Pengorbanan Sejati: Meneladani Makna Kurban dalam Islam
Agama | 2025-06-07 06:09:44
Dalam kehidupan ini, setiap manusia pada akhirnya akan dihadapkan pada momen-momen ketika ia harus memilih: antara mempertahankan sesuatu yang dicintainya atau merelakannya demi sesuatu yang lebih tinggi nilainya. Dalam Islam, itulah yang disebut dengan pengorbanan sejati—sebuah tindakan melepaskan bukan karena terpaksa, melainkan karena cinta kepada Allah yang mengalahkan segalanya. Dan dari seluruh ajaran Islam, tak ada momen yang begitu menggambarkan esensi pengorbanan itu selain Hari Raya Kurban.
Idul Adha bukan sekadar hari raya tahunan, melainkan peringatan agung terhadap kisah yang mengguncang kemanusiaan: kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Sebuah kisah yang tak hanya mengharukan, tetapi juga menyimpan pelajaran mendalam tentang keimanan, ketaatan, dan cinta kepada Allah. Ketika Ibrahim diperintahkan melalui mimpi untuk menyembelih anaknya sendiri, ia tidak membantah. Ia tidak menawar. Ia tidak mencoba mencari pembenaran untuk lari dari perintah itu. Justru ia sampaikan dengan lembut kepada Ismail, dan luar biasanya, sang anak pun menyambutnya dengan sabar dan ridha.
Bayangkan betapa besar cinta Ibrahim kepada Ismail. Bertahun-tahun ia menanti kehadiran anak itu, dan kini, ketika ia akhirnya memiliki putra yang menjadi cahaya mata dan harapan, ia justru diperintahkan untuk mengorbankannya. Namun, Ibrahim memilih Allah di atas segalanya. Dan Ismail, yang bisa saja lari, menangis, atau memberontak, malah memilih untuk mendukung keputusan ayahnya karena ia tahu: ini bukan tentang mereka, ini tentang Allah.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa pengorbanan sejati bukanlah kehilangan, tetapi bentuk tertinggi dari kepatuhan. Allah, dalam rahmat-Nya, tidak benar-benar mengambil Ismail. Ia menggantinya dengan seekor domba sebagai tanda bahwa yang dinilai oleh Allah bukanlah hasil akhirnya, tapi niat dan kesungguhan hati. Dari sini, kurban menjadi syariat abadi yang terus kita lestarikan setiap tahun.
Namun, kita sering keliru. Kita pikir kurban hanya sebatas menyembelih kambing, sapi, atau unta. Padahal, yang Allah kehendaki bukanlah daging atau darahnya, melainkan ketakwaan dan keikhlasan hati kita. Kurban sejati adalah ketika kita berani melepaskan ego, menyerahkan waktu, harta, bahkan ambisi pribadi demi sesuatu yang lebih mulia. Ketika kita menahan amarah demi menjaga silaturahmi, ketika kita menahan diri dari ghibah dan prasangka, ketika kita memberi kepada yang membutuhkan meski kita sendiri kekurangan itulah kurban yang sejati.
Dalam dunia yang makin materialistik dan egosentris, semangat pengorbanan perlahan memudar. Kita lebih senang menerima daripada memberi, lebih gemar mengumpulkan daripada melepaskan. Maka, Idul Adha hadir bukan hanya sebagai ritual tahunan, tapi sebagai momen refleksi: masihkah kita mampu berkorban? Masihkah kita menjadikan Allah sebagai pusat dari segala keputusan hidup kita?
Pengorbanan sejati bukan tentang kehilangan, tapi tentang keikhlasan. Ketika seorang ibu bangun di tengah malam demi bayinya, ketika seorang guru dengan sabar membimbing murid-muridnya, ketika seorang anak menunda kesenangannya demi membantu orangtua semuanya adalah bentuk kurban dalam kehidupan nyata. Tidak ada kambing yang disembelih di sana, tapi ada ego yang dikalahkan, ada cinta yang dijaga, ada Tuhan yang dituju.
Mari kita bertanya pada diri sendiri: apa yang sudah aku korbankan demi Allah? Apakah aku sudah rela melepaskan sesuatu yang kucintai jika itu membuatku lebih dekat kepada-Nya? Ataukah aku masih sibuk mempertahankan dunia yang fana dan lupa bahwa hidup sejatinya adalah pengabdian?
Hari Raya Kurban bukanlah akhir dari ibadah, tapi awal dari sebuah cara pandang baru. Kurban mengajarkan kita untuk siap melepaskan apa pun yang menahan kita dari Allah. Dan dalam setiap hewan yang kita sembelih, sesungguhnya kita sedang menyembelih sifat tamak, angkuh, dan cinta dunia yang berlebihan.
Pengorbanan sejati adalah ketika hati kita sudah tak terikat lagi pada selain Allah. Ketika kita mampu berkata: “Ya Allah, Engkau cukup. Jika Engkau ridha, maka hilang pun tak mengapa.” Pada saat itulah, kurban kita benar-benar diterima.
Semoga Idul Adha tahun ini tidak hanya menyisakan bau daging bakar dan pesta makan-makan, tapi menjadi momentum untuk menajamkan keikhlasan, memperdalam ketaqwaan, dan membentuk jiwa yang siap berkorban kapan pun dan di mana pun. Karena dalam setiap pengorbanan yang tulus, selalu ada keberkahan yang turun, ada cinta Allah yang mendekat, dan ada diri yang semakin matang dalam iman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
