Membangun Mahasiswa Bervisi Sosial Melalui Kurikulum Apresiatif (Bag #01)
Eduaksi | 2022-03-06 08:45:40Pada konteks di dunia pemberitaan, walaupun sudah berusaha dihapuskan, seringkali masih berlaku bad news is a good news, yaitu bahwa berita buruk adalah ladang bagi viralnya berita. Sehingga ekspos berita tentang keburukan perilaku anggota masyarakat tertentu, seringkali lebih hebat dibandingkan mengangkat prestasi dari individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat. Akibatnya, secara umum, masyarakat akan lebih terbiasa menelan atau melahap berita keburukan perilaku/kejelekan moralitas dibandingkan urgensi membangun semangat berprestasi. Masyarakat dikawatirkan akan berpikir bahwa mereka hidup di tengah kriminalitas, perjudian, perzinahan, tipu-menipu, perkelahian dan sebagainya, dibandingkan dengan perasaan bahwa mereka hidup di antara anggota masyarakat yang haus akan prestasi, memiliki dorongan untuk berkontribusi di tengah masyarakat, berempati sosial dan atau berkeingingan untuk membuat suasana lingkungan semakin kondusif untuk menuntut ilmu.
Sehingga, semakin disadari bahwa sistem ekologis diluar kurikulum pembelajaran juga perlu semakin menjadi perhatian. Hal ini, tentunya untuk mendukung tercapainya amanah besar pembelajaran generasi, yaitu menciptakan generasi mendatang yang berjiwa nasionalisme, memiliki empati sosial untuk berkontribusi pada pembangunan dan juga memiliki kreativitas tinggi mengembangkan ragam inovasi bidang ilmunya, demi sebesar-besarnya kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia. Konteks ini, sangat sesuai dengan perkembangan kredo perguruan tinggi, yang sudah semakin berubah dari sekedar membangun pengetahuan tertulis (knowledge) ke arah menciptakan ilmu praktis yang memiliki daya guna tinggi sebagai kontributor pembangunan (know-how)
Perkembangan Zaman
Perkembangan jaman dan teknologi -atau dikenal dengan revolusi industry 4.0- yang terjadi secara global tidak dapat dielakkan. Isu ini sering kali menghanyutkan dan melenakan kita terhadap apa yang detik demi detik denyut pembangunan bangsa Indonesia yang tidak seratus persen “nyambung’ dengan revolusi industri tersebut.
Ragam permasalahan sosial, denyut jantung dan dinamika pendapatan warga kelas menengah kebawah Indonesia adalah kenyataan didepan mata. Masih tingginya arus impor barang, belum optimalnya hasil pertanian, perkebunan, peternakan dan beragam sektor lainnya adalah kenyataan yang tidak dapat ditutupi begitu saja.
Di sisi lain arus global menderu begitu cepat, tegas dan tanpa ampun. Tantangannya adalah bagaimana mensinkronisasikannya? Bagaimana agar salah satu tidak menjadi korban dari yang lainnya? Bagaimana agar tidak tergilas oleh modernisasi kemajuan teknologi global?
Sumber Daya Manusia
Isu SDM tidak akan pernah lekang oleh masa. Ragam upaya penyiapan sumber daya manusia terbaik adalah topik yang selalu hangat di setiap zaman. Perguruan Tinggi dalam hal ini, adalah kasta tertinggi pendidikan dengan amanah penuh untuk menyiapkan manusia penggerak pembangunan plus pencetak ilmuan pengembang inovasi dan teknologi. Kurikulum Perguruan tinggi, seyogianya adalah puncak dari amanah optimasi ilmu pengetahuan untuk maslahat bangsa , setelah siswa mendapatkan pemahaman dasar tentang ilmu selama menempuh pendidikan dasar dan menengah.
Amanah dari Peraturan Mentri
Kementerian riset, teknologi dan pendidikan tinggi direktorat jenderal pembelajaran dan kemahasiswaan direktorat pembelajaran 2016, melalui pedoman penyusunan kurikulum perguran tinggi telah mengamanahkan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi merupakan amanah institusi yang harus senantiasa diperbaharui sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan IPTEK yang dituangkan dalam Capaian Pembelajaran. Perguruan tinggi sebagai penghasil sumber daya manusia terdidik perlu mengukur lulusannya, apakah lulusan yang dihasilkan memiliki ‘kemampuan’ setara dengan capaian pembelajaran yang telah dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI.
Maknanya, pemerintah telah menyusun standar kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi, sebagai standar kualitas minimal yang dapat dipertanggungjawabkan di pasar Industri. Namun cukupkah itu? Apakah standar tersebut telah mampu membentuk jiwa nasionalisme dan etos spiritualitas yang mumpuni, sehingga mampu memastikan bahwa lulusan Perguruan tinggi bukan justru akan ‘berseberangan’dengan semangat pembangunan? Apakah ada jaminan bahwa mereka akan mengerahkan pikiran dan energinya untuk kemakmuran rakyat atau justru mensejahterakan industri milik asing?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.