Di Balik Bahu dan Punggung yang Kokoh: Peran Ayah dalam Membentuk Masa Depan Si Kecil
Parenting | 2025-11-24 00:58:30
Sempatkah terbesit di benak kalian, bagaimana bayi gen alpha yang meracuni for your page media sosial melakukan hal-hal yang lucu dan cerdas di umur yang terbilang masih sangat kecil? Tentu ini bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan di semua kalangan keluarga, ada sosok yang sangat krusial hadir ditengah tumbuh kembang si kecil bukan lain adalah ayah.
Menurut studi dari STAK Terpadu Pesat Salatiga, anak berusia 0-6 tahun merupakan rentang waktu pertumbuhan anak. Masa ini seorang anak memerlukan teladan orang tua tentang praktik dalam kehidupan sehari-hari. Mengakar pada pernyataan ini, ayah merupakan salah seorang yang krusial di mata sang buah hati. Ikatan seorang ayah dengan anak sangat dekat dengan hal yang bersifat seru dan atraktif. Bermain misalnya, dengan sifat seorang ayah yang memiliki seribu satu ide dalam memberikan canda tawa, bisa menjadi faktor penting menuju pondasi sikap anak di masa yang akan datang. Berani, ekspresif, kreatif, dan riang gembira merupakan input yang didapatkan ketika tindakan dari sosok ayah berjalan sesuai rencana.
Jika sosok ibu erat kaitannya sebagai seorang yang memberikan sifat disiplin, berwawasan, dan beretika, beda halnya dengan pahlawan satu ini. Keberanian, kekuatan, dan pembelajaran hidup sangat dekat dengan sosok ayah. Ramai lewat di media sosial sosok ayah yang sangat sering menghabiskan waktunya bersama sang buah hati, di tengah kesibukan menjadi tulang punggung keluarga, mereka tidak melupakan anaknya yang perlu pendampingan intens di setiap proses tumbuh kembang nya.
Dampak-dampak penting tadi apabila dibandingkan dengan ketidakhadiran sosok ayah dalam sebuah keluarga, sangat jelas terasa perbedaannya. Data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024 menunjukkan sebanyak 20,1 persen anak di Indonesia tumbuh tanpa sosok ayah atau fatherless. Persentase ini setara dengan 15,9 juta anak dari total 79,4 juta anak usia di bawah 18 tahun di Indonesia. Bagaimana efeknya? Menurut Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Dr. Rahmat Hidayat, S.Psi., M.Sc., Ph.D., mengatakan bahwa fenomena ketidakhadiran peran ayah tidak hanya dimaknai secara fisik, namun juga secara emosional. Beliau menanggapinya melalui rasa kepercayaan diri yang menurun, pembentukan identitas diri yang tidak mengenal arah dan berbagai dampak sosial serta psikologis sangat rawan bagi sang buah hati yang memiliki latar belakang fatherless.
Di era yang serba kekinian dan sangat dekat dengan teknologi, tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak gen alpha tidak akan jauh dengan yang namanya gadget dan publikasi dunia maya. Sangat sering terjadi di media sosial, kedua orang tua membagikan momen hangat nya bersama sang buah hati. Abe, Ken, Elzhard merupakan beberapa nama yang hangat menjadi perbincangan karena tingkah menggemaskan, kecerdasan, dan sifat sehari-hari nya. Sampai-sampai ketiga anak tersebut memiliki penggemar yang sangat loyal menunggu update terbaru dari ketiga anak tersebut.
Abe merupakan salah satu yang menarik untuk disorot. Di balik kelucuan dan kecerdasan Abe yang digemari publik, ada peran ayah yang begitu besar membentuk rasa aman dan keberaniannya. Rekaman yang menunjukkan Abe tampak cemas saat ayahnya tidak berada di dekatnya, lalu kembali ceria dan ekspresif ketika sang ayah hadir, membuktikan betapa kuat ikatan emosional di antara keduanya. Momen sederhana itu menegaskan bahwa sosok ayah bukan sekadar label “tulang punggung keluarga”, melainkan meluas menjadi sumber rasa aman, tempat anak bertumbuh, dan faktor penting dibalik perkembangan positif seorang anak seperti Abe.
Fatherless merupakan fakta yang harus dihadapi masyarakat kita akan betapa perlunya perhatian yang lebih dari orang tua demi tumbuh kembang buah hati di usia emasnya. Transparansi mendidik dan keaktifan mereka menjadi tamparan keras untuk mengubah stigma sosok pahlawan ini, menjadi ayah yang aktif bagi anaknya bukan hanya menjadi suatu pilihan, melainkan kebutuhan. Sosok yang menjadi “bahu dan punggung” harus didorong menjadi “otak” untuk berpikir secara strategis demi perkembangan buah hati di masa emasnya, melalui tindakan konkret yang nyata.
Ari Gabriel Indra Pradnya Pasaribu
Prodi Ilmu Hukum - Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
