Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Widyastuti, S.S.

Perahu untuk Adinda

Sastra | 2022-03-02 20:35:17

“Perahu itukah yang akan membawaku pulang?” tanya Adinda dengan ragu-ragu.

“Ya, Adinda. Perahu itu yang akan membawamu pulang.” Jawab Abas tanpa menoleh ke Adinda. Abas tahu ada rasa ketidakpercayaan di mata Adinda terhadap perahu yang dia bawa.

“Yang akan dilewati bukan sungai Barito atau Kapuas, Abas. Yang akan kita lewati adalah lautan, lautan luas?” tandas Adinda dengan penekanan pada kata lautan.

“Apakah ada yang salah dengan perahu itu bila melalui lautan?” sahut Abas dengan acuhnya. Dia merasa kesal sudah susah payah mencari perahu yang mau menyeberangkan dan membawa pulang Adinda ke kampungnya namun Adinda malah meragukannya. Adinda terkesan meremehkan usaha Abas, padahal sudah berhari-hari Abas pontang-panting mencari perahu yang mau menyeberangkan. Bahkan Abas sampai merayu membayar lebih dari tarif yang biasanya. Namun banyak yang menolak karena mereka takut dengan razia yang sedang marak terjadi. Selain itu cuaca laut yang sulit ditebak kadang-kadang badai laut datang secara tiba-tiba. Abas sudah mencoba menasihati Adinda untuk menunda kepulangannya 3 atau 4 bulan lagi namun Adinda tetap tidak mau. Adinda tetap kekeh ingin pulang di bulan April ini.

“Bukan aku tidak percaya padamu, namun aku sangsi dengan perahu itu, mampukah menyeberangkan dengan selamat sampai ditujuan. Bisakah perahu itu membawaku pulang ke kampungku untuk bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi?” ucap Adinda lirih seakan bertanya dengan dirinya sendiri.

Adinda tak meragukan Abas, dia sangat tahu perjuangan Abas mendapatkan perahu itu namun dia tak menyangka perahu yang didapat Abas jauh dari bayangannya. Adinda bertanya pada dirinya sendiri serapuh itukah kepercayaan Adinda pada dirinya sendiri. Adinda memandang Abas, hatinya luruh dia sangat paham Abas merasa kecewa karena dia meremehkan perahu yang didapatkannya. Adinda menghela napas seperti ingin menghirup semua udara yang ada disekeliling untuk mengisi rongga paru-parunya yang dirasa hampa. Adinda mencoba berdamai dengan keadaan mungkin memang dengan perahu ini sebagai pembuka jalan pulangn.

Pulang ke kampung halaman yang telah lama ia tinggalkan. Entah seperti apa wajah kampungnya sekarang, mungkinlah telah berubah? Rasa rindu menyeruak ke relung hatinya yang paling dalam hingga rasa hangat menjalar keseluruh nadi tubuh. Mencoba menyingkirkan rasa dingin yang hampir membekukan jiwa. Rasa rindu yang semakin menggebu hadir kembali menghentak-hentak seperti aluanan musik cadas yang mengajak untuk berlari sekencang angin dan pulang ke pangkuan kampungnya. Rasa sesal hadir dalam diri Adinda kenapa dia terkuasai emosi, hingga meluapkan kemarahan pada kampungnya yang berujung pada pelarian meninggalkan kampung halamannya. Kampung yang sudah memberikan dia kehidupan pada awal dia melihat dunia. Adinda seharusnya tidak mengingkari meskipun kampungnya adalah kampung yang tandus, namun dialah yang menyambut dia di dunia ini. Kampung menurut Adinda tidak bisa menjanjikan dan memberi harapan namun kampung itu pernah memberi dia makan dan hidup meski dengan seadanya. Kampung yang memberikan ketentraman dan kedamaian tanpa ada hingar bingar keserakahan dan kemunafikan.

Adinda memandang langit yang membiru mencoba menembus batas cakrawala mencari jawab apa yang sebenarnya dia cari hingga dia harus lari menjauhi kampungnya. Apakah kemegahan duniawi atau kesombongan dalam mencari jati diri. Harusnya akal lebih menguasai hingga bisa mengalahkan emosi yang menjajah diri. Manusia kadang memang mengedepankan emosi dari pada hati dingin hingga bisa berpikir jernih.

“Dinda, apa yang kau ragukan? Dirimu sendiri ataukah perahu itu?” tanya Abas membuyarkan lamunan Adinda. Adinda masih diam bergeming, tanpa suara menoleh memandang mata Abas mencari bayangan dirinya di bola mata Abas. Adinda ingin mengetahui seperti apakah dirinya disana, apakah dia seorang yang berdiri kokoh dan tangguh pulang dengan segenap jiwa raga ataukah seorang pecundang dengan menyurutkan langkah dan berlari lagi menghindari kampung halamannya.

