Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ramdhan Muhaimin,S.Sos.,M.Soc.Sc

'Solusi Dua Negara' Sudah tak Relevan?

Politik | 2025-06-05 18:17:39

Pidato Presiden Prabowo usai pertemuan dengan Presiden Prancis Immanuel Macron, Rabu (28/05/2025) yang lalu, mengenai rencana pengakuan Indonesia atas Israel jika negeri zionis tersebut mengakui kedaulatan Palestina sebagai negara memicu polemik publik. Sementara genosida Israel di tanah Palestina masih berlangsung hingga saat ini. Ada yang mengapresiasi pernyataan Prabowo sebagai pernyataan yang ‘berani’ dari Indonesia. Tapi tidak sedikit yang kecewa dan menyayangkan pernyataan tersebut karena dinilai menyakitkan rakyat Palestina, bahkan bertentangan dengan konstitusi Indonesia.

Juru bicara dari Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK) Ujang Komaruddin dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta mengatakan pernyataan Presiden Prabowo cukup jelas dan tidak perlu dimaknai bias. Jelas, karena pernyataan tersebut sejalan dengan sikap Indonesia yang mendukung Solusi Dua Negara (Two-State Solution) dalam konflik Israel dan Palestina. Bahwa Indonesia bersama PBB dan dunia Islam cenderung kepada opsi Solusi Dua Negara sesuai dengan batas-batas wilayah pasca Perang Enam Hari tahun 1967. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mendukung pernyataan Prabowo. Menurutnya, kerangkanya Solusi Dua Negara (Two-State Solution). Presiden Prabowo benar, merdeka Palestina dahulu. Fokus sekarang segera merdekakan Palestina, segera gulirkan proses kemerdekaan Palestina. Bersama seluruh negara pendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia dapat mengorkestrasi proses kemerdekaan Palestina.

Sementara itu, masyarakat sipil (civil society) terutama berbasiskan Islam seperti Majelis Ulama Indonesia dan ormas Islam sangat menyayangkan pernyataan Prabowo apalagi di tengah genosida yang masih berlangsung di Gaza. Pizaro Ghozali Idrus dari Gazamedia.net misalnya, menyatakan tidak seharusnya pemimpin Indonesia tergoda dengan berbagai tawaran Israel. Menurutnya, teritori Palestina saat ini tinggal 10-15 persen. Itupun wilayah tersebut masih dianeksasi Israel dengan genosida warganya. Pada saat resolusi 181 tentang pembagian wilayah Israel dan Palestina dikeluarkan PBB tahun 1947, Presiden Sukarno dan Wapres Mohammad Hatta menolak resolusi tersebut. Indonesia sebagaimana dunia Arab ketika itu, mengganggap resolusi tersebut resolusi penjajahan karena Israel mendapatkan 55 persen wilayah, sementara Palestina hanya diberika 45 persen. Artinya, secara tidak langsung pernyataan Prabowo (juga sikap Indonesia yang mendukung Solusi Dua Negara) sesungguhnya tidak saja bertentangan dengan semangat Konstitusi 1945, tapi juga bertolak belakang dengan sikap Sukarno dan Hatta.

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas mengatakan Indonesia sebaiknya jangan coba-coba membuka hubungan dengan Israel. Karena Israel negara penjajah. Sementara Indonesia adalah negara yang anti penjajahan. Karena jika Israel ingin buka hubungan dengan Indonesia, mengakui Palestina tidak cukup. Israel harus bertanggung jawab terhadap genosida di Palestina. Ketua Bidang Hubungan Internasional MUI Sudarnoto menambahkan, MUI mendukung Palestina dan tidak mendukung Israel karena Israel menjajah dan menghancurkan. Inti dari perjuangan Palestina adalah memberikan kemerdekaan bagi bangsa Palestina dari penjajahan Israel. Israel sudah seharusnya menarik pasukannya dari gaza, mengembalikan setiap jengkal tanah yang direbutnya secara paksa, dan melepaskan seluruh tawanan Palestina. Jika Indonesia ingin membuka hubungan dengan Israel, Indonesia harus berdiri tegak dalam kerangka hukum internasional. Israel harus dihukum sesuai hukum internasional. Netanyahu harus ditangkap paksa sesuai putusan ICC atas kejahatannya di Palestina.

Masih Mungkinkah berharap Solusi Dua Negara ?

Pertanyaan besar yang harus direnungkan saat ini adalah apakah masih layak membicarakan apalagi mengupayakan Solusi Dua Negara. Bukankah gagasan tersebut makin kehilangan relevansinya?

Sedikit mengulas ke belakang, Solusi Dua Negara (Two State Solution) adalah substansi resolusi nomor 181 yang dikeluarkan PBB pada tahun 1947 dengan nama resmi Resolusi Pembagian Palestina (Partition on Palestine) (Britannica, 2023). Resolusi ini mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, satu wilayah untuk pendatang Yahudi dan satu wilayah lainnya bagi warga Arab, dengan Jerusalem sebagai wilayah administratif internasional di bawah kontrol PBB. Resolusi ini kemudian menjadi landasan bagi pembentukan negara Israel dengan dukungan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Eropa.

