Memaniskan Pahit Getirnya Kehidupan
Agama | 2022-03-03 07:32:59Peluh yang membasahi tubuhnya sudah tidak ia hiraukan. Rambut kusut yang sedikit berdebu ia biarkan menghiasi kepalanya. Bajunya yang dulu seralu rapi dipadukan dengan sepatu mahal yang selalu nampak mengkilat, kini tergantikan baju yang sudah tak mengenal lagi dengan gosokan hangat setrika listrik. Sepatunya pun juga nampak sudah tak mengenal lagi semir sepatu yang selalu mengelus-elusnya nyaris setiap hari.
Wajah muram dan tatapan kosong kini menghiasi wajahnya. Di benaknya setumpuk problema kehidupan bergelayutan nyaris tiada ujung dan pangkalnya. Belum usai suatu masalah mendapatkan solusi, sudah menyapa lagi masalah lain yang lebih besar. Untung sedikit asa masih tersisa di dada.
Ia berjalan gontai menuju rumah seseorang yang ia anggap sebagi guru yang selalu memberi nasihat atas segala problema yang ia hadapi. Memang kehidupan terkadang seakan penuh misteri. Gurunya hidup sederhana, namun ia nampak hidup bahagia.
“Berbagai masalah sedang menimpaku. Aku nyaris tak mendapatkan solusi. Ali-alih mendapatkan solusi, nyaris setiap hari berbagai problema malah terus menyerangku. Bukan hanya masalah bisnisku, kehidupan keluargaku sarat problema yang sering memicu problema kehidupanku semakin berat.” Demikian kata orang tersebut ketika bertemu dengan orang tua yang dianggap gurunya.
Dengan seksama ia mendengarkan segala keluh yang diungkapkan sang murid yang sudah dianggap anaknya sendiri. Ia tak berkomentar apapun. Ia hanya memandang raut wajah sang muridnya tersebut.
Tak lama kemudian, ia berujar. “Sebentar aku akan mengambil jamu yang mudah-mudahan menjadi obat bagimu.”
Setelah mengambil jamu dan kembali di hadapan sang murid, ia menyuruhnya untuk menyeduh jamu dalam sebuah gelas, dan menyuruh sang murid untuk meminumnya. Baru saja sedikit jamu yang ia minum, ia berujar, “Maaf pahit sekali. Aku tak kuat meminumnya.”
“Kalau tak kuat, bawa jamu tersebut, dan ikuti aku!” Perintah sang guru.
Sang murid mengikuti perintah dan langkah gurunya yang sudah ada di depan wadah besar penampungan air minum. Ia belum memahami maksud sang guru.
“Tumpahkan jamu itu ke dalam bak penampungan air minum, kemudian kau aduk-aduk!” Perintah sang guru.
Tak membuang waktu, sang murid menumpahkannya ke dalam bak penampungan dan mengaduknya. Dalam hatinya yakin saja, mungkin perintah gurunya yang akan menjadi penawar bagi berbagai pahit getirnya problema kehidupan yang sudah lama ia hadapi.
“Coba kamu ciduk airnya dan kamu minum!” Perintah sang guru seolah-olah menegur dirinya yang tengah sedikit melamun.
Dengan penuh hormat, ia meminumnya. Ia merasakan air tersebut menyejukkan tenggorokkannya. Tak terasa pahit meskipun telah dicampur jamu yang tadi ia minum di gelas.
“Airnya segar menyejukkan. Tak terasa pahit lagi meskipun dicampur jamu yang pekat tadi.” Jawab sang murid ketika ditanya rasa air yang ia minum.
“Nah itulah gambaran sikap kita ketika menghadapi problema kehidupan. Analogikan ruang hatimu itu bagaikan gelas atau bak penampungan air yang besar. Jika ruang hatimu laksana gelas, maka problema kehidupan yang menerpamu akan terasa semakin pahit menutup ruang hatimu, menutup gelap kehidupanmu. Ruang hatimu akan mudah diwarnai problema kehidupan yang kamu hadapi. Sebaliknya, jika ruang hatimu lapang, maka sebesar apapun problema kehidupan yang menerpa akan terasa jernih dan tawar. Hatimu akan merasakan tawar dari rasa gelisah dan putus asa.” Demikian nasihat sang guru.