“Aku tidak tahu, tapi aku ingin pulang.” sahut Adinda lirih, kemudian dia memandang kembali perahu yang masih tertambat di patok kayu. Perahu yang sudah hampir pudar warna catnya itu bergoyang dihempas ombak dan angin. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam dirinya kala memandang perahu itu. Mampukah perahu itu menahan beban para penumpangnya dan tidak tenggelam? Mampukah perahu itu menahan ombak dan membelah lautan hingga sampai di seberang?

Kebimbangan muncul lagi di hati Adinda antara rasa rindu dan ragu. Rindu akan kampung dan ragu terhadap perahu.“Kalau kau ragu terhadap perahu, maka kau tidak perlu ragu terhadap Tuhanmu!” Adinda terhenyak mendengar perkataan Abas, kenapa dia melupakan satu hal yang terpenting. Kenapa dia tidak yakin terhadap pemberi hidup. Kenapa tidak dia sadari dari dulu akan keberadaan-Nya. Dialah Maha Penentu segalanya, pintu hati Adinda perlahan mulai terkuak, pandangan mata Adinda yang semula berkabut menjadi cerah, senyum merekah dibibirnya. Ada harapan yang kembali bangkit, ada keyakinan yang kembali muncul. Adinda harus yakin dan percaya terhadap ketetapan Allah, karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya. Perahu itu memang kecil seperti tak mampu dan bila Allah yang berkehendak apakah tidak ada yang tak mungkin?

Dengan tekad bulat Adinda naik ke perahu untuk menyeberang ke Tanah Airnya. Meskipun dengan jalan pintas jalan yang seharusnya tidak dilewati. Karena ini adalan jalan tikus jalan yang dilalui oleh orang-orang ilegal untuk pulang ke Tanah Airnya. Adinda tidak menyangka akan terjebak dalam situasi ini. Situasi yang tidak pernah dia inginkan bahkan dalam mimpipun dia tidak pernah. Naik perahu dengan beberapa orang yang mempunyai tujuan yang sama yaitu pulang kembali ke Tanah Air.

Pulang kembali ke tanah kelahiran yang akan memberikan harapan akan masa depan. Tanah yang akan memeluk dengan kasih sayang, meskipun dia harus berjuang dari nol lagi meniti kehidupan. Namun paling tidak ada setitik harapan untuk keberlangsungan hidupnya. Cinta akan negeri, cinta akan tanah yang mengantarkan dia menuju kedewasaan. Namun karena ketidakpercayaan akan nasib di negeri sendiri membawanya merantau ke negeri seberang. Harapan tidak seindah mimpinya, kenyataan dia malah menderita di negeri asing. Bahkan lebih menderita dari pada di negerinya sendiri. Pengalaman menyedihkan di negeri seberang memberikan kekuatan untuk kembali ke kampung halaman. Kampung yang selama ini telah memberikan kedamaian dengan orang-orang yang menyayanginya. Kini tinggal doa yang harus dipanjatkan semoga selama dalam perjalanan dia dilindungi oleh Allah, dan bisa menjejakkan kembali di kampung halaman.

Setelah perjalanan dua hari dengan tragedi perahu sempat menabrak hutan bakau yang tumbuh di sepanjang pantai akhirnya Adinda bisa pulang ke tanah kelahirannya. Namun harapan kadang memang tidak seindah kenyataan. Hasrat hati ingin bertemu dengan orang-orang yang menyayanginya dengan rasa senang. Kehilangan lebih mendominasi daripada rasa bahagia pulang ke rumahnya. Ayah yang sangat disayangi telah pergi untuk selamanya tanpa Adinda bisa memandang untuk terakhir kalinya.

Penyesalan memang datang di akhir, seandainya dulu Adinda tidak memaksakan diri untuk pergi dari kampung halaman. Mungkin Adinda bisa menemani ayahnya di saat-saat terakhir. Ayahnya merasa sangat kehilangan Adinda yang nekat pergi ke tanah seberang tanpa bisa menahannya. Demi ambisi dan keinginan Adinda, ayahnya terpaksa merelakan Adinda pergi. Selama kepergiaan Adinda, ayahnya ternyata selalu memikirkan Adinda sehingga jatuh sakit hingga menjelang ajalnya. Karena minimnya pengetahuan ibunya akan alat komunikasi, sehingga tidak bisa memberi kabar akan berpulangnya ayah Adinda ke pangkuan sang Illahi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image