Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dedy Setyo Afrianto

Ekosistem Sehat di Dunia Pendidikan

Eduaksi | 2022-03-03 10:04:46
Ilustrasi Ekosistem Sehat

Mbah Sadiman namanya, hari itu merupakan momen yang spesial bagi dirinya, lelaki 68 tahun itu diundang oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) untuk diberikan penghargaan Reksa Utama Anindha atau “Penjaga bumi yang penuh kebijakan”. Kiprahnya teramat istimewa, sejak tahun 1996 beliau seorang diri melakukan penanaman pohon beringin ratusan hektar didaerahnya Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, Jawa Tengah. Perbukitan tandus yang kering kerontang tersebab penjarahan hutan itu pada mulanya memang menimbulkan banyak problem, diantaranya sulitnya air hingga sering mengakibatkan kebakaran pada musim kemarau. Sementara sering terjadi banjir saat musim penghujan tiba.

Mbah Sadiman memperoleh penghargaan dari BNPB

Setelah bertahun-tahun melakukan upaya penanaman pohon beringin, yang ditaksir hingga belasan ribu bibit. Akhirnya warga masyarakatnya ikut bersama-sama merasakan jerih payah Mbah Sadiman. Ribuan pohon yang telah rimbun dan berakar kuat itu mendatangkan kesejukan bagi warga desanya, ditambah dengan volume air tanah yang sangat berlimpah dibandingkan dengan masa sebelumnya. Sehingga warga tidak pernah kekurangan air. Upaya Mbah Sadiman ini memang luar biasa, alih-alih mengeluh terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya, beliau dapat menjadi bagian dari solusi persoalan.

Kisah serupa juga dialami oleh Jadav Payeng, lelaki India ini dimasa mudanya sangat prihatin dengan banyaknya ular yang mati ketika melintas disekitaran sungai Brahma Putra, karena saking kering kerontangnya tanah disana, tandus dan keringnya seolah-olah sangat tidak mendukung organisme untuk hidup.

Sedih dengan situasi yang ada, Jadav Payeng diumurnya yang masih 16 tahun itu berkeinginan untuk menanami pepohonan. Awalnya, Jadav Payeng hendak melibatkan Departemen Kehutanan dengan memulai menjalin komunikasi, namun tak berhasil. Bahkan banyak warga sekitar malah makin menurunkan semangatnya kala mengatakan bahwa tidak akan ada pepohonan yang bisa tumbuh disana.

Namun karena saking teguhnya keinginan Jadav Payeng, dirinya mulai menanaminya dengan tangannya sendiri. Awalnya yang dipilih adalah pohon bambu, disiraminya setiap hari dengan penuh cinta, dirawatnya bagai anak dan keluarga sendiri. Kemudian, pohon kapas dan berbagai macam jenis tumbuhan yang lain juga ikut ditanamnya.

Hari berganti hari, bulan dan tahun, bahkan puluhan tahun, berbagai pepohonan Jadav Payeng itu tumbuh dengan suburnya, rindang dedaunannya, sejuk, luas areanya mencapai sekira 550 hektar dan membentuk hutan baru. Satu demi satu satwa masuk kedalam hutan Jadav Payeng. Harimau, badak India, rusa, kelinci, monyet, berbagai jenis burung, hidup riang berteduh dan bernyanyi di hutan Molai, nama untuk hutannya yang ternisbat atas nama Jadav Payeng. Sehingga hutan itupun menjadi satu ekosistem baru. Yang sebelumnya tanah kering tandus kering kerontang, berubah menjadi ekosistem hutan yang “mengundang” berbagai satwa untuk masuk kesana. Pada tahun 2015, Pemerintah India menganugerahinya Padma Shri, yaitu penghargaan yang diberikan untuk masyarakat sipil tertinggi ke empat di India, atas kontribusinya membangun hutan baru. Jadav Payeng juga dijuluki “Forest Man of India”, artinya manusia hutan India.

Jadav Payeng dijuluki “Forest Man of India”

Membangun hutan vs kebun binatang

Apa yang dilakukan Mbah Sadiman dan Jadav Payeng pada kisah diatas, sangat menginspirasi kita bahwa ekosistem yang sehat, tidak hanya memberikan “kesejukan” bagi organisme yang ada didalamnya, dan juga memberikan berbagai manfaat. Namun, apakah ada, banyaknya satwa, flora dan fauna namun tidak memberikan “Impact” layaknya hutan diatas ?, ada, jawabnya kebun binatang.

Apa sesungguhnya perbedaan antara hutan dengan kebun binatang ini ?. Seperti disampaikan Prof Rhenald Kasali dalam bukunya “Road to Prosperity“, bahwa didalam ekosistem hutan antara satu organisme dengan yang lainnya saling terhubung, maka rantai makanan akan timbul dengan alamiah. Rumput dan pepohonan akan dimakan kambing atau kelinci, dilanjutkan mangsa dari kucing atau anjing hutan, dilanjutkan dengan predator berikutnya seperti singa, lambat laun akhirnya singa ini mati dan bangkainya diurai dalam tanah sehingga berkontribusi pada penyemaian beraneka tumbuhan dan begitu seterusnya.

Rantai Makanan menurut ilmu Biologi

Namun apa yang Anda lihat pada kebun binatang ?, diantara mereka masing-masing dikerangkeng pada sel-sel yang sudah disiapkan, pagi, siang dan sore sudah disiapkan makanan berkilo-kilogram daging untuk sekian binatang yang ada disana. Sehingga tidak terjadi rantai makanan secara alamiah, sehingga tidak ada juga yang namanya ekosistem.

