Keamanan dan Regulasi Digital Web 3: Antara Desentralisasi dan Dilema Hukum Baru
Teknologi | 2025-06-16 22:05:12
Web 3 telah menjadi perbincangan utama dalam dunia digital global. Istilah ini merujuk pada generasi ketiga dari perkembangan internet, di mana teknologi seperti blockchain, smart contract, dan sistem terdesentralisasi menjadi fondasi utama. Jika Web 2.0 dipenuhi oleh platform-platform raksasa yang terpusat seperti Google dan Facebook, maka Web 3 hadir untuk mengembalikan kontrol data dan identitas digital kepada pengguna. Sayangnya, seiring meningkatnya penerapan Web 3 di berbagai sektor, muncul pula tantangan besar yang belum tertangani secara maksimal, terutama dalam aspek keamanan digital dan kerangka regulasi yang memadai.
Salah satu risiko utama yang muncul dari arsitektur desentralisasi ini adalah kerentanan terhadap serangan siber. Berdasarkan laporan dari Chainalysis pada awal 2024, tercatat lebih dari USD 1,7 miliar aset kripto hilang akibat eksploitasi dalam sistem Decentralized Finance (DeFi), sebagian besar disebabkan oleh celah pada smart contract yang tidak diaudit secara profesional.
Masalah ini diperkuat oleh studi yang dipublikasikan dalam Jurnal Intelek dan Cendekiawan Nusantara oleh SM PN (2024), yang menyoroti pentingnya pengembangan sistem informasi berbasis web yang mengedepankan aspek keamanan dan kontrol akses. Dalam artikelnya, penulis menyatakan bahwa keamanan informasi publik dalam konteks sistem digital perlu diperkuat melalui desain sistem yang menerapkan kontrol multi-lapisan dan standar enkripsi modern yang mampu menyesuaikan dengan risiko dinamis Web 3.
Di sisi regulasi, negara-negara, termasuk Indonesia, masih berjuang untuk menyesuaikan diri dengan dinamika Web 3. Meski beberapa langkah sudah diambil, seperti pengaturan aset kripto oleh Bappebti dan implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sejak 2022, regulasi khusus untuk Web 3 seperti DAO (Decentralized Autonomous Organizations), NFT (Non-Fungible Token), dan hak digital belum tersedia. Hal ini memunculkan kekosongan hukum yang menyulitkan proses penegakan aturan dalam kasus pelanggaran lintas blockchain.
Studi kasus lokal juga menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dalam ruang Web 3. Salah satu proyek NFT lokal di awal 2025 digugat karena dianggap menjiplak karya seni seniman lain, namun tidak ada otoritas yang dapat menengahi secara efektif karena pelaku menggunakan dompet kripto anonim dan berdomisili di luar negeri. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sistem verifikasi identitas yang kuat di dalam sistem Web 3. Menurut Asih dan Ramadhan (2025), prinsip keamanan dan kerahasiaan digital seharusnya ditanamkan dalam desain sistem informasi sejak awal. Dalam studi mereka tentang sistem digital klinik, mereka menyatakan bahwa aspek legal, etika, dan desain teknologi tidak boleh dipisahkan dalam era digital saat ini (Asih & Ramadhan, 2025).
Melihat situasi ini, tantangan utama Web 3 bukan pada penolakannya, tetapi pada bagaimana teknologi ini bisa diadopsi dengan landasan etika dan hukum yang kuat. Diperlukan audit terbuka terhadap kode dan protokol digital, kolaborasi antara pembuat kebijakan, pengembang teknologi, dan akademisi, serta edukasi literasi digital agar masyarakat memahami risiko dan hak-haknya sebagai pengguna digital. Jika Web 3 ingin menjadi masa depan internet yang adil dan aman, maka semua elemen pengaman baik dari sisi teknis maupun hukum harus disiapkan dari sekarang.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
