Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aisyah Fathina Mufidah

Remaja di Persimpangan Jalan

Parenting | 2025-06-12 04:59:35

Belum lama ini, media ramai memberitakan kasus remaja yang memukuli teman sekolah hingga tewas. Sebelumnya pun publik juga dihebohkan oleh serangkaian aksi geng motor yang melibatkan anak-anak usia 13–17 tahun. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sepanjang tahun 2023, terdapat 2.355 kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Bahkan, sejak awal tahun 2025 ini Pusiknas Porli mencatat setidaknya ada 437 anak yang terlapor sebagai pencuri, 460 terlibat kasus penganiyaan dan pengeroyokan, dan 349 sebagai penyalahguna narkotika.

Dari kasus-kasus tersebut, tak sedikit masyarakat yang secara otomatis melabeli mereka sebagai "calon kriminal". Namun mari kita merefleksikan, ada seberapa banyak dari kita yang mau bertanya, apa yang membawa remaja-remaja ini ke jalan gelap?Fenomena ini kerap memunculkan reaksi emosional dari masyarakat. Tak heran jika kemudian stigma remaja yang "nakal" adalah "kriminal kecil" yang pantas dihukum menjalar di kalangan mayarakat. Namun pernahkah terbesit dalam benak kita, pertanyaan tentang apa yang ada di balik perilaku tersebut.

Jangan-jangan tersembunyi kisah luka dalam pribadi remaja tersebut, mungkin keluarga yang disfungsional, pengasuhan yang gagal, lingkungan sosial yang permisif, atau bahkan identitas diri yang rapuh. Sebuah mini series Netflix Adolescence (2025) memberikan refleksi yang mendalam dan relevan dengan kasus remaja Indonesia dewasa ini. Jamie Miller, sang tokoh utama, adalah remaja yang tumbuh dalam keluarga yang kosong afeksi. Jamie kurang mendapat validasi terutama dari keluarganya, terjerumus dalam komunitas gelap media sosial, dan bahkan ternyata menjadi korban bullying namun tidak ditangani dengan baik.

Hakikatnya, kasus-kasus kriminal oleh remaja layaknya kasus Jamie ini apabila ditelisik akan mendapat satu benang merah yang sama, ‘disfungsinal keluarga’. Sebut saja kasus yang mencuat di awal 2024, pengeroyokan geng motor di Bandung, yang ternyata melibatkan remaja usia 14–17 tahun. Penelusuran oleh pihak kepolisian dan pemerhati anak mendapati bahwa sebagian besar pelaku memilki latar belakang keluarga yang bermasalah. broken home, kekerasan dalam rumah tangga, dan pengasuhan yang permisif ataupun otoriter berlebihan.Bagaimana mungkin sebuah problem keluarga bisa berdampak pada tindakan kriminalitas remaja? Untuk membaca situasi ini lebih dalam kita perlu menggunakan kacamata psikologi perkembangan.

Terdapat sebuat teori yang dikembangkan oleh John Bowlby yakni attachment theory. Melalui teori tersebut Bowlby menegaskan bahwa anak yang gagal mendapatkan kelekatan aman (Attachment insecure) dengan pengasuh utama berisiko mengalami masalah regulasi emosi dan perilaku. Anak yang anxious maupun avoidant, karena tidak mendapatkan keamanan dari pengasuh menjadikan remaja rapuh secara emosional, haus akan validasi eksternal, dan mudah terpengaruh oleh lingkungan yang negatif.Fenomena disfungsional keluarga ini makin diperparah oleh lingkungan sosial remaja masa kini.

Urie Bronfenbrenner, dalam Ecological Systems Theory, menggarisbawahi bahwa perkembangan anak terjadi dalam jejaring sistem yang saling berinteraksi. Ketika keluarga sebagai microsystem gagal memberikan fondasi aman dan peer group sebagai mesosystem justru memperkuat perilaku negatif, maka risiko perilaku maladaptif meningkat tajam. Lebih jauh lagi, tantangan besar era globalisasi membuat beban ramaja menjadi semakin kompleks. Erik Erikson menyebut masa remaja sebagai fase pencarian identitas diri (identity vs role confusion). Budaya social comparison yang masif membuat banyak remaja membangun identitas semu. Ketika realitas hidup mereka pahit, remaja kerap mencari jalan pintas untuk "menegaskan eksistensi", salah satunya melalui perilaku menyimpang.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai bangsa?Pertama, kita harus berhenti memandang kriminalisasi remaja sebagai kegagalan moral individu semata. Justru kenakalan mereka adalah kegagalan sistemik yang bermula dari pengasuhan, pendidikan, hingga lingkungan sosial. Program pencegahan harus dimulai di keluarga dengan penguatan pola asuh berbasis secure attachment, pelatihan parenting positif bagi orang tua, dan pemberian ruang bagi remaja untuk mengekspresikan emosi secara sehat.

Photo taken from www.freepik.com

Kedua, sekolah harus bertransformasi menjadi ruang aman bagi perkembangan psikososial remaja. Social Emotional Learning (SEL) perlu diintegrasikan secara sistematis dalam kurikulum, bukan sekadar sebagai program tambahan. Dengan SEL, remaja belajar mengenali emosi, mengatur stres, membangun identitas positif, dan mengambil keputusan sesuai dengan norma yang berlaku.

Ketiga, komunitas dan lembaga pemerintahan harus memperkuat program rehabilitasi berbasis pendekatan psikologis bagi remaja yang terlibat tindak pidana. Pendekatan restoratif justice yang sudah mulai diterapkan di beberapa daerah patut diperluas, dengan pendampingan psikologis intensif bagi pelaku dan keluarganya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak PBB bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan.

Terakhir, masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif bahwa kriminalisasi remaja adalah gejala, bukan akar masalah. Alih-alih menyoraki vonis di pengadilan, publik sebaiknya mendukung upaya perbaikan ekosistem pengasuhan, pendidikan, dan penguatan komunitas positif bagi anak dan remaja.Kisah Jamie dalam Adolescence bukanlah cerita yang jauh dari realitas Indonesia. Di balik setiap berita kriminalisasi remaja yang kita baca hari ini, bisa jadi ada "Jamie-Jamie" lain yang tengah bergulat dengan luka pengasuhan, kegagalan sistem, ataupun pencarian jati diri yang penuh luka. Jika kita ingin mencegah lebih banyak anak terjebak dalam jalan gelap, ekosistem pengasuhan yang sehat dan kuat mesti menjadi prioritas bersama.

Referensi:Coyne, M. (2020). Love In, Love Out: A compassionate approach to parenting your anxious child. HarperCollins.Damour, L. (2023). The Emotional Lives of Teenagers: Raising connected, capable, and compassionate adolescents. Random House.Solter, A. J. (2022). Healing your traumatized child: A parent’s guide to children’s natural recovery processes. Shining Star Press.Morris, A. S. (Ed.). (2022). The Cambridge handbook of parenting: Interdisciplinary research and application (Latest ed.). Cambridge University Press.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image