Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhtar Arifin

Bertahap Dalam Mengambil Sikap

Eduaksi | Saturday, 05 Mar 2022, 23:14 WIB

Di antara tabiat kehidupan dunia adalah adanya permasalahan. Selama seseorang masih hidup, ia akan menghadapi suatu permasalahan dalam hidupnya. Seseorang bisa bermasalah ketika berinteraksi dengan dirinya sendiri, atau ketika bermu’amalah dengan orang lain. Hidup ini tidak pernah lepas dari suatu problema. Hal itu karena Allah telah menjelaskan hakikat kehidupan dunia ini dalam firman-Nya:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan susah payah[1]. Ibnu Abbas menjelaskan tentang makna ayat tersebut dengan mengatakan:

فِي شِدَّةٍ مِنْ حَمْلِهُ وَوِلَادَتِهِ وَرَضَاعِهِ وَنَبْتِ أَسْنَانِهِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَحْوَالِهِ.

“Dalam kesusahan ketika mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, pertumbuhan gigi-giginya dan keadaan-keadaan lainnya”[2]. Imam Al-Munbiji telah membawakan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud:

لِكُلِّ فَرْحَةٍ تَرْحَةٌ، وَمَا مُلِئَ بَيْتٌ فَرَحًا إِلاَّ مُلِئَ تَرَحًا.

Dalam setiap kegembiraan terdapat kesedihan. Tidaklah sebuah rumah dipenuhi dengan kegembiraan melainkan dipenuhi dengan kesedihan[3].

Setelah kita ingat bahwa manusia tidak akan lepas dari suatu masalah, maka apa prinsip dasar dalam menyelesaikan suatu masalah atau bagaimana langkah terakhir yang ditempuh oleh seseorang ketika menghadapinya? Berikut ini akan penulis sampaikan sekilas tentang langkah terakhir yang ditempuh ketika seseorang menghadapi suatu problematika.

Mutiara kata dalam Bahasa Arab.

Bangsa Arab terdahulu telah meninggalkan untuk kita warisan-warisan yang amat berharga bagi kita. Di antaranya adalah sebuah kalimat ringkas yang amat masyhur dan terdiri dari tiga kata saja yaitu:

آخِرُ الدَّوَاءِ اْلكَيُّ

Pengobatan terakhir adalah dengan Kay (menggunakan besi panas yang ditempelkan).

Ungkapan ini telah disebutkan oleh sejumlah ulama ahli bahasa, antara lain:

1. Abu Hilal Al Askari[4].

2. Abu Manshur Ats Tsa’alibi[5].

3. Abul Fadhl Al-Maidani[6]

Maksud dari kalimat di atas adalah bahwa ketika seseorang menangani sesuatu hendaknya dilakukan secara bertahap. Ia menempuh cara yang ringan, kemudian cara yang lebih sulit. Tidaklah seseorang menempuh cara yang sulit dalam memperbaiki sesuatu melainkan apabila cara yang mudah tidak bermanfaat.

Penerapan Mutiara Kata tersebut.

Berikut ini ada beberapa contoh penerapan dari kalimat tersebut:

1. Dalam Menjawab Soal-soal Ujian.

Kalimat tersebut dapat diterapkan ketika seseorang menjawab soal-soal ujian. Jika memungkinkan baginya untuk memilih dalam menjawabnya, maka ia menjawab soal yang mudah terlebih dahulu. Setelah soal yang mudah terselesaikan, maka ia menjawab soal yang dianggapnya sulit. Sedangkan apabila ia menjawab pertanyaan yang sulit dulu, mungkin waktunya akan habis untuk mengerjakannya, sedangkan soal yang mudah belum terjawab.

2. Dalam Medis.

Apabila ada seorang pasien datang kepada seorang dokter menyampaikan tentang keluhannya pada salah satu anggota badannya, maka ia tidak langsung mengatakan: "Saya rekomendasikan untuk amputasi ya!". Akan tetapi ia menanganinya dengan memberikan obat dulu. Jika tidak berpengaruh, maka meningkatkan dosisnya atau mengganti jenisnya. Jika belum maksimal hasilnya, maka akan diperintahkan untuk ke radiologi melakukan foto rontgen atau dengan Ct Scan. Apabila belum nampak hasilnya, maka dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Seorang dokter tidak menangani pasien langsung dengan amputasi, kecuali sebagai jalan terakhir yang ia tempuh.

3. Dalam menasihati murid.

Asal menasihati adalah dengan kelembutan sebagaimana firman Alloh kepada Nabi Musa ketika mendakwahi Fir'aun:

فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka katakanlah kepadanya ucapan yang lembut. Mudah-mudahan ia teringat atau takut[7].

Jika seorang murid dinasihati dengan cara yang halus sampai berkali-kali tidak ada perubahan, maka dengan cara yang lebih tegas. Jika dengan teguran tegas belum berubah, maka dengan cara yang lebih tegas lagi. Harun Al Rasyid berkata kepada Ahmar, pengasuh putra beliau yang bernama Al Amin:

وَقَوِّمْهُ مَا اسْتَطَعْتَ بِالْقُرْبِ وَالْمُلَايَنَةِ، فَإِنْ أَبَاهُمَا فَعَلَيْكَ بِالشِّدَّةِ وَالْغِلْظَةِ.

Luruskan kesalahan anakku sesuai kemampuanmu dengan kedekatan dan kelembutan. Jika ia enggan berubah, maka hendaknya engkau tempuh cara yang keras dan kasar[8]. Dari sini diketahui bahwa hukuman adalah bukan merupakan langkah pertama kali dalam menasihati.

4. Dalam menyikapi sikap kurang baik dari seorang istri.

Ketika terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, maka seorang suami tidak langsung mengakhiri keluarga yang sudah terbentuk dengan sebuah kata yang bisa memporakporandakan keluarga tersebut. Ia tidak gegabah dalam mengucapkan kalimat yang dapat membuat istrinya menjadi seorang janda. Kalimat apakah itu? Kalimat talak.

Seorang suami akan berusaha menasihati istrinya dengan bijak. Jika tidak berubah juga, maka dengan pisah ranjang. Jika belum berubah juga, maka dengan suatu pukulan yang mendidik, dan seterusnya. Akhirnya, jika tidak memungkinkan dilanjutkan pernikahannya, maka baru ditalak. Talak pun dilakukan dengan bertahap.

Alloh menggambarkan dalam firmamNya:

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا

Perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kalian beli nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari alasan utnuk menyusahkannya[9].

Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik untuk setiap permasalahan yang kita hadapi. Mudah-mudahan Allah memberikan kita keteguhan dalam keyakinan bahwa setiap permasalahan pasti mengandung kebaikan, hikmah dan kemaslahatan.

[1] QS. Al-Balad: 4.

[2] Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an (XX/62).

[3] Tasliyatu Ahlil Mashaib, hlm. 15.

[4] Jamharatul Amtsal (I/97).

[5] At-Tamtsil wal Muhadharah, hlm. 180.

[6] Majma’ul Amtsal (I/291).

[7] QS. Thaha: 44.

[8] Tarikh Ibnu Khaldun, (1 / 744)

[9] QS. an-Nisa’: 34.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image