Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Supriyadi

Peternakan Tawon Rimba Raya

Kuliner | 2022-03-07 15:01:25
Patung lebah raksasa ( foto dokpri )

Jika anda sedang melakukan perjalanan melewati kota Lawang tepatnya di jalan Dr Wahidin Lawang, maka anda akan melihat di sebelah barat jalan sebuah baliho besar dengan tulisan “ Wisata Petik Madu”. Disitulah lokasi wisata edukasi petik madu yang sekaligus juga sebagai sentra produksi madu Peternakan Tawon Rimba Raya.

Selain bisa belanja aneka madu dan buah - buahan, di tempat ini pengunjung juga bisa berwisata dan belajar berbagai hal yang berkaitan dengan tawon atau lebah. Tidak hanya itu, di peternakan tawon yang dikelolah oleh Hariono ini juga menyediakan berbagai produk pengobatan yang berasal dari tawon dan juga pengobatan akupunktur untuk syaraf terjepit.

Tapi, tahukah anda bahwa usaha peternakan tawon ini dilakukan oleh Hariono sekeluarga bermula dari iseng belaka. Tidak ada suatu anganan ataupun impian saat itu bahwa kelak di kemudian hari keisengan ini akan menjadi satu bisnis yang memiliki prospek bagus dan penghasilan yang menjanjikan.

Berawal dari 10 glodok lebah

Cerita berawal pada sekitar tahun 1980. Gunawan, ayah Hariono, yang bekerja sebagai mandor proyek pembangunan sebuah pabrik tekstil di Lawang memiliki pegawai bangunan yang suka mencari lebah. Pegawai tersebut menawarkan beberapa glodok lebah kepada Gunawan. Berawal dari iseng Gunawan akhirnya bersedia membeli lebah hasil tangkapan pegawai tersebut. Tak kurang dari 10 glodok ( kayu yang dilubangi untuk tempat lebah) ia beli saat itu dan disimpan di rumahnya. Cara menyimpan glodok adalah dengan menggantungnya di pagar besi halaman rumahnya yang terletak di pinggir jalan raya.

Karena masih belum mengerti sama sekali cara berternak lebah, maka glodok – glodok yang berisi lebah tersebut dibiarkan begitu saja tergantung di pagar rumah di bawah pohon cemara. Dan bila waktunya panen tiba, maka Gunawan akan memanggil pegawainya untuk membantu memanen madu lebah nya. Karena pada waktu itu bunga – bunga pohon yang ada di Lawang masih sangat banyak, maka sekali panen 1 glodok bisa menghasilkan 6 kg madu.

Hariono ( foto dokpri )

“Pada jaman dulu kalau ada orang selamatan sering membuat tumpeng dan mencari tolo ( larva lebah ) untuk dibuat ‘bothok tolo’ sebagai kelengkapan selamatan. Mulailah orang – orang berdatangan ke rumah saya untuk membeli tolo.” Terang Hariono.

Orang yang datang membeli tolo ini akhirnya juga mengetahui bahwa di rumah Gunawan juga tersedia madu yang sudah di kemas dalam botol. Mereka pun mulai membeli madu tersebut.

Lokasi rumah Gunawan yang persis terletak di pinggir jalan raya Surabaya – Malang mulai mengundang perhatian pengguna jalan dari luar kota yang melintasi kota Lawang. Glodok – glodok yang dibiarkan menggantung di pagar pinggir jalan menarik perhatian pengguna jalan. Mereka pun berhenti disitu dan mengetahui bahwa di tempat itu menjual madu.

Tahun 1982 lebah mulai diperbanyak dengan membeli dan menampung lebah hasil tangkapan pegawainya. Namun dengan menyimpan banyak lebah di sekitar rumahnya, muncul masalah baru yaitu anak – anak Gunawan sering tersengat lebah, termasuk Hariono. Waktu itu Hariono yang masih berumur sekitar 6 tahun mukanya sering lebam karena tersengat lebah. Keadaan ini membuat isteri Gunawan keberatan kalau memelihara terlalu banyak lebah di rumahnya. Akhirnya, sebagian lebah dititipkan ke rumah pegawainya di daerah Gunung Malang Pasuruan.

Gunawan mulai menjalin kerja sama dengan warga desa itu dengan cara membeli lebah mereka, namun perawatan tetap mereka yang melakukan. Dan bila waktu panen madu tiba, Gunawan datang dan mengambil hasil madunya saja. Tercatat ada 5 lokasi peternakan lebah yang dimiliki Gunawan di desa Gunung Malang.

Awal tahun 1985 salah seorang teman Gunawan yang seorang dokter dari China datang ke Indonesia sebagai dokter sosial untuk membantu pengobatan masyarakat. Dokter ini kebetulan mengerti tentang ternak lebah. Akhirnya dia mengajari Gunawan ilmu dan seluk beluk tentang beternak lebah yang benar.