Jika pada hutan, walau sekian puluh tahun berdiri, maka organismenya akan tetap “terfasilitasi”, namun berbeda dengan kebun binatang, butuh sekian banyak resorces untuk memfasilitasi binatang-binatang ini agar tetap hidup, mulai dari petugas kebun binatangnya yang perlu digaji, perawatan kandang, makanan bagi berbagai binatang dan lain sebagainya. Tak jarang, jika Anda membaca berita belakangan hari, banyak kebun binatang yang merugi (untuk tidak dibilang bangkrut) tidak bisa mengongkosi operasionalnya, binatang-binatang nya juga pada kurus kering tak terawat, apalagi saat masa pandemi ini dimana banyak pemangkasan terjadi dimana-mana karena pembatasan kunjungan tamu.

Jangan dipersepsikan bahwa tulisan ini tidak mendukung adanya kebun binatang, namun lebih kepada analogi konektivitas agar lebih bisa dipahami pembaca sekalian.

Ekosistem sehat pada dunia pendidikan

Dalam konteks pendidikan, apa yang sesungguhnya bisa kita pelajari dari paragraf diatas ?. Ketika kita dihadapkan pada kenyataan tentang pembelajaran jarak jauh pada masa yang panjang ini. Sebagian sekolah sudah menyiapkan diri untuk melakukan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas dengan berbagai persiapan yang ada.

Kita juga menyadari bahwa banyak keresahan yang sudah dirasakan orang tua pada masa ini, laporan Litbang Kompas pada survey kepada 3ribuan responden diseluruh provinsi di Indonesia pada bulan April 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 60% masa PJJ dinyatakan tidak efektif, hal ini pun masih ditambah dengan kondisi stress para siswa dan orang tuanya selama melakukan PJJ.

Disisi lain, jika akan dilakukan PTM juga dikhawatirkan transmisi virus covid19 yang belum mereda betul. Walau kabar baiknya, saat artikel ini ditulis grafik penyebaran covid19 sudah mulai ada penurunan saat PPKM diberlakukan pemerintah. Tentu saja kita tak boleh lengah walau sesaat.

Bagaimana tantangan untuk mewujudkan ekosistem pendidikan yang sehat ?, lebih-lebih pada kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini ?. setidaknya kita memerlukan tiga unsur berikut.

1. Konektivitas (Keterhubungan))

Apple sudah lama dikenal dengan berbagai produk premiumnya yang mampu memanjakan konsumen, saking fanatiknya fanboy Apple (sebutan konsumen loyal Apple) ini, bahkan ketika produk barunya akan dirilis, antrian pengunjungnya mengular ratusan atau ribuan orang, dipadati dari malam hari (sambil menginap membawa selimut dan tenda) sampai toko official yang ditunjuk membuka pintunya dari menit pertama.

Apple Fan Boy mengular saat produk baru dirilis

Namun apa yang menjadi kekuatan Apple ?, salah satunya adalah kemudahan penggunaan dan konektivitas antar perangkatnya, jika Anda memiliki iPhone, macbook, dan berbagai peripheral Apple yang lainnya, maka dalam hitungan detik semuanya akan terkoneksi dengan sangat mudah seperti seolah-olah dalam satu perangkat yang sama. Sehingga berbagai kemudahan akan didapatkan mulai dari tukar menukar file, dokumen dan lain-lain.

Bagaimana dengan sekolah ?, memastikan bahwa setiap stake holder terhubung dengan baik, mulai dari kepala sekolah, guru, yayasan (swasta), orang tua, dan masyarakat serta pemerintah juga wajib kita pastikan terkoneksi dengan baik.

Menghubungkan dengan baik pihak-pihak ini tentang rencana persiapan sekolah, pengelolaan belajar dan kegiatan siswa, adalah dengan melakukan komunikasi aktif dan hangat. Meyakinkan bahwa rencana sekolah kedepan adalah sesuai dengan harapan setiap stakeholder. Adapun jika ada perbedaan, maka jika komunikasi nya sudah terjalin dengan rapi, maka diharapkan bisa saling mendukung dan menyokong.

2. Power Sharing (berbagi kekuatan)

Berbagi kekuatan antar pihak juga menjadi komponen yang tak terpisahkan dalam membangun ekosistem yang sehat. Jika dimasa pandemi ini kita sering mendapati banyak gerakan untuk mendukung tenaga medis dan ojeg online, maka upaya penyediaan fasilitasi PJJ juga sudah marak dilakukan oleh berbagai sektor masyarakat. Tidak jarang kita dapati kantor kelurahan dan koramil yang mereka dengan cuma-cuma memberikan akses kepada siswa disekitar mereka yang masih melakukan PJJ namun dengan keterbatasan koneksi.

Sesama orang tua siswa juga marak saling membantu subsidi silang SPP agar bisa saling menyokong siswa yang tidak mampu karena terdampak dalam masa yang sulit ini.

3. Sustainability (Kestabilan berkelanjutan)

Jika dua aspek diatas sudah dilakukan, maka ciri ekosistem yang sehat adalah adanya keberlanjutan. Mirip dengan analogi hutan yang tetap stabil diatas, maka ekosistem sekolah juga diharapkan demikian.

Kestabilan itu nampak pada layanan pendidikannya yang tetap mempertahankan mutu, karena prioritasnya adalah kualitas pembelajaran, maka resources yang dimiliki, pada akhirnya akan menuju kepada pencapaian belajar yang tepat.

Bagaimana cara mencapainya ?, komponen-komponen penting penunjang mutu utama seperti kompetensi guru, bahan ajar yang memadai, dan supporting system pembelajaran menjadi “bahan baku” utama untuk mencapai sustainability ini.

Semoga kita bisa mewujudkan ekosistem yang sehat pada ranah-ranah pendidikan kita. Terima kasih

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image