Pertama, karena resolusi tersebut dibuat secara unilateral alias sepihak oleh blok Sekutu. Resolusi 181 dikeluarkan PBB tanpa dilakukan konsultasi ataupun meminta persetujuan rakyat Palestina sebagai warga pribumi. Sementara saat itu, orang yahudi adalah warga pendatang dari Eropa. Resolusi dikeluarkan atas desakan Inggris dan Amerika Serikat sebagai negara pemenang Perang Dunia Kedua yang menerima mandat dari PBB untuk wilayah Palestina. Tidak heran jika resolusi ini disebut sebagai resolusi yang memberi jalan bagi penjajahan baru (new colonialism).

Kedua, karena migrasi pemukim Yahudi. Pasca Perang Dunia Pertama, imigrasi Yahudi ke Palestina yang didukung Inggris dan masyarakat Yahudi internasional meningkat tajam. Pada awalnya, bagi warga pribumi Palestina, kedatangan imigran Yahudi ke wilayahnya sebagai pengungsi akibat tekanan dan kekerasan yang mereka alami di Eropa. Warga Palestina menyambut dengan tangan terbuka dan kehangatan. Namun gelombang kedatangan tersebut berubah dengan cepat menjadi kolonisasi. Resolusi seperti memberi legalisasi dan justifikasi kepada imigran Yahudi untuk perubahan status dari pendatang menjadi pemilik tanah.

Ketiga, ketidakadilan pembagian wilayah. Bukan saja rakyat Palestina diabaikan dalam dalam proses resolusi ini, tapi Resolusi 181 tersebut justru memberikan 55% wilayah Palestina kepada orang Yahudi, sedangkan warga Palestina sendiri hanya menempati tanah pribuminya 43%. Padahal jauh sebelum Perang Dunia, masyarakat Yahudi sudah ada di Tanah Palestina dan menjadi minoritas. Mereka hidup rukun dengan mayoritas Muslim dan komunitas Kristen selama berabad-abad.

Keempat, karena wilayah Israel terus bertambah luas. Pada tahun 1967 pecah perang Arab dengan Israel, justru tiga tahun setelah PLO didirikan. Dalam perang itu, Israel berhasil merebut wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. PBB lalu mengeluarkan resolusi baru nomor 242 untuk ‘mengakomodasi’ perubahan geopolitik dimana Israel berhasil memenangkan Perang Enam Hari dari Yordania, Mesir, dan Suriah. Artinya, konsepsi Dua Negara (Two State) tidak lagi berdasarkan Resolusi 1947.

Resolusi 242 tahun 1967 menunjukkan tidak saja kekalahan negeri-negeri Arab dalam memperjuangkan Palestina, tapi juga ketidakberdayaan dalam upaya diplomasi multilateral serta perpecahan diantara mereka. Meskipun mandat resolusi memerintahkan agar Israel menarik mundur militernya dari Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan, tapi kenyataanya setelah itu, dan melalui diplomasi yang dibantu AS dan Eropa, luas wilayah Israel justru bertambah. Dunia Arab dan Islam lambat laun melupakan resolusi PBB no 181 sebelumnya. PLO pun tidak berdaya.

Kelima, karena berkali-kali berunding, pembentukan negara Israel semakin kuat. Dunia hanya berpihak pada Israel. Sistem dunia membantu pembentukan negara Isral, tapi tidak dengan Palestina. Meskipun aroma kolonialisme sangat kental dalam Resolusi 181/1947, namun upaya pembentukan negara Israel terus berjalan. Dalam rentang waktu 1948 hingga 1973, negara-negara Arab (Mesir, Yordani, Suriah, dan Lebanon) melakukan perang dengan Israel sebagai bentuk penolakan terhadap resolusi tersebut. Hingga tahun 2000, terjadi lebih dari lima kali perundingan Israel dengan Palestina. Hasilnya dari semua itu, wilayah Israel justru semakin luas dari yang ditetapkan Resolusi 181 maupun 242. Sementara wilayah Palestina semakin menyusut hingga hanya tinggal 15 %. Itupun wilayah Gaza diblokade dengan tembok yang membetang mengelilingi sepanjang 65 km.

Faksi perlawanan Palestina, terutama HAMAS dan Jihad Islam memandang kampanye dua negara sebagai solusi tidak ubahnya janji kosong tatanan dunia terhadap Palestina. Tidak ada langkah nyata pembentukan Palestina Merdeka. Tapi yang nyata adalah pendirian kedaulatan Israel. Peta Jalan Damai (Road Map of Peace) yang disusun Barat dan inisiatif perdamaian yang dibuat Liga Arab lebih mengakomodasi stabilitas regional untuk kepentingan nasional ekonomi masing-masing anggota Liga ketimbang sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi Palestina.

Puncaknya, normalisasi hubungan negara-negara Arab dan Israel melalui Abraham Accord pada 2020. Tapi tidak ada peta jalan menuju kemerdekaan Palestina ataupun peta jalan pembentukan negara Palestina. Pada akhirnya, bagi kedua faksi yang menguasai Jalur Gaza ini, perlawanan bersenjata adalah pilihan rasional (rational choice) yang paling relevan ditempuh untuk menahan laju Israel menguasai Palestina keseluruhan, serta solusi bagi rakyat Palestina untuk meraih kemerdekaannya meskipun PLO berseberangan dengan mereka.

Akhirnya, jika yang satu pihak diperkuat (Israel), sementara pihak lain diperlemah (Palestina), lalu untuk apa gagasan Solusi Dua Negara? Latar belakang inilah menjadi dasar bagi prinsip pemikiran dan sikap faksi perlawanan maupun rakyat Palestina. Setelah 76 tahun penjajahan, lalu untuk apa Solusi Dua Negara?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image