengah arus proteksionisme global, ASEAN harus mampu menolak jebakan aturan perdagangan yang tidak menguntungkan dengan mengimplementasikan kebijakan proteksionis yang selektif untuk sektor-sektor strategis. Ini bukan berarti mengisolasi diri, melainkan meningkatkan daya saing industri dalam negeri agar tidak terus-menerus bergantung pada pasar eksternal. Kebijakan ini harus didorong oleh visi jangka panjang untuk membangun ekonomi yang mandiri, bukan sekadar reaksi terhadap tekanan tarif dari negara-negara maju.
Penutup
Dalam menghadapi tekanan tarif AS dan dinamikaperdagangan global yang proteksionis, ASEAN harusmengubah paradigma ketergantungan historisnya yang selamaini menjadikan kawasan ini sebagai "satelit" bagi kekuatanekonomi luar, sebagaimana diungkap oleh Andre GunderFrank. Dengan melakukan diversifikasi ekonomi, memperkuatintegrasi regional, serta menerapkan kebijakan proteksionisselektif, ASEAN dapat memutus rantai eksploitasi yang telahmengalirkan surplus ekonomi ke negara maju, sehinggamembuka jalan bagi kemandirian dan pertumbuhan yang inklusif serta resilient di tengah persaingan global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
