Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmat Jabir

Pernikahan Usia Dini: Antara Budaya dan Masa Depan Anak

Pendidikan dan Literasi | 2025-06-04 11:05:25
Sumber: https//pixabay.com (ilustrasi laki-laki dan perempuan)

Pernikahan usia dini merupakan fenomina sosial yang sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Seperti baru-baru ini, viral di media sosial pernikahan yang dilaksanakan di Lombok Tengah (NTB), mempelai perempuan yang masih duduk dibangku sekolah pertama (SMP) dan mempelai pria masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK). Hal ini tentu bukan sesuatu yang baru, sebab dikasus-kasus sebelumnya juga pernah terjadi hal yang serupa. Dalam banyaknya kasus pernikahan usia dini tidak sedikit yang menganggap sesuatu yang normal, wajar, sudah biasa, bahkan terhormat, sebagai bagian dari warisan leluhur. Meski sudah ada regulasi mengenai batas usia minimal pernikahan, tradisi dan budaya serta warisan leluhur menjadi faktor dalam melanggengkan praktek pernikahan usia dini.

Dorongan Budaya

Di beberapa wilayah di Indonesia, menikahkan anaknya pada usia dini dianggap menjaga kehormatan, bahkan orang tuanya merasa senang apabila anak perempuan atau anak laki-lakinya segera menikah, karena itu adalah bukti bahwa anaknya di anggap cantik atau tampan, dan dengan begitu orang tuanya merasa sudah lepas tanggung jawab terhadap sang anak. Hal ini juga diperkuat oleh sistem sosial yang masih bersifat patriarki, di mana seorang perempuan diharapkan hanya menjadi istri dan ibu rumah tangga tanpa mencapai kemandirian ekonomi atau pendidikan tinggi. Meskipun dianggap sebagai warisan budaya, tradisi seperti ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan perlindungan anak. Maka, nilai-nilai budaya harus dievaluasi serta diubah agar tidak merugikan generasi muda, baik itu perempuan ataupun laki-laki.

Dampak Terhadap Pendidikan

Terputusnya anak-anak dalam menempuh pendidikan. Mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan setelah menikah, karena sebagai laki-laki jika sudah menikah, harus mencari nafkah untuk kebutuhan istri atau keluarganya, sedangkan yang perempuan juga akan fokus pada urusan rumah tangga. Keduanya tidak memiliki kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, meningkatkan keterampilannya, dan meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan formal. Padahal kurangnya pendidikan juga berdampak pada kemampuan berpikir kritis yang dapat membuat keputusan-keputusan keliru apabila dihadapkan pada persoalan rumah tangga, mereka belum siap dan bahkan bisa jadi, terjadi kehancuran dalam rumah tangganya.

Dampak Ekonomi dan Ketergantungan

Belum memiliki pekerjaan tetap maupun keterampilan ekonomi. Tanpa pendidikan dan pelatihan yang memadai, mereka sulit memperoleh pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka sering bergantung ekonomi pada orang tua atau keluarganya, hal inilah yang menjadikan mereka rentan terhadap pertengkaran dan kekerasan, bahkan pembunuhan.

Dampak Psikologis dan Sosial

Anak-anak yang menikah di usia dini belum mencapai tingkat emosional yang cukup. Mereka masih dalam tahap perkembangan psikologis, dimana mereka lebih membutuhkan dukungan dari pada beban tanggung jawab rumah tangga. Akibatnya, anak-anak yang menikah muda sering menghadapi tantangan yang berkaitan dengan kehidupan pernikahan, padahal mereka sendiri belum selesai menjalani masa remajanya. Secara sosial, komunitas yang membiarkan praktik pernikahan dini berkembang, juga akan mengalami kerugian dalam jangka panjang. Kualitas sumber daya manusia akan turun, dan berbagai masalah sosial seperti perceraian dini dan kehamilan, memiliki risiko tinggi, serta keterbatasan akses perempuan terhadap hak-hak akan terus berulang.

Menghindari pernikahan usia dini

Pernikahan dini memiliki dampak negatif yang sangat luas, mulai dari Pendidikan yang terhenti, tekanan mental, ekonomi serta kesehatan pada anak juga akan terganggu. Oleh karena itu, sangat penting untuk menghentikan praktik ini melalui edukasi, pemberdayaan anak-anak, dan pelibatan tokoh masyarakat dalam mengubah kebiasaan budaya yang tidak baik. Anak-anak berhak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan berpendidikan, dari pada dibebani dengan tugas yang belum saatnya mereka pikul. Anak-anak yang menikah terlalu muda akan kehilangan kesempatan untuk hidup mandiri, dan memiliki masa depan yang cerah. Padahal sejatinya setiap anak berhak atas kebebasan untuk tumbuh, belajar, dan memilih jalan hidup sendiri tanpa dipaksa untuk menikah sebelum waktunya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image