Salah satu ilmu yang diajarkan oleh dokter ini adalah ternak lebah bisa dilakukan dengan cara ‘Angon’. Yaitu mengembala lebah dengan cara berpindah – pindah lokasi yang banyak terdapat tanaman yang berbunga dan ada madunya. Jadi peternak tidak menaruh lebah hanya pada satu tempat saja, tapi selalu berkeliling mengikuti musim bunga yang terjadi di suatu tempat. Dengan cara Angon ini produksi madu yang dihasilkan meningkat drastis 5 kali lipat dari sebelumnya.

“Pada waktu itu tidak terlalu banyak buku yang menulis tentang ternak lebah. Hanya ada satu buku yang kami beli warnanya cokelat, namun penjelasannya tentang ternak lebah sendiri kurang lengkap “ terang Hariono yang kini dipercaya mengelolah peternakan lebah Rimba Raya ini meneruskan usaha yang sudah dirintis orang tuanya.“ Dokter teman papa itu bilang bahwa ternak lebah adalah bisnis yang potensial di China” lanjut Hariono lagi.

Dengan tekhnik dan pengetahuan baru yang diperoleh dari dokter ini berdampak besar pada usaha peternakan lebah keluarga ini. “Waktu itu merombaknya agak lumayan banyak, karena kotak lebah yang kami miliki sesuai dengan petunjuk dari buku adalah kotak lebah Australia, sedangkan lebah yang kami ternak jenis lebah lokal.”

Toko buah mampu mendongkrak penjualan madu

Tahun 1985 usaha toko buah mulai dirintis. “ Waktu itu saudara nenek sering pergi ke Blitar dan melihat banyak rambutan disana dengan harga yang sangat murah. Akhirnya kamipun ‘kulakan’ rambutan di Blitar dengan naik kereta api dan dijual di Lawang yang saat itu masih sangat jarang” Hariono menerangkan awal mula toko buahnya.

Gerobak dan vespa yang pernah berjasa untuk merintis toko buah masih tersimpan ( foto dokpri)

Dengan mengambil space 3 meter di halaman rumahnya rambutan dijual dengan cara digantung di pagar pinggir jalan. “ Waktu itu 1 keranjang bisa habis dalam sehari. Dan dalam waktu 3 bulan bisa terjual lebih 1 ton per hari dan kulakannya sudah memakai truck”.

Karena usaha jual rambutan cukup lancar, akhirnya toko buahnya dilengkapi dan dikembangkan dengan menambah berbagai buah lainnya, seperti langsep, mangga dan sebagainya.

Tahun 1987 karena peternakan berkembang pesat hingga produksi madu sudah mulai menggunakan jerigen besar ukuran 30 liter. Harga jual madu saat itu sudah bisa mendekati gula pada kisaran harga seribu lima ratus rupiah per kilogram nya.” Waktu itu jual madu sangat sulit karena kepercayaan masyarakat sangat kecil. Orang banyak yang tidak percaya dengan keaslian madu yang kami produksi dengan cukup melimpah itu. Produksi madu kami yang terbanyak pada era tahun 1985 – 1990.”

Hariono pun terus berupaya mencari cara agar kepercayaan masyarakat akan keaslian madu produksinya tumbuh. “Karena stok berlebih, akhirnya kami menjual madu dengan sarangnya. Dengan menjual sarangnya akibatnya produksi madu kami turun 50%, namun tidak masalah karena kepercayaan orang mulai ada.”

Tahun 1990 Hariono sekeluarga pindah tempat baru di seberang barat jalan, yang ditempatinya hingga saat ini. Jualan buah nya di pindah ke dalam sebuah ‘geledekan’ (gerobak) besar dengan ditutup terpal.

Ternyata dengan menjual buah – buahan produksi madu nya jadi lebih dikenal orang. Setiap orang yang membeli buah tahu bahwa disitu juga menjual madu dan akhirnya membeli madu.

Aneka produk madu dan turunannya ( foto dokpri )

Peningkatan usaha Madu Rimba Raya diperoleh dari keuntungan penjualan madu dan buah. Tahun 2008 mulai dikembangkan usahanya dengan membuka ‘Wisata Agro’ pada area perkebunan seluas 6.5 hektar dibelakang rumahnya. Di tempat ini pengunjung bisa bertanya dan belajar tentang banyak hal terkait dengan ternak lebah. Dulu sebelum pandemi, dalam sebulan pengunjung yang datang ini bisa mencapai antara 500 –1000 orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada pula yang datang dari manca negara khusus untuk melihat peternakan lebah dan berbagai jenis tanaman yang ada di tempat ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image