Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Menjelajahi Kuliner Halal di Jepang: Ramen dan Ramah Muslim

Agama | 2025-06-10 15:53:32
Wisata Jepang (Photo Republika)

Bagi sebagian penikmat kuliner, terutama di luar Jepang, frasa "ramen tanpa kaldu babi, itu bukan ramen" atau "mana ada ramen yang halal?" mungkin terdengar familiar. Ungkapan-ungkapan ini mencerminkan persepsi umum yang kuat, seringkali didasari pada resep tradisional ramen yang memang kaya akan kaldu babi.

Namun, seiring dengan globalisasi dan peningkatan interaksi budaya, persepsi ini mulai luntur dan digantikan oleh realitas yang lebih inklusif. Jepang, sebuah negara yang terkenal dengan tradisi kulinernya yang kaya, kini semakin membuka diri dan beradaptasi dengan kebutuhan beragam komunitas, termasuk para mahasiswa dan pengunjung muslim.

Pergeseran ini bukanlah fenomena baru, melainkan telah berlangsung selama beberapa waktu. Saya pribadi menyaksikan langsung evolusi ini pada tahun 2016 ketika berkunjung ke Nagoya University bersama Profesor Abustani Ilyas, didampingi oleh Sensei Bangsawan. Di sana, di kantin kampus yang ramai, saya menemukan adanya loket khusus sajian halal.

Ini adalah pemandangan yang menarik dan menggembirakan, menunjukkan komitmen institusi pendidikan Jepang untuk mengakomodasi mahasiswa dari berbagai latar belakang keyakinan.

Kejadian serupa terulang kembali saat saya terakhir mengunjungi Kanazawa University bersama Surur Sensei (2025); kantin di sana pun telah menyiapkan makanan halal bagi para mahasiswanya.

Adaptasi Kampus: Dari Dapur Hingga Ruang Ibadah

Kehadiran loket makanan halal di kantin-kantin universitas terkemuka di Jepang bukanlah sekadar kebetulan. Ini adalah bagian dari upaya yang lebih besar dan terencana oleh kampus-kampus di Jepang yang secara aktif merekrut dan menyambut mahasiswa asing, termasuk mereka yang berasal dari negara-negara mayoritas muslim.

Universitas-universitas ini memahami bahwa untuk menarik talenta terbaik dari seluruh dunia, mereka perlu menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung secara holistik. Salah satu aspek fundamental dari dukungan ini adalah ketersediaan makanan yang sesuai dengan diet keagamaan.

Adaptasi ini melampaui sekadar penyediaan bahan baku halal. Proses penyajian, mulai dari pemisahan peralatan masak, penggunaan minyak goreng yang berbeda, hingga pelatihan staf tentang standar halal, semuanya merupakan bagian integral dari upaya ini.

Tentu saja, ini memerlukan investasi dan perubahan paradigma dalam operasional kantin. Namun, manfaatnya jauh lebih besar: terciptanya lingkungan yang inklusif, meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan mahasiswa muslim, serta memperkaya keberagaman budaya di dalam kampus.

Tidak hanya urusan perut, perhatian terhadap kebutuhan mahasiswa muslim juga merambah ke aspek spiritual. Banyak kampus di Jepang kini menyediakan ruang sholat yang layak dan nyaman.

Keberadaan fasilitas ini menjadi pilar keberagamaan bagi mahasiswa muslim untuk dapat menjalankan ibadah wajib mereka di tengah aktivitas akademik. Ruang sholat ini seringkali dirancang dengan mempertimbangkan arah kiblat dan dilengkapi dengan fasilitas dasar seperti tempat berwudu.

Hal ini menunjukkan bahwa kampus-kampus Jepang tidak hanya berfokus pada kebutuhan akademik, tetapi juga pada kesejahteraan spiritual dan mental mahasiswanya.

Meredefinisi Ramen: Inovasi dan Inklusivitas

Kembali ke pertanyaan awal tentang ramen halal. Jika dahulu anggapan "ramen tanpa kaldu babi, itu bukan ramen" mendominasi, kini realitasnya jauh lebih kompleks dan menarik.

Dengan semakin banyaknya inovasi dan kreasi dalam dunia kuliner, banyak koki ramen di Jepang, baik di lingkungan kampus maupun di luar, telah berhasil menciptakan ramen yang lezat dan otentik tanpa menggunakan bahan-bahan non-halal. Kaldu ayam, kaldu ikan, atau bahkan kaldu berbasis sayuran kini menjadi alternatif yang populer dan mampu menghasilkan cita rasa ramen yang kaya dan mendalam.

Selain itu, penggunaan daging halal seperti ayam atau sapi juga semakin umum. Apalagi dengan daging wagyu (Kobe), harganya di atas daging sapi yang lain.

Perkembangan ini adalah bukti nyata bahwa tradisi kuliner dapat beradaptasi dan berkembang tanpa kehilangan esensinya. Alih-alih terpaku pada resep tunggal, para koki dan produsen makanan di Jepang menunjukkan fleksibilitas dan kreativitas untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin beragam.

Ini tidak hanya membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk menikmati hidangan ikonik Jepang ini, tetapi juga membuktikan bahwa inovasi dapat berjalan beriringan dengan inklusivitas.

Pergeseran paradigma ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan minoritas, tetapi juga tentang pengakuan terhadap nilai-nilai globalisasi dan keragaman. Jepang, sebagai salah satu destinasi studi dan wisata yang populer, menyadari pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah bagi semua pengunjung dan penduduknya.

Ketersediaan makanan halal dan fasilitas ibadah adalah langkah-langkah konkret yang menunjukkan kesadaran ini.

Pada akhirnya, kisah tentang ramen halal dan fasilitas ramah muslim di kampus-kampus Jepang adalah cerminan dari masyarakat yang semakin terbuka dan adaptif. Mitos-mitos lama tentang "ketidakmungkinan" kini telah terbantahkan oleh realitas yang menunjukkan bahwa dengan kemauan dan inovasi, perbedaan dapat dijembatani dan keragaman dapat dirayakan.

Hal ini tentu memberikan harapan bagi masa depan yang lebih inklusif dan saling memahami di seluruh dunia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image