Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Solo, Kota yang Lupa Menulis Tentang Dirinya Sendiri

Historia | 2025-06-03 19:01:49
Dok: eventkampus.com

Sore itu, Taman Balekambang tak hanya menyajikan lahan yang masih asri dan suara orang-orang yang bercengkrama hingga bersenda gurau, tapi juga jadi saksi sebuah obrolan santai yang katanya reflektif. Acara bertajuk “Wedangan Bareng Mas Respati dan Mbak Astrid: Refleksi 100 Hari Kinerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta” seperti hendak membawa publik Solo menyisip teh sembari menyesap kesadaran. Tapi entah mengapa, saya yang datang dengan membawa gambaran akan Solo yang literer, justru pulang dengan rasa getir yang makin pekat dari kopi tubruk.

Kota ini, yang katanya kota budaya, kota kuliner, kota perdagangan–tiga mantra yang seolah jadi jimat pamungkas tiap kali setiap Wali Kota ingin menjual Solo ke dunia luar–ternyata sedang melupakan satu sisi penting dari dirinya sendiri: bahwa Solo pernah, dan semestinya masih, adalah kota literasi. Kota tempat huruf-huruf tumbuh dari tanah dan kalimat-kalimat mekar dari pemikiran yang berani.

Namun sore tadi, tak ada sepatah pun dari mereka yang menyebut nama Marco Kartodikromo, tokoh yang pena dan pikirannya dibuang hingga ke Digul karena terlalu subversif bagi telinga penjajah. Tak ada pula nyanyian kecil untuk H. Misbach, sang ustaz merah yang menulis dengan darah, iman, dan ide-ide pembebasan. Dan tentu saja, tak satu pun mengingat bahwa dari tanah Solo ini, pernah lahir media-media progresif, mencerdaskan, menggelitik, dan terkadang menyulut bara di dada penguasa. Yang terdengar hanya nama Jokowi dan Prabowo yang keluar dari mulut Bapak Wali Kota.

Sayang, Solo hari ini lebih bangga pada wedangan basuki daripada sosok-sosok seperti Misbach. Lebih ramai membicarakan batik motif baru daripada manuskrip tua yang mengandung gelora zaman. Para pejabat menyebut Solo sebagai kota kuliner, seolah kuah sotonya lebih menggugah daripada gagasan. Mereka menyebut kota budaya, tapi budaya macam apa yang dimaksud, kalau sastra dan jurnalistik hanya jadi hiasan di festival musiman yang lebih mirip pasar malam?

Sore tadi, saya ingin berdiri dan bertanya: “Mas, Mbak, di mana Solo yang literer? Apakah sudah dikubur di bawah bangunan beton dan baliho ‘event’ tahunan yang penuh spanduk tapi kosong naskah?” Tapi angkat tangan saya dan rekan saya tak menarik mata moderator.

Di masa silam, Solo tak hanya melahirkan tembang-tembang dolanan, tapi juga kritik-kritik tajam terhadap kolonialisme, feudalisme, dan penindasan. Di masa silam, pena bisa lebih tajam daripada keris, dan ruang diskusi bisa lebih sakral daripada altar kekuasaan. Namun kini, diskusi publik lebih sering diganti dengan seminar instan dan “talkshow” berhadiah goodie bag. Tak apa tidak paham, asal dokumentasinya estetik.

Saya membayangkan, andai Marco Kartodikromo hidup hari ini, barangkali ia akan kesulitan menulis. Bukan karena kekurangan ide, tapi karena terlalu banyak baliho yang menghalangi pandangan. Ia barangkali akan dituduh nyinyir, atau malah dicap tidak menghargai ‘kinerja’ yang belum seumur jagung. Ia barangkali akan diseret bukan ke penjara, tapi ke seminar "literasi digital" yang hanya mengajarkan cara memakai Canva dan membuat konten TikTok viral.

Satire ini, jika boleh disebut begitu, bukan ditujukan untuk mengolok-olok semata. Tapi untuk menggugah: bahwa kota yang tidak merawat sejarah intelektualnya adalah kota yang kelak hanya akan dipuja karena oleh-oleh, bukan oleh pikiran. Kota yang hanya dibaca sebagai destinasi, bukan sebagai narasi. Dan betapa menyedihkannya menjadi generasi yang hidup di kota yang menulis sejarah, namun kini bahkan tak lagi menulis tentang dirinya sendiri.

Lalu, siapakah yang bertanggung jawab? Pemerintah? Mungkin. Tapi kita pun, warga yang dulu membaca di emperan toko buku loak, yang pernah menulis puisi di pinggir Bengawan, punya andil dalam pelupaan ini. Kita terlalu sering terpukau pada lampu kota, hingga lupa bahwa cahaya paling terang datang dari ide yang ditulis, dicetak, dan disebarkan.

Saya pun menulis ini bukan untuk nostalgia kosong. Tapi sebagai pengingat: bahwa sejarah literasi Solo tak akan menulis dirinya sendiri. Ia menunggu kita, anak-anak muda yang tak hanya bisa mengutip, tapi juga menggerutu dengan cerdas. Yang tak hanya memuja HOS Tjokroaminoto dalam seminar, tapi juga membaca H. Misbach di kamar kos. Yang tak hanya mengabadikan acara lewat story Instagram, tapi menuliskan ulang Solo dalam esai, cerita pendek, dan opini yang menggugah.

Mungkin saya terlalu sentimentil. Tapi bukankah cinta pada kota kadang memang lahir dari sentimen yang tak kunjung padam? Dari luka melihat kota ini lebih sering dibungkus narasi komodifikasi ketimbang dielus dengan perenungan yang sunyi? Dari harapan bahwa suatu hari nanti, seorang pejabat kota berdiri di podium dan berkata: “Kami bangga karena Solo adalah kota yang pernah melahirkan para pemikir, para penulis, para pemberontak pena.”

Sampai hari itu tiba, saya akan terus menulis. Entah di bawah rindang pohon Taman Balekambang, di bangku kosong kafe sagara yang dulunya coffee shop, di pojok ruang baca yang debunya lebih tebal daripada jumlah pengunjungnya. Selagi kaki ini masih menikmati pajak kota ini saya akan terus menulis Solo, agar kota ini tak kehilangan dirinya sendiri. Agar anak-anak kelak tahu bahwa Solo bukan hanya tempat lahirnya Pak Jokowi, tapi juga tempat lahirnya selarik pemikiran.

Dan jika suatu saat anak muda membaca esai ini dan bertanya, “Kenapa dulu pejabat-pejabat itu tak pernah menyebut Solo sebagai kota literasi?” Maka saya akan jawab dengan lirih, “Karena mereka lebih sibuk menyuapi rakyat dengan hiburan daripada menyuapi mereka dengan pemikiran.”

Solo–meski hanya menjadi tempat singgahku–yang saya cintai, semoga kau lekas ingat bahwa dulu kau adalah kota tulisan. Kota di mana pena pernah menjadi senjata. Kota di mana menulis adalah cara mencintai. Dan semoga, suatu hari, kau akan kembali menulis tentang dirimu sendiri, dengan bangga, dengan berani, dengan jujur.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image