Manis, asam, dan pahit getir dalam mengarungi kehidupan sering kita rasakan. Sayangnya, kebanyakan dari kita lebih banyak mempersiapkan diri mengahadapi manisnya kehidupan, dan tidak siap menghadapi rasa asam dan pahit getirnya kehidupan. Karenanya tak mengherankan banyak orang yang putus asa ketika manisnya kehidupan tergantikan dengan rasa asam bahkan pahit getir.
Suatu hal yang mustahil jika kita hanya ingin merasakan manisnya kehidupan tanpa disapa rasa asam dan pahit getirnya kehidupan. Sudah sunatullah dalam kehidupan ini selalu datang silih berganti. Malam tergantikan siang, kemudahan berganti kesulitan, dan seterusnya.
J. J. Roseau, seorang filosof mengatakan, “Jika tubuh banyak berada di dalam kemudahan dan kesenangan, maka jiwa akan menjadi rusak. Seseorang yang tidak mengenal sakit dan kesulitan, dia tidak akan mengenal lezatnya belas kasih dan manisnya kasih sayang. Manusia yang seperti ini hatinya tidak akan tersentuh sesuatu apapun, dan oleh karena itu tidak dapat diajak bergaul.”
Apabila kita renungi lebih dalam lagi, problema pahit getirnya kehidupan yang menyapa kita sebenarnya merupakan bagian dari “makanan” yang harus kita konsumsi. Jika makanan dan minuman bergizi yang biasa kita konsumsi merupakan sumber energi bagi raga, maka pahit getirnya kehidupan merupakan energi bagi ruhani kita yang dapat meningkatkan kepekaan spiritual. Bukankah kita lebih sering mendekatkan diri kepada-Nya tatkala berbagai problema kehidupan menimpa kita?
Dari sudut pandang lainnya, kecerdasaan seseorang bukan hanya ditentukan oleh pengetahuan kognitifnya saja, namun juga ditentukan oleh kecerdasan mencari solusi dan bersikap tegar ketika ia menghadapi berbagai problema pahitnya kehidupan. Ia mampu memberikan rasa manis terhadap pahit getirnya kehidupan, dan bersikap sabar-tegar dalam menghadapinya.
Tentang kecerdasan dalam menghadapi problema kehidupan, Agus Nggeramanto dalam bukunya Quantum Quotient, Kecerdasan Quantum (2002 : 136) mengutip pendapat Paul G Stolz yang menyebutkan bahwa pahit getirnya kehidupan dan berbagai rintangan dalam mencapai suatu keinginan merupakan cambuk agar kita mampu mempercepat laju gerak kita dalam meraih apa yang kita inginkan.
Menurutnya, orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang sering dihadapkan terhadap berbagai kesulitan dan ia mampu menghadapinya kadang gagal, kadang berhasil. Kemampuan menghadap berbagi masalah kehidupan ini oleh Paul G Stolz tergolong kepada kecerdasan yang harus dimiliki. Kecerdasan ini terkenal dengan sebutan adversity quotient (kecerdasan mengubah rintangan menjadi peluang).
Pahit getirnya kehidupan merupakan bagian dari hukum kehidupan yang harus kita jalani. Kita dituntut memiliki kecerdasan dalam menghadapinya. Salah satu bentuk kecerdasan tersebut adalah kekuatan membuka pintu ruang hati selebar-lebarnya agar kita mampu bersikap sabar, tegar berusaha seraya menggantungkan asa atas kekuasaan-Nya yang memiliki kuasa menurunkan problema dan menghilangkannya.
Perilaku seperti inilah yang dimohonkan Nabi Musa a.s ketika menghadapi problema besar, kekejaman dan kecongkakan Fir’aun. “ .Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku ” (Q. S. 20 : 25-26